Bab 10 | Percikan Rasa

456 93 29
                                    

🌼VOTE DULU SEBELUM MEMBACA YA 🌼

🌼VOTE DULU SEBELUM MEMBACA YA 🌼

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

~HUMAIRA MERINDU~

2 Agustus 2022

.
.
.

Humaira merasakan hawa sejuk yang mendera sekujur tubuhnya. Atmosfer hitam pekat yang semula melingkupi pandangan kini perlahan memudar, tergantikan oleh cahaya lampu ketika matanya pelan-pelan terbuka. Gadis itu beberapa kali mengerjapkan mata, berusaha untuk menyesuaikan diri dengan cahaya lampu ruangan.

Ucapan syukur samar-samar keluar dari bibir orang-orang yang berdiri mengitari ranjang tempat sang gadis terbaring pingsan selama seharian penuh.

"Apa yang kamu rasakan, Nduk?" Suara bariton penuh wibawa itu terlontar dari bibir Romo Kyai Ridwan. Wajahnya yang teduh dihiasi senyum tipis.

Humaira masih berusaha mencerna semua yang terjadi saat ini. Pandangannya masih sedikit mengabur. Pelan namun pasti, ketika bayangan orang-orang di sekitarnya sudah jelas, dia bisa melihat Iwa dan Ima berdiri di belakang Romo Kyai Ridwan.

Menyadari sang teman menatapnya, Iwa tersenyum lalu mengatakan sesuatu tanpa suara pada Humaira. "Romo Kyai Ridwan." Matanya berulang kali menunjuk pada pria bertubuh gempal dengan gamis putih yang sedari tadi bertanya.

Humaira mengernyit bingung dan ketika maksud dari temannya tertangkap, dia segera memaksakan tubuh yang sakit untuk turun dari ranjang.

"Ndak usah turun, Nduk. Ndak apa-apa," ujar Romo Kyai Ridwan mendapati santriwatinya hendak turun dari ranjang UKS.

Pergerakkan Humaira terhenti, dengan posisi masih berbaring dia menunduk hormat menyadari bahwa yang di hadapannya sekarang adalah Romo Kyai Ridwan. "Ira sudah tidak apa-apa, Romo," jawabnya pelan.

"Yang tadi malam ndak usah dipikirkan lagi, ya. Sekarang sudah aman."

Humaira mengangguk pelan, "Iya, Romo."

"Yasudah, kamu sekarang istirahat saja. Pelakunya sudah kami hukum. Assalamualaikum." Romo Kyai Ridwan berjalan keluar disusul oleh ketiga gus. Hanya Gus Harits yang memilih untuk tetap berdiri di tempat semula seraya menatap gadis yang masih menunduk di atas ranjang UKS.

Humaira mendongak, menatap kedua temannya yang masih menunduk dalam. Lalu kepala berbalut kerudung putih itu menoleh ke pintu ruangan. Di sana sosok laki-laki yang menjadi idaman seluruh santriawati itu tengah berdiri dengan kedua tangan tertaut di belakang tubuh atletis.

Kedua manusia itu berbalas tatap, namun tidak berlangsung lama karena Humaira memilih untuk menundukkan pandangan seraya membalikkan tubuh membelakangi sang gus. Dia hanya belum siap berhadapan dengan sang gus setelah sikap tidak sopannya tempo hari.

"Gus, ini mau ditaruh di mana?" Jabir datang dengan kresek hitam di tangannya.

Tanpa berbicara, netra Gus Harits mengarah pada Humaira yang berbaring membelakangi. Jabir yang mengerti langsung menghampiri ketiga gadis itu.

Humaira Merindu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang