Assalamu'alaikum semuanya...
Jangan lupa vote + komen ya 😉
Thank you 🥰
.
.
.
Happy Reading
______________________________________"Baba! Abi! Cepetan ke sini!" teriak Miru dan hal itu sontak membuat Zidan yang berdiri depan pintu segera menghampiri ponakannya.
"Kenapa Miru?" tanya Zidan yang matanya hanya terfokus pada Miru.
"Itu lihat, umi!" tunjuknya pada Arsyila yang membuka matanya perlahan-lahan.
"Mbak Syila? Hah benarkan? Allahu Akbar, Miru tunggu sini ya. Baba mau panggil bu dokter sama Abi kamu dulu, oke?"
"Iya Ba,"
"Umi, umi dengerin Miru ya? Umi sudah sembuh ya?" serbu gadis kecil itu.
Arsyila hanya diam dan tidak mengenali Miru. Ia perlahan mengangkat kedua sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman kecil pada ke arah Miru. Ia memutar bola matanya dan melihat sekitaran yang sangat asing baginya. Ia mencoba menggerakan tubuhnya namun terasa sangat sakit.
Ceklek
Suara pintu yang dibuka membuat Arsyila mengalihkan pandangannya. Ia tersenyum melihat Ansel berdiri bersama laki-laki yang ditumbuhi bulu halus pada rahangnya dan ia mengenali sekali kalau itu adalah Zidan, adik kesayangannya.
Dokter Alia bersamaan dengan Ansel terkejut dan masih tak percaya apa yang mereka lihat sekarang. Terlebih Ansel yang sudah menantikan hal ini begitu sangat lama. Ansel berdiri mematung di depan pintu memperhatikan Arsyila dengan air mata yang sudah jatuh dari sudut matanya. Ia benar-benar merasa ini adalah hadiah paling indah yang Allah berikan padanya.
"...Ans...." lirih Arsyila dengan mengangkat kedua sudut bibirnya yang terlihat pucat.
Ansel melihat gerakan mulut Arsyila yang menyebut namanya segera menghapus jejak air mata dan bergerak mendekat ke arah Arsyila. Ia memeluk istrinya yang baru saja sadar dari koma yang memakan waktu sangat lama baginya. Ia menangis sejadinya mendekap tubuh wanita di hadapannya.
"Assalamu'alaikum wanitaku...." ucapannya di sela-sela tangis bahagianya.
Dokter Alia dan Zidan ikut meneteskan air mata menyaksikan Ansel yang melepas rasa rindu yang amat dalam pada wanita yang dicintainya.
"Wa'alaikumsalam Ans...." balasnya dengan suara yang lirih.
"Maaf Ans, boleh saya periksa sebentar kondisi Arsyila?" ujar dokter Alia menengahi kerinduan Ansel.
"Maaf dok, silahkan. Ia melepas pelukan Arsyila yang masih dalam keadaan berbaring perlahan-lahan.
Dokter memeriksa keseluruhan keadaan Arsyila dan dibantu oleh beberapa perawat yang berdatangan. Arsyila sesekali melihat kearah Miru yang kali ini sudah berada dalam gendongan Zidan. Gadis kecil itu tersenyum setiap kali Arsyila memperhatikannya selama dalam pemeriksaan tim medis.
"Bagaimana dokter?" tanya Ansel sedikit cemas.
"Alhamdulillah, ini sebuah keajaiban Ansel. Empat tahun kita menunggu dan perjuanganmu terbalaskan sudah. Keadaan Arsyila menunjukkan semua tanda vitalnya normal, tetapi karena ia tertidur cukup lama jadi perlu waktu untuk ia pulih sepenuhnya." Jawab dokter Alia menghembuskan napas lega.
"Alhamdulillah, terima kasih banyak dokter."
"Sama-sama Ans, jaga istrimu baik-baik dan bersabarlah sedikit lagi karena ia harus menjalani beberapa prosedur agar bisa kembali berjalan seperti sebelumnya."
"Siap dok."
Dokter Alia berpamitan dan memberi ruang untuk Ansel dan Arsyila. Bukan hanya dokter Alia, tetapi Zidan dan Miru juga ikut keluar ruangan. Mereka memberi waktu untuk Ansel melepas semua kerinduannya pada wanita tercintanya. Wanita yang hampir membuatnya tidak mampu bertahan hidup empat tahun lalu. Wanita yang hampir membuatnya gila jika sampai benar-benar pergi dari hidupnya. Kini wanita itu kembali, ia kembali dengan senyum yang sudah sangat lama Ansel rindukan.
