Bab 29 | Humaira VS Nasab dan Derajat

481 59 23
                                    

VOTE DULU SEBELUM MEMBACA YA

VOTE DULU SEBELUM MEMBACA YA

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

HUMAIRA MERINDU

5 November 2022

.
.
.

Entah angin apa yang membuat Bu Nyai Ainun memanggil Humaira. Gadis itu bahkan masih terdiam dengan tatapan tak mengerti setelah mendengar penjelasan Ima. Anggap saja ini berlebihan, tapi bisik-bisik santri putri di belakang sana sudah menjelaskan bahwa memang sesuatu penting akan disampaikan oleh istri Romo Kyai Ridwan itu padanya.

"Ayo, Mbak." Perempuan berjilbab lebar itu berjalan lebih dulu, memasang payung sembari menunggu Humaira yang masih diam di tempat.

"Ra, iku lo ditunggu mbak ndalem. Malah diem aja." Ima menyenggol lengan Humaira, membuat gadis itu tersadar dari lamunan.

"Ayo, Ra. Siapa tahu ada kabar baik." Kali ini Iwa melemparkan senyum, mencoba untuk optimis.

Humaira beranjak, dia berjalan bersama perempuan tadi. Mereka berjalan pelan-pelan mengingat jalanan setapak menuju ndalem cukup licin karena gerimis. Satu payung untuk berdua membuat keduanya tak leluasa bergerak. Bahkan, Humaira harus rela jika lengan kanannya basah karena tidak ternaungi oleh payung.

"Kabar hafalan kamu yang sudah hampir selesai duluan nyebar sampai ndalem Romo Kyai, Mbak." Untuk pertama kalinya perempuan di samping Humaira bersuara setelah hanya ada mereka berdua di jalanan setapak menuju ndalem.

Humaira tak tahu harus menanggapi kalimat perempuan itu seperti apa. Pasalnya, tidak ada nada tertentu dalam kalimat tersebut. Terkesan monoton bahkan mendekati nada tidak suka?

"Tapi, kabar kamu yang tempo hari pernah dihukum karena surat-suratan sama kang-kang juga ndak kalah tenar di ndalem."

Humaira baru benar-benar menyadari ketidaksukaan perempuan itu terhadap dirinya setelah kalimat barusan dilontarkan. Caranya memilih intonasi semakin menunjukkan isi hatinya saat ini. Dan seperti biasa, Humaira memilih diam.

"Ndak banyak yang tahu motif Gus Harits nolong sampeyan waktu itu dan waktu sampeyan pingsan. Tapi, saya dan teman-teman saya di ndalem tahu."

Sekarang perempuan itu membicarakan motif seolah-olah sang gus tidak profesional dalam menjalankan tugas sebagai pemegang kendali keamanan dan ketertiban pesantren. Kuping Humaira rasanya panas mendengar kalimat tak berbobot itu, tapi apalah dirinya yang sedang menjunjung adab bersikap dengan orang yang lebih tua.

"Ning Khadijah mungkin juga sudah tahu. Dia baik hati sekali ya? Tetap membimbing Mbak buat hafalan, padahal Mbak sendiri sudah membuat Ning Khadijah merasa tidak nyaman."

Untuk kali ini, Humaira benar-benar tak mengerti arah dan maksud pembicaraan perempuan itu. Terkesan menyalahkan dirinya atas sesuatu yang bahkan dia tidak tahu apa. Panggilan 'Mbak' yang diucapkan justru membuat Humaira merasa dikecilkan.

Humaira Merindu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang