VOTE DULU SEBELUM MEMBACA YA😊
26 November 2022
~HUMAIRA MERINDU~
.
.
.
Humaira menatap lantai UKS dengan napas panjang. Akhir-akhir ini kebimbangan menggoyahkan separuh iman yang berusaha dijaganya mati-matian. Tentang ungkapan perasaan dari sang gus, juga keinginannya untuk memilih mundur terlebih dahulu tanpa ingin bersaing dengan perempuan yang sudah jelas sholehah, Khadijah.
"Assalamualaikum, Ra?" Iwa dan Ima muncul dari pintu UKS. Keduanya hendak menjemput sang teman yang sudah membaik untuk kembali ke pondok putri.
Humaira tersenyum, namun tidak cukup mampu menyembunyikan genangan air mata di pelupuk. "Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Kalian kenapa jemput aku malem-malem gini? Kenapa nggak tadi sore?"
Langkah kedua gadis itu terhenti dengan saling bertukar pandang. Iwa terlebih dahulu maju dengan raut tak terbaca. "Ra, tadi gus Harits kesini ngomong apa?"
Yang ditanya terdiam sebentar. "Nggak ngomong apa-apa."
"Awakmu harus ngerti, sekarang satu pondok iku lagi heboh gara-gara surat-suratmu dari gus Harits sudah di tangan pengurus pondok putri." Ima bersidekap dengan wajah keruh. Perseteruan antara dirinya dan Namira tadi sore jelas masih meninggalkan amarah tersendiri.
Humaira spontan memejamkan erat, sedang air mata dengan mudah meluncur dari pelupuknya yang indah. Tak pernah sekalipun terlintas dalam benaknya yang sederhana hal ini akan menimpa dirinya. Perasaanya terhadap sang gus jelas salah dipandang dalam sudut manapun. Pasalnya, perasaan itulah yang sudah berhasil menuntun dirinya berbuat sejauh ini, menjalin hubungan dengan sang gus secara diam-diam layaknya pencuri.
Iwa mendekat, memeluk temannya erat. "Sabar, Ra. Kamu sudah ngelakuin hal yang bener. Semua pasti ada konsekuensinya sendiri."
Iwa benar dan Humaira setuju dengan hal itu. Sesuatu yang sudah diperbuat, pasti akan mendapat balasan. Berprasangka baik pada Allah adalah pilihan yang tepat. Ini adalah bentuk teguran yang harus dia terima lapang dada.
"Ini teguran buat aku. Aku ikhlas." Senyum tipis terukir di bibir tipis Humaira, sedang air mata mengalir deras dari pelupuk. Ikhlas yang dibicarakannya belum sampai pada titik dimana dia tak memiliki celah untuk meratapi segala ketetapan-Nya.
Ketiganya berpelukan, membiarkan hisak tangis sama-sama menguap memenuhi setiap ruang UKS. Humaira sadar bahwa ini adalah resiko yang harus ditanggungnya, sendiri. Dari awal pun dirinya yang sudah memilih untuk masuk ke jurang ini, maka pilihannya hanya satu, menghadapi semua walaupun kaki tak bisa berpijak dengan sempurna pada tanah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Humaira Merindu
Spiritual"Lo tahu nggak, Ra? Lo dan gus Harits itu adalah refleksi nyata dari surat Yasin ayat empat puluh. Jalan kalian bersebrangan, bukan beriringan." Kehidupan pesantren yang Humaira idam-idamkan layaknya cerita sebuah novel dimana hanya ketenangan dan k...