"Terima kasih, terima kasih karena kamu kembali, sayang," ucapnya mengusap lembut wajah Arsyila dengan tangan satunya mengenggam tangan sang istri tercinta.
"Aku kenapa Ans?" tanya Arsyila yang masih bingung.
"Kamu koma selama empat tahun Syil, apa kamu masih ingat kecelakaan yang menimpamu dan pak Din hari itu?"
Arsyila terdiam dan mencoba mengingat kilas balik kejadian yang menimpanya hari itu. Ia mengingat jelas dimana ia akan mendatangi Ansel untuk membawakan makan siang, tetapi mobil yang ia tumpangi mengalami kecelakaan. Ia sadar betul saat itu beberapa orang mengerumuninya dan...
"Anakku? Bagaimana dengan anak kita Ans?" tanyanya ketika ingat mengingat semuanya secara sadar.
Ansel yang mendengar itu tersenyum, "Apa kamu tidak melihat gadis kecil yang duduk di sampingmu tadi?"
"Aku tanya dimana anak kita Ansel? Apa dia baik-baik saja?" tanyanya yang tidak mengerti perkataan Ansel.
"Anak kita baik-baik aja. Ia terlahir prematur, tapi kamu tidak perlu khawatir karena ia tumbuh menjadi gadis kecil yang menggemaskan dan membuat semua orang tertawa lepas ketika bersamanya,"
"Benarkah?"
Ansel menganggukan kepalanya, "kamu tunggu di sini sebentar ya, sayang," pintanya pada Arsyila.
Ia berjalan keluar ruangan dan tak lama kemudian datang dengan menggendong gadis kecil yang sedari tadi mencuri perhatian Arsyila.
"Ayo, sapa umi," bisiknya pada Miru.
Miru hanya memeluk Ansel dan bersembunyi pada ceruk leher abinya. Ia merasa malu tapi ia juga sangat ingin bersama uminya. Ansel yang melihat tingkah putrinya hanya tertawa dan segera membawa Miru mendekat ke arah Arsyila.
"Katanya kangen sama umi? Kok sekarang malah malu?" tanya Ansel pada putrinya.
"Umi? Maksud kamu....?" tanya Arsyila yang terus memandang Ansel dan Miru secara bergantian.
"Dia putri kita, sayang. Anak yang kamu perjuangankan dan kamu minta keselamatanya pada dokter hari itu. Inilah anak kita, Sayang," ucap Ansel dan hal itu membuat Arsyila meneteskan air matanya.
Perlahan-lahan Miru menggerakan kepalanya dan menoleh pada Arsyila yang menangis memperhatikannya dengan sangat intens. Miru mencoba melepaskan diri dari Ansel dan meminta untuk lebih mendekat pada Arsyila. Ia mengulurkan tangan mungilnya pada wajah Arsyila dan mengahapus jejak air mata yang mengalir di pipi uminya.
"Umi, jangan nangis ya... Miru di sini buat umi, umi jangan sakit lagi dan cepet sembuh biar bisa pulang sama Miru dan Abi."
Arsyila mecoba sedikit menggerakan tubuhnya dengan menahan rasa sakit pada setiap inci di tubuhnya. Ia memaksakan diri untuk meraih tubuh mungil itu agar bisa memeluknya. Sekuat tenaga ia mncobanya dan akhirnya ia berhasil sedikit membawa Miru dalam dekapannya. Ia menangis sejadinya dan mengusap-ngusap puncak kepala putri yang telah ia lahirkan empat tahun lalu.
"Maaf, maafin umi....," tangisnya yang terus menerus mengucapkan kata maaf pada Miru.
Hatinya merasa teriris melihat Miru yang sudah tumbuh besar tanpa dirinya. Ia juga melirik ke arah Ansel dan meminta Ansel untuk lebih mendekat.
"Maafin Aku, maafin aku Ans, aku tidak ada untuk kalian selama bertahun-tahun lamanya. Aku tau ini pasti sulit untuk kamu membesarkan ia seorang diri."
"Maafin umi ya nak, maafin umi...."
Setelah semuanya ia tumpahkan, kini ia mencari seseorang yang sangat ia sayangi. Orang yang sudah pasti juga merindukan dirinya.
"Ans, Ibu dimana?" tanya Arsyila.
"Ibu...."
°°°

KAMU SEDANG MEMBACA
Turkish Airlines-67 (END)
EspiritualBaca 3 Part dulu ya, kalau suka cus lanjutkan 😁 Btw jangan lupa follow ya .... Belum revisi ⚠️ _________________________________________ Ansel seorang laki-laki yang lekat dengan kehidupan malam tidak sengaja bertemu dengan gadis muslim pada perja...