Keajaiban Dari Sebuah Luka

87 22 4
                                    

El mengusap ujung matanya yang berair. Rasanya sakit sekali sudah mengingat semua itu.

"Gue minta maaf udah bikin lo ingat semuanya," ujar Aslan pelan. Ia paham sekali perasaan El saat ini. Pasti gadis itu sangat terluka. "Sekarang perasaan lo gimana?"

"Lega. Gue udah capek nyembunyiin ini salama bertahun-tahun. Lupa nggak, malah makin tersiksa." Suara El terdengar parau. Sejak tadi ia berusaha tegar dan tidak meneteskan air mata.

Mereka berdua terdiam selama beberapa saat. Aslan tidak tahu harus menanggapi seperti apa. Dugaannya selama ini memang benar. Tapi ia tidak menyangka kalau masa lalu El berat seperti itu.

"Lo tau kenapa gue kayak gini, Slan? Gak tau aturan, caper, dan nyaris gak percaya tuhan itu ada?" tanya El sambil melirik cowok itu. Samar-samar ia melihat Aslan menggeleng. "Dulu, seperti kata gue, gue gak pernah diperhatiin sama siapa pun. Papa dan Mama terlalu sibuk kerja sampai mungkin lupa kalau gue ada di sana. Setiap malam, gue selalu ngikutin kata Opa Dannis buat berdoa biar keluarga gue kayak keluarga lainnya."

Cowok itu masih setia mendengarkan.

"Tapi itu gak pernah terjadi, Slan. Sejak Papa menceraikan Mama dan lebih milih tinggal sama pembantu ular itu, gue mulai kehilangan semuanya. Perhatian, kasih sayang, kebahagian, dan semua yang gue harapkan. Gue di-bully sama satu sekolah. Dibenci sama semua orang."

"Itu makanya ketika pindah sekolah, gue gak bisa jadi diri gue yang dulu. Gue gak bisa jadi El yang ceria. Gue malah jadi El yang kalian kenal sekarang. El yang nyebelin-lah, El yang caper-lah, El yang tukang buat masalah-lah. Kayak gitu, kan, gue di mata kalian?" El tersenyum kecut.

"Dari situ gue gak percaya lagi sama yang namanya cinta-lah atau kasih sayang-lah. Dari situ juga gue hampir gak percaya kalau tuhan itu ada. Buktinya kalau tuhan itu ada, kenapa gue harus menderita kayak gini?" El terdiam sejenak. Berharap kalau Aslan akan merespons pertanyaannya. Namun, cowok itu tidak berkata apa pun dan memilih diam saja.

El menundukkan kepalanya dan mengembuskan napas. Tidak menoleh ke arah Aslan lagi. "Gue gak yakin lo ngerti perasaan gue, Slan. Buktinya ..."

"Gue paham perasaan lo." Suara berat itu sontak membuat El mengangkat kepala dan menatap cowok itu. Aslan tampak menghela napas. Wajahnya terlihat lebih dingin dari biasanya. "Gue juga ada di posisi lo sekarang, El. Hidup gue gak seenak yang kayak lo dan orang lain pikirin. Lo pernah mikir kenapa gue gak bisa bergaul? Lo pernah mikir kenapa gue pernah nyebut 'olimpiade sialan' di depan lo? Atau lo pernah mikir kenapa gue dan gak tinggal sama orangtua gue?"

Kalimat Aslan berhasil membuat gadis itu terdiam. Ia tidak pernah berpikir sampai ke sana.

"Terlepas dari itu, gue gak pernah kayak lo, El. Gue gak sampai mikir kalau Allah gak adil atau bahkan gak ada. Karena kalau Allah gak adil, gue gak akan pernah ada di sini dan bisa ketemu kalian yang buat gue sempet lupa sama semua itu. Kalau Allah gak ada, gue gak akan bisa hidup sampai sekarang."

Penuturan cowok itu membuat El menoleh kepadanya. Ia meneguk ludah. Semua yang dikatakan Aslan dapat diterima oleh logikanya dan itu benar. Kenapa ia tidak kepikiran sampai di sana?

"El ..." Aslan menatap gadis itu. "Lo nggak bosen kayak gini? Gak capek dikenal sebagai cewek bermasalah atau cewek caper? Gak ada gunanya lo menyembunyikan identitas asli lo, El. Itu gak akan buat semuanya lebih baik. Lo harus ikhlas, El. Lo nggak perlu ngelupain atau marah sama semua yang udah nimpa lo. Lo nggak perlu dendam sama orang yang udah menorehkan luka di hati lo. Karena luka itu yang membuat lo kuat."

Kata-kata Aslan membuat pikiran El semakin berkecamuk. Kedua remaja itu pada akhirnya terdiam. El memijit-mijit kepalanya. Ia merasa sangat pusing sejak tadi pagi.

Kita & Luka {Tamat}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang