Forty Two : Runtuhnya Sebuah Harapan

6.2K 415 4
                                    

Pintu putih masih senantiasa tertutup rapat. Beberapa pasang mata menutup, tangan mereka menyatu merapalkan setiap doa didalam hatinya. Winwin terus bergerak gelisah dalam pelukan suaminya, Yuta yang panik juga masih berusaha menenangkan sang istri dalam pelukannya. Jeno masih terduduk diam dengan tatapan kosongnya. Mereka berharap akan keselamatan kedua insan yang masih terbujur lemas didalam ruangan didepannya.

Tak berapa lama kemudian, terdengar suara langkah yang begitu tergopoh-gopoh menghampiri mereka.  Taeyong mendekat, segera duduk bersimpuh menangis sejadi-jadinya. Meminta maaf atas kejadian yang menimpa anak menantunya,

"Maaf, hiks maafkan Mark, Winwin.. hiks, maafkan anakku," mohon Taeyong disela tangisnya. Winwin yang tak tega mengangkat tubuh ramping didepannya, kembali membalas peluk dari sahabat yang ia sangat sayangi.

"Sayang, lebih baik kita doakan keselamatan Renjun dan bayi dalam kandungannya," ujar Jaehyun berusaha menenangkan tangisan sang istri.

Selang beberapa menit menunggu, seseorang berlari menghampiri mereka. Ya, itu Mark.

Nafas nya masih tersengal-sengal, namun Yuta segera bangkit dan memberikan sebuah pukulan keras dibagian wajah tegasnya. Membuat Mark yang tak seimbang terjatuh dan merintih kesakitan. "BAJINGAN BANGSAT!"

Jaehyun yang mengerti segera melerai keduanya, berusaha meredakan pertengkaran yang terjadi. Bagaimana pun, mereka harus ingat ini situasi rumah sakit yang harus tenang dan tidak boleh terlalu berisik.

"Cukup! Tenangkan diri kalian. Bagaimana pun ini masih dalam situasi yang ramai," lerai Jaehyun. Taeyong segera membantu Mark untuk bangkit, begitu juga dengan Winwin yang segera memeluk Yuta dari belakang. Mark menunduk dalam, menyesali perbuatan yang tak sengaja ia lakukan.


###


Setelah beberapa saat, seseorang ber-jas putih dengan seorang suster disampingnya segera keluar dari ruangan tersebut. Jeno segera bangkit, menghampiri keduanya.

"Anda wali dari Jung Renjun?"

"Ya, saya Jung Jeno, suaminya." Akui Jeno yang mendapat tatapan serius dari seseorang dibelakang nya, Mark. Entah mengapa saat Jeno berkata demikian tersirat sebuah rasa cemburu dalam hatinya.

"Tuan Jeno, tuan Renjun saat ini mengalami pendarahan yang cukup serius. Beruntung nya, anda membawa ia dalam tempo yang cepat. Sehingga nyawa janin dalam kandungannya bisa terselamatkan," mendengar penuturan tersebut membuat Jeno dan yang lain langsung bernafas lega.

"Tapi, untuk saat ini Tuan Renjun masih perlu mendapatkan banyak istirahat. Anda bisa menjenguknya setelah ini, dan tolong jangan membuat calon ibu merasakan perasaan khawatir dan sedih ataupun trauma yang mendalam, ini akan memengaruhi kesehatan bayi dalam kandungannya." Jeno mengangguk faham. Setelah sang dokter beranjak pergi, dengan segera ia masuk kedalam ruangan berbau obat tersebut.

Jeno menghampiri tubuh yang masih terbujur lemah didepannya. Menarik sebuah kursi, duduk didekat ranjang didepannya. Tatapan sendu nya menyambut keadaan Renjun yang masih tertidur pulas. Sesekali Jeno mengusap tangan putih nya dan menyingkirkan beberapa helai rambut sang pujaan hati dengan telaten. Menatap lamat-lamat wajah tenang yang masih menutup erat matanya.

"Ren.. bangun, ya? Aku takut.. "

Tak berapa lama setelah Jeno bermonolog, perlahan kelopak mata tersebut terbuka. Kesadaran kembali membangunkan Renjun. Beberapa kali matanya terpejam-terbuka berusaha mengingat keadaan sekitarnya. Jeno tersenyum, menepuk pelan surai coklat muda sang empunya. Saat Renjun berusaha bangkit, Jeno segera menahan pergerakan nya,

"Jangan bangun dulu. Lebih baik kau tidur saja,"

"Jeno.."

"Renjun.. kumohon dengarkan ucapan ku, ya? Kau saat ini masih membutuhkan banyak waktu beristirahat." nasehat Jeno yang membuat senyum Renjun sedikit merekah. "Ah! Jen.."

What did I do wrong? || MarkRenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang