Hari-hari berikutnya kembali berjalan normal dan mulai terasa menyenangkan bagi El. Sahabat-sahabatnya sudah kembali, lalu membantunya untuk berubah menjadi lebih baik lagi. Dia memutuskan untuk minta maaf secara terang-terangan di depan seluruh murid, menyampaikan rasa penyesalan atas sikapnya yang kadang memang di luar batas. Beruntungnya, tindakan El disambut baik oleh teman-temannya.
Dan hari demi hari itu pula, detak jantung El semakin tidak normal ketika melihat Aslan. Dia tidak tahu kalau rasa bencinya akan menguap begitu cepat, digantikan dengan perasaan aneh yang ketika ia ceritakan pada teman-temannya, mereka sontak tertawa dan berkata, "Itu namanya lo suka sama dia, El."
Tapi El tidak terlalu memusingkan itu. Dia menjalani kehidupannya dengan biasa saja. Hari ini, ada rapat OSIS yang membuatnya sedikit terlambat pulang. Ketika rapat selesai, dia bergegas keluar dan berlari ke kelasnya. Hendak mengambil tasnya.
Namun, langkah kecil El segera tertahan begitu dia mendengar sebuah percakapan dari telepon di dalam. Dua suara itu sangat jelas dan familiar baginya.
"Jadi, lo minta sama Pak Narji biar El tetap bisa ikut olimpiade?" El terkesiap mendengar namanya disebut. Dia mendekatkan kepalanya, mencoba untuk mendengar lebih jelas.
"Iya, gue juga yakin buat ngelakuin itu setelah dapet pesan gak jelas dari lo." Kali ini El benar-benar terdiam ketika sadar suara siapa itu. Suara di telepon itu adalah suara Rendy, dan suara orang di dalam kelas adalah ... Aslan.
El mencoba untuk mengintip ke dalam, mendapati sosok Aslan masih membereskan barang-barangnya. Mungkin karena itu dia mengaktifkan mode loud speaker. Tak lama kemudian terdengar suara kekehan pelan dari dalam telepon.
"Dan setelah itu lo bener-bener, bersikap baik ke dia? Karena gue suruh?"
"Iya, karena itu gue ..."
Brak.
El tidak tahan lagi. Dia sengaja mendorong pintu sampai membentur dinding dan melangkah masuk ke kelas. Membuat Aslan yang masih sibuk mengemasi barang-barangnya menoleh pada gadis itu, spontan menatap gadis itu kaget. "Bentar, Ren. El? Lo belum pulang?"
"El? Dia ada di situ?" El berdecih mendengar intonasi suara Rendy yang mendadak berubah.
"Menurut lo?" Aslan mengernyit. Suara gadis itu terdengar ketus dan menyebalkan. Ia tidak suka ketika El sudah bersikap seperti ini.
Karena kebingungan, Aslan mencoba untuk menghampiri El. "Jaga jarak. Kita bukan mahram," ujar gadis itu tak kalah ketus dari sebelumnya.
"Lo kenapa, sih?" tanya Aslan bingung. Namun, ia tak kunjung mendapat respons dari gadis itu. Hingga akhirnya ia merasa sedikit kesal dan menaikkan volume suaranya. "Eliza, lo kenapa?"
El diablo menoleh ke arahnya. Menatap cowok itu tajam. "Lo yang kenapa?!"
"Lah, kok, jadi gue?" Aslan benar-benar tidak paham dengan alur pembicaraan El. Ia masih merasa bingung.
Gadis itu menghela napas. Ia sedang malas berbicara dengan Aslan. Cowok itu hanya membuatnya semakin kesal. "Lo kalau mau bentak-bentak gue, ketusin gue, ngehina-hina gue tiap hari pun boleh, Slan! It's not my problem. Lo gak perlu nurutin kata-kata Rendy buat .. buat .. baik sama gue!" seru El penuh penekanan.
Cowok itu berusaha mencermati kata-kata El. Tak lama kemudian, ia menangkap maksud El dan segera menggeleng. "Nggak gitu, El."
"El, lo salah paham. Aslan gak ..."
"Diem lo! Diem, Rendy!" Teriakan El sontak membuat kalimat Rendy terputus. Di seberang sana Rendy menelan ludahnya. Sedikit gentar mendengar suara adik tirinya yang naik beberapa oktaf.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita & Luka {Tamat}
Teen FictionSMA Series 1 - Eliza & Aslan "Karena pada akhirnya luka itu yang membuat kita kuat." Tentang Eliza Lahima, gadis pemberontak dan tak tahu aturan karena kejadian buruk yang terjadi padanya di masa lalu. Ia selalu bersikap semaunya dan menganggap apa...