Masa skorsing El sudah berakhir. Kini gadis tersebut boleh masuk ke sekolah lagi. Semalam Oma Melati sudah memberi ceramah singkat padanya agar lebih menjaga sikap selama di sekolah. Ia masih ingat beberapa kalimat yang Oma Melati sampaikan padanya.
"Nilai akademik memang penting, tapi akhlak itu jauh berkali-kali lipat lebih penting. Menurut Oma, orang yang memiliki akhlak yang bagus, tapi tidak pintar lebih layak dipuji daripada orang yang pintar, tapi akhlaknya minus."
El tidak terlalu peduli dengan itu. Yang terpenting ia bisa masuk sekolah dan kembali bersaing untuk bisa mengikuti olimpiade.
"El! Ayo!" Fathia melambaikan tangannya. Ia sudah bersiap untuk turun ke bawah dan sarapan. Sejak tadi ia menunggu El yang tengah bersiap-siap.
Fathia menggeleng-gelengkan kepalanya melihat sahabatnya itu yang berjalan ke arahnya. Lantas mengikuti langkah El yang sudah lebih dulu turun ke bawah.
- Eliza -
Sesuai dugaan El, banyak murid sekolah yang menyambut kedatangannya. Tentu saja hal itu membuat El senang dan tersanjung. Berbeda dengan Karin yang mati-matian menahan emosi melihat murid-murid yang kemarin menjelek-jelekkan El, kini malah sok akrab di depan gadis itu. Ia juga geram karena anak-anak tim siaran sekolah yang menjelek-jelekkan El selama gadis itu tidak ada.
"Sumpah, deh, Sa, kalau si El gak ada di sini, pengen banget gue pites, tuh, orang satu-satu," ujar Karin geram.
Nafisa yang menjadi lawan bicaranya hanya mampu mengusap-usap punggung gadis itu. "Sabar, Rin. Kita tunggu sampai saat yang tepat."
Kedua gadis itu melampaikan tangan pada El dan Fathia karena mereka harus segera masuk ke dalam kelas. El dan Fathia berjalan beriringan menuju kelas mereka yang terlihat ramai. Namun, baru lima langkah lanjut berjalan, Fathia tiba-tiba menepuk pundak El.
"Ehm, El, aku pergi bentar dulu, ya?"
El berhenti berjalan dan menoleh pada Fathia. "Kenapa, Fat?"
"Nggak apa-apa, kok. Kamu pergi duluan aja ke kelas. Nanti aku nyusul," ujar Fathia sambil tersenyum.
"Oh, ya, udah. Cepet, ya."
Gadis berkacamata itu mengangguk, lalu pergi ke arah yang berlainan. Sementara El kembali mengayunkan langkahnya. Ia masuk ke dalam kelas dan meletakkan tasnya di kursi.
Tadi Rania sempat memberikan catatan hasil rapat OSIS kepada El yang cukup membuatnya pusing karena tidak menyimaknya secara langsung. Belum lagi tugas demi tugas yang belum selesai ia kerjakan dan belum paham betul materinya. Gadis itu mengeluh karena ada banyak sekali yang ia lewatkan selama tidak berada di sekolah.
"Pak Narji minta lo untuk datang ke kantornya nanti waktu jam istirahat." El sontak mendongak mendengar suara berat itu. Matanya bertemu dengan mata cowok yang ia benci selama ini, Aslan.
"Oh, lo sekarang udah jadi asistennya Pak Narji?" ledek El. Kembali mencari masalah dengan cowok tersebut.
Namun, di luar dugaan, Aslan hanya berdeham. "Gak usah banyak protes."
Cowok itu berjalan menuju kursinya. Meninggalkan El yang masih terkejut dengan reaksi Aslan. Tidak seperti biasanya. Ia pikir Aslan akan meladeni ejekannya tadi dengan kata-kata pedas atau kata-kata mutiara miliknya.
"Kenapa, tuh, anak? Sakit?" gumam El bingung. Ia melirik Aslan yang tengah terlibat obrolan dengan ketiga temannya. Lebih tepatnya hanya menyimak dan sesekali menimpali.
El memalingkan wajahnya. Ah, untuk apa ia peduli? Toh, bukankah selama ini dia membenci Aslan?
- Aslan -
"Mana Eliza Lahima?" Suara tegas Pak Narji mengaung ketika seisi kelas tengah khusyuk mengerjakan soal-soal matematika di papan tulis. Menarik perhatian para murid yang sekarang sedang banjir keringat melihat deretan angka yang sangat menyiksa.
Sementara El, gadis itu mengernyit. Merutuk dalam hati dan bertanya-tanya kenapa kepala sekolah ajaib ini mencarinya sekarang. Bukannya kata Aslan Pak Narji memintanya datang nanti saat istirahat?
Pak Ridwan berdeham kecil. Membuat El segera mengacungkan tangan.
"Nah, itu orangnya. Ikut bapak sebentar, El. Ada yang mau didiskusikan," ucap Pak Narji cepat. El mengangguk. Lantas segera meminta izin pada Pak Rdiwan dan mengikuti langkah kaki Pak Narji.
Jarang-jarang ia dipanggil langsung oleh kepala sekolah. Biasanya yang memanggilnya adalah Pak Bambang langsung. Tapi, kali ini El berusaha agar tidak banyak tanya dan tentu saja tidak banyak tingkah. Kalau tidak, akan semakin sulit untuk menghadapi bapak kepala sekolah yang satu ini.
Pak Narji memasuki ruangannya yang bolehlah dibilang kecil itu. Beliau mempersilakan El duduk di hadapannya. "Duduk aja. Anggap ruangan sendiri. Di sini cuma ada saya. Nggak ada setan yang berani bermukim di sini. Kalau ada, udah lama saya pites mereka," gurau Pak Narji.
El mencoba untuk tersenyum dan ikut ber-haha-hihi, meski baginya itu tidak lucu sama sekali. Garing.
"Jadi, El, setelah ngopi cantik sama Pak Bambang sekaligus diskusi penuh kobaran api, saya memutuskan untuk mengizinkan kamu ikut olimpiade selanjutnya."
El membulatkan matanya dan menganga. "Beneran, Pak?"
"Bener, dong. Kapan saya pernah bohong?" Pak Narji balas bertanya.
El terdiam sebentar di tempatnya. Benar juga. Tapi kenapa tiba-tiba banget? Bukannya kemarin Pak Narji yang bersikeras melarangnya ikut olimpiade? Kenapa tiba-tiba malah diperbolehkan? Dia belum merasakan ada perubahan yang signifikan dari sikapnya. "Kenapa tiba-tiba, Pak? Eh, maksud saya, sikap saya, kan, belum ada perubahan?"
"Kenapa? Kamu gak mau ikut? Oh, ya, udah kalau gitu."
Mendengar itu, El cepat-cepat mengangguk. "Eh, iya, Pak, iya. Saya mau, kok."
"Tapi inget, El, kalau sikap kamu juga nggak mengalami perubahan, saya dengan berat hati harus nge-blacklist kamu dari daftar perwakilan olimpiade sekolah sampai lulus," ujar Pak Narji dengan seringaian yang membuat El refleks menelan ludahnya.
"Siap, Pak. Saya janji akan membuat perubahan. Ya, udah, saya pamit undur diri."
Pak Narji menggelengkan kepalanya melihat kelakuan El dan menyuruh El untuk kembali ke kelas. Berhubung bel istarahat baru saja dibunyikan. "Jangan lupa panggil Aslan dulu, ya! Saya mau ngomong sama Aslan."
Segera saja El mengangguk tanpa banyak alasan untuk menolak.
- Kita & Luka -
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita & Luka {Tamat}
Teen FictionSMA Series 1 - Eliza & Aslan "Karena pada akhirnya luka itu yang membuat kita kuat." Tentang Eliza Lahima, gadis pemberontak dan tak