Bab 22 | Pilar Penutup

422 65 41
                                    

VOTE DULU SEBELUM MEMBACA YA:)

VOTE DULU SEBELUM MEMBACA YA:)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

~HUMAIRA MERINDU~

10 September 2022

.
.
.

M

alam begitu kelam dengan segala kegelapannya. Semilir bayu terasa dingin menusuk pori-pori. Penghuni kamar blok C nomor 98 masih terjaga dengan tatapan yang tertamat pada pintu kamar. Mereka sedang menanti kedatangan mantan ketua kamarnya.

Iwa dan Ima berbalas tatap ketika dirasa Bu Khofifah tak kunjung datang, padahal jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Humaira sendiri meremas jari-jari kuku untuk meredam ketidaksabarannya dalam mengungkap kasus ini.

"Assalamualaikum." Pintu kamar terbuka, menampakkan Bu Khofifah dengan wajah sendu dan mata sembab.

Keempat gadis itu sontak berdiri dan berlari menghambur ke pelukan sang mantan ketua kamar. "Bu Fifah!" seru mereka serentak.

Ini bukan perpisahan untuk jangka waktu selamanya, namun ketidakhadiran perempuan menginjak tiga puluhan itu pasti akan menciptakan ruang kosong tersendiri. Hisakan tangis mulai terdengar, Bu Khofifah mencoba untuk meredam air mata sebisa mungkin, namun hasilnya nihil.

"Kalian baik-baik aja ya disini? Saya nggak bisa lagi nemenin kalian." Bu Khofifah melepas pelukan untuk menatap satu per satu anak didiknya.

"Kenapo jenengan harus pindah to, Bu?" Ima bertanya sembari mengusap ingus dengan lengan gamisnya. ["Kenapa Ibu harus pindah?"]

Untuk beberapa saat, wanita itu terdiam dengan pandangan tertamat pada Silvya. Menguatkan asumsi Humaira tentang apa yang sedang terjadi pada keduanya.

"Saya harus ikut pindah suami saya," jawab Bu Khofifah.

Raungan tangis keras tiba-tiba saja keluar dari bibir Silvya. Hal itu sontak mengundang atensi ketiga gadis yang sedang dalam menjalankan misinya.

Bu Khofifah mendekat dan memeluk erat Silvya, kedua lantas tenggelam dalam tangis yang sama. "Maafkan saya, Silvya. Saya tidak bisa." Suara lirih sang wanita masih bisa didengar oleh Humaira dan kedua temannya.

"Aku takut, Bu ...." Silvya mengeratkan pelukan, seolah dia berusaha melindungi diri sekuat mungkin dari sesuatu yang membuatnya begitu ketakutan.

"Maaf ...." Hanya kalimat itu yang diucapkan oleh Bu Khofifah sebelum melepas pelukannya.

Wanita itu kembali menatap satu per satu anak didiknya. Senyum miris terbit di wajah kuning langsat miliknya. "Saya tidak bisa lama-lama, suami saya sudah menunggu di luar."

Untuk terakhir kalinya, keempat gadis itu memberikan pelukan erat pada sang mantan ketua kamar. Dengan tangis yang masih sama, mereka harus rela ketika Bu Khofifah melepas pelukan dan perlahan berjalan keluar.

Humaira Merindu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang