Aslan & Nathan

71 15 0
                                    

Kalau Nathan yang dimaksud Aslan memang benar sahabat kecilnya, maka El tahu persis kemana ia harus membawa Aslan.

Setelah menelepon Haziq dan Fathia, mereka sepakat untuk berkumpul di rumah sakit tempat Nathan dirawat. Mereka seolah lupa dengan Oma Melati dan Qonita yang menunggu di rumah. Haziq dan Fathia tidak banyak tanya kenapa mereka harus pergi ke sini.

Sesampainya di rumah sakit, mereka langsung menuju kamar Nathan dimaksud Tante Caca. Sesekali El melirik Aslan. Wajah cowok itu terlihat datar. Namun, El yakin kalau saat ini Aslan merasa gugup dan takut.

Ketika sampai di kamar yang dimaksud, Aslan berhenti di depannya. Seperti enggan untuk masuk. "Kalian aja duluan. Nanti tolong panggil Tante Caca, ya? Gue nunggu di sini," kata Aslan memberi alasan.

Ketiga temannya tidak banyak tanya dan langsung masuk ke dalam sembari mengucap salam. "Assalamu'alaikum, Tante Caca, Om Rusdi, Nathan."

Tante Caca yang lebih dulu menyadari keberadaan mereka langsung berdiri dari kuridnya. Mempersilakan mereka untuk masuk. Bahkan sampai menawari mereka makanan dan minuman. Wanita itu sedikit kaget melihat sosok El yang sekarang sudah mengenakan jilbab. "El? Udah pakai jilbab, ya, sekarang?" tanya Tante Caca kagum.

El terkekeh. "Iya, Tante."

"Alhamdulillah, udah dapet hidayah dia, Tan. Udah gak pecicilan kayak dulu," gurau Haziq yang mengundang tawa seisi ruangan. Termasuk Nathan yang sedang terbaring di dipan.

Gadis itu tentu tidak lupa dengan pesan Aslan sebelum masuk tadi. Ia mendekat ke Tante Caca dan berbisik, "Tan, ada yang nyariin Tante di luar. Ada Aslan, kembarannya Nathan."

Mendengar itu sontak Tante Caca mematung. Ia langsung meminta izin untuk keluar sebentar. Perasaan wanita itu campur aduk sekarang. Entah bagaimana reaksi Aslan jika bertemu dengannya. Ia yakin cowok itu pasti marah besar karena ia dan suaminya telah membawa Nathan.

Tepat ketika ia membuka pintu, matanya menangkap sosok remaja laki-laki yang tengah duduk di kursi depan ruangan ini. Cowok itu menolah dan langsung berdiri. Ia menangkupkan tangannya di depan dada. "Assalamu'alaikum, Tan. Apa kabar?" tanya cowok itu canggung.

Tante Caca berusaha bersikap setenang mungkin. "Wa'alaikumussalam, alhamdulillah, baik. Aslan, kamu kenapa gak bilang kalau mau ke sini?"

"Kenapa Tante Caca gak pernah bilang kalau Nathan sekarang tinggal sama Tante?" Suara Aslan terdengar lirih. Matanya hampir berkaca-kaca. Membuat Tante Caca semakin merasa bersalah. "Tan, udah lima tahun lebih aku berusaha buat nyari dia. Tante kenapa gak pernah kabarin sama aku kalau Nathan tinggal sama Tante?"

"Ini udah amanah dari ibu kamu, Aslan. Tante gak bisa melanggar amanah ibu kamu. Tante juga gak bisa ngebiarin Nathan jadi korban kekerasan ayah kamu," kata Tante Caca sembari menatap Aslan dengan tatapan pilu.

Aslan menghela napas. "Tapi, Nathan sekarang baik-baik aja, kan, Tan? Jantungnya sering kumat gak?" tanya cowok itu penuh harap.

Ada satu hal yang selalu membuat Tante Caca tersentuh setiap kali berbicara dengan Aslan, yaitu rasa sayangnya pada Nathan yang tidak semua orang tahu. Banyak yang berpikir kalau Aslan tidak peduli pada Nathan. Padahal sesungguhnya itu sama sekali tidak benar. Sejak Hanum meninggal dunia, Aslan selalu berusaha untuk menunjukkan rasa pedulinya pada Nathan. Ia selalu punya rasa khawatir pada adiknya sejak kejadian itu.

Namun, sayangnya Nathan tidak peduli dan memilih untuk pergi.

"Nathan baik-baik aja, kok. Dia pasti senang banget bisa ketemu sama kamu nanti," ucap wanita itu sambil tersenyum lembut.

"Apa Nathan masih benci sama Aslan?"

"Aslan, dengerin Tante baik-baik. Cuma kamu anggota keluarganya yang bisa ada buat dia. Kita gak tau hubungan orangtua kamu ke depannya seperti apa. Mereka sudah berencana untuk bercerai, sedangkan Nathan masih berharap kalau keluarganya akan kembali seperti dulu. Kamu bisa bayangin, kan, betapa terlukanya dia kalau sampai mereka beneran bercerai dan tidak ada kamu yang menenangkan dia? Kamu harus menjelaskan padanya baik-baik. Itu bukan hanya berdampak pada mentalnya saja, tapi juga kesehatannya, Aslan."

Kita & Luka {Tamat}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang