BAB 16 | Teka-teki

432 68 8
                                    

BUDAYAKAN VOTE DULU SEBELUM MEMBACA YA🌼

BUDAYAKAN VOTE DULU SEBELUM MEMBACA YA🌼

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

~HUMAIRA MERINDU~

20 Agustus 2022

.
.
.

Ngaji malam menjadi rutinitas wajib yang dilakukan para santri sebelum akhirnya mereka bebas untuk tidur. Hal serupa juga dialami ustadzah dan ustadz yang mengajar malam ini. Jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh dan kini sudah saatnya mengakhiri majelis ilmu.

Harits memandang lekat-lekat pilar hijau yang menjadi pembatas antara dirinya dan santri putri yang diajar malam ini. "Sebelum mengakhiri majelis ini, saya ingin menyampaikan sesuatu."

Para santri putri di balik layar saling menatap satu sama lain, mereka penasaran dengan apa yang ingin disampaikan sang gus. Humaira tak beraksi lebih, dia hanya menatap pilar hijau itu. Ada gemuruh yang sedari awal ngaji malam dimulai berusaha dia tahan. Antara gugup dan tak tahu ingin berbuat apa.

"Zaman sekarang, saya menemukan banyak sekali pemuda yang hijrah. Tapi, sayangnya yang selalu mereka bahas dan berusaha kejar adalah bagaimana cara memperbaiki diri untuk mendapat jodoh yang baik. Padahal, masih banyak ilmu lain yang perlu dipelajari saat seseorang memutuskan untuk hijrah." Harits menjeda kalimatnya hanya untuk sekedar menghela napas panjang.

"Memperbaiki diri bukan semata-mata hanya memanjangkan hijab ataupun melebarkan gamis. Memanjangkan hijab saja apakah bisa menambah ilmu agama kalian? Tentu saja tidak. Jangan sampai kalian pandai mengamalkan kiat mendapatkan jodoh baik, tapi ternyata ilmu wudhu dan sholat kalian saja tidak sesuai dengan syari'at."

Harits menatap lekat-lekat pilar kain hijau yang menjadi penghalang pandangannya dengan para santri putri yang sedang diajar. Ada gelenyar aneh menyelubung di sela-sela konsentrasinya. Dia seolah tengah berbicara dengan seseorang secara langsung. Kalimat barusan tak serta merta terucap spontan, melainkan ada tujuan yang berusaha disampaikan tanpa menunjukkannya secara gamblang.

Lebih dari itu, Humaira seketika menundukkan pandangan. Kalimat sang gus seakan-akan sedang menampar sisi dalam dirinya yang berusaha memperbaiki diri hanya demi agar mendapat jodoh yang baik pula. Ternyata, niat pasaran akhwat di luaran sana sudah terbaca dengan baik oleh sang gus.

Entah dari mana datangnya, rasa malu tiba-tiba menghinggapi sudut hati Humaira. Meskipun, dia tahu bahwa kalimat barusan ditunjukkan bukan hanya kepadanya.

Perihal hijrah dan jodoh yang baik, Humaira menatap pilar pembatas di depan. Akankah laki-laki sholeh di balik sana menjadi jodoh terbaik yang dia dapatkan di jalan hijrahnya? Jalan hijrah yang bukan hanya memikirkan kiat untuk mendapatkan jodoh terbaik, tapi jalan hijrah yang menuntun hati bagaimana diri bisa menjadi perempuan sholehah.

Humaira Merindu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang