Tamu Untuk Aslan

94 9 1
                                    

Hari Minggu ini mereka habiskan dengan beraktivitas di rumah. Fathia kembali sibuk dengan tugas-tugas dari Rohis. El yang sudah diterima kembali di OSIS pun mendapat beberapa tugas yang harus ia selesaikan. Sementara Haziq mengajak Aslan dan adik-adik bermain di kamarnya. Memang dasar cowok.

"Fat, Nathan masuk rumah sakit," ujar El pelan sambil membaca pesan dari Tante Caca.

Aktivitas Fathia terhenti sejenak. "Serius? Astaghfirullah, jantungnya kambuh lagi, ya?" tanya gadis itu. El mengangguk dengan wajah gusar.

"Ya, udah, deh. Nanti kita jenguk dia, yuk? Tapi gak usah ajak Aslan. Nanti dia malah diem aja di sana. Gak asik!" kata El sambil terkekeh.

Fathia tersenyum menatap wajah sahabatnya. "Tumben bahas Aslan. Kamu bikin aku penasaran, deh, El. Emangnya Aslan itu menurut kamu gimana, sih?"

El mengangkat kepalanya. "Dia itu nyebelin, dingin, keras kepala, egois, pokoknya yang jahat-jahat numpuk sama dia."

"Hus, jangan gitu. Kamu bohong, kan? Mentang-mentang lagi berantem sama dia sengaja banget ngejelek-jelekin," ejek Fathia seraya memeletkan lidahnya. Membuat El mengerucutkan bibirnya, kesal.

"Pokoknya, gitu, deh," kata El. Mencoba mengalihkan topik pembicaraan. "Capek aku bahas dia mulu."

"Alasanmu terlalu banyak, El." Fathia terkekeh geli, lantas kembali fokus pada pekerjaannya. Membiarkan El yang semakin sebal.

Saat mereka sibuk dengan urusan masing-masing, bel rumah berbunyi disertai dengan ucapan salam. Mendengar itu konsentrasi mereka langsung buyar.

"Assalamualaikum!! Permisi!!"

"Ada tamu, ya?" Oma Melati langsung keluar dari kamar. Bersamaan dengan Haziq yang keluar dari kamarnya. Tersenyum puas setelah berhasil mengalahkan adik-adik di permainan tadi.

"Wa'alaikumsalam, bentar, ya."

El dan Fathia mengintip dari dapur. Haziq yang melihat itu malah ikut-ikutan.

Oma Melati langsung membuka pintu. Tersenyum lebar melihat seseorang di depannya. Seorang wanita yang ditaksir El hampir mendekati umur empat puluh tahun. "Selamat pagi, Bu," sapa wanita tersebut. Oma Melati mengangguk ramah.

"Pagi juga. Kalau boleh tahu, ibu siapa dan ada keperluan apa ke sini?" tanya Oma Melati.

"Nama saya Qonita. Ehm, saya ingin bertanya, apakah benar Aslan tinggal di sini? Aslan Zuhayr?"

Oma Melati mengangguk. "Iya, betul, Qonita. Aslan memang tinggal di sini. Memangnya, kamu siapanya Aslan, ya?"

Wanita tersebut tersenyum ramah. "Saya ibunya Aslan."

El nyaris tersedak, mengernyitkan dahi karenanya. Begitu juga dengan Fathia dan Haziq. "Bukannya Aslan bilang kalau orangtuanya udah meninggal?" tanya Haziq.

"Masa dia bohong, sih?" Fathia ikut nimbrung.

"Atau jangan-jangan orangtuanya hidup lagi?" El langsung mendapat pukulan kecil dari Fathia.

Sementara Oma Melati yang tak kalah terkejut dan merasa gembira langsung mempersilakan wanita itu masuk. Mau tak mau, Fathia, El, dan Haziq pun keluar dari tempat 'persembunyian' mereka dan menyalami wanita itu.

"Panggil saja Tante Qonita," ujarnya pada El. Lantas duduk di sofa, tepat di samping Oma Melati. Matanya terarah ke sebuah foto yang baru Oma Melati gantung kemarin. Foto El, Fathia, Haziq, dan Aslan saat baru selesai olimpiade waktu itu. Wajahnya meredup melihat Aslan yang tersenyum di foto itu.

Oma Melati menatap Haziq. "Haziq, kamu panggil Aslan, ya? Suruh dia buat turun sekarang," ujar wanita itu dengan raut wajah bahagia.

Haziq yang masih terheran-heran tidak punya alasan untuk menolak. Ia segera mengangguk dan pergi ke atas.

- Aslan -

Ponsel Aslan bergetar. Ada notifikasi yang masuk. Membuat cowok itu melihat sekilas, lantas mengambil ponsel tersebut. Melihat sebuah nama yang sudah ia coba lupakan selama ini. Aslan menggeram melihat pesan tersebut.

Pintar kamu, ya? Memakai alibi mencari adik kamu untuk pergi dari rumah saya?

Sebentar lagi, kamu akan kembali ke sini. Tinggal menunggu waktu saja.

Tidak, dia bukan siapa-siapanya. Harusnya Aslan tidak takut diancam seperti itu. Tapi kali ini, dia merasa gusar saat membaca pesan itu. Pasti tak lama lagi beliau akan datang ke sini dan mencarinya. Lantas memaksanya untuk kembali ke rumah terkutuk itu.

"Aslan! Lo dipanggil Oma Melati!" Aslan mengangkat kepalanya. Mengernyit ketika mendengar suara Haziq yang terdengar heboh itu.

"Kenapa?" tanya Aslan singkat.

"Ada tamu, Slan! Dia nyariin lo!" Seketika cowok itu membeku mendengarnya. Haziq sepertinya tidak main-main. Dari suaranya ia terdengar serius. Apakah ia sudah sampai di sini? Tidak mungkin. Tidak mungkin orang itu bisa secepat ini menemukan keberadaannya.

Karena Aslan tak kunjung keluar, Haziq kembali berteriak, "Cepet keluar, Slan!" seru cowok itu.

Mau tak mau Aslan bangkit dari tempat tidurnya. Berjalan ke arah pintu dan keluar dari kamar. Ia mengikuti Haziq yang berjalan di depannya. Dalam hati ia menerka-nerka siapa tamu yang Haziq maksud.

Kepala Aslan terangkat saat sudah sampai di bawah. Ia menemukan Oma Melati, El, Fathia dan seorang wanita yang tampak familiar tengah berbincang-bincang. Tak lama kemudian wanita itu menatapnya. Wajah wanita itu terlihat sama terkejutnya dengan Aslan. Matanya tidak bisa menyembunyikan kerinduannya terhadap remaja laki-laki di depannya. Ia langsung berdiri. "Aslan ..."

Sayang, balasan yang Aslan berikan tidak sama seperti yang dibayangkan El, Fathia, dan Haziq. "Ngapain di sini?"

Oma Melati menghela napas berat. Ia sudah menduga ini akan terjadi.

"Aslan, Mama kangen banget sama kamu ..."

"Gak usah. Aku juga gak peduli."

Ketiga temannya mulai menatap ibu dan anak itu secara bergantian. Merasa gelisah dan mulai menduga-duga. Hubungan Aslan dan ibunya terlihat tidak baik. Jangan-jangan ini alasan Aslan berbohong soal keluarganya. El melirik cowok itu. Tatapan Aslan terlihat dingin dan menusuk. Membuat siapa pun ngeri melihatnya.

"Aslan, maafin Mama, ya ..."

"Minta maaf sama Abin dan Papa aja. Gak usah minta maaf sama Aslan. Gak perlu. Udah telat!"

"Slan, mau kemana?!" Haziq spontan berseru ketika Aslan tiba-tiba berlari keluar. Ia buru-buru menyusul keluar, namun terpaksa berhenti karena cowok itu sudah lebih dulu menghilang dari pandangan. Ibunya menangis tergugu. Merasa amat bersalah, apalagi setelah mendengar kalimat terakhir Aslan yang menusuk.

"Oma, kita cari Aslan dulu, ya. Assalamu'alaikum!" El menarik tangan Fathia. Mengajaknya untuk keluar. Melihat itu Haziq tak mau kalah dan ikut bersama mereka.

Kita & Luka {Tamat}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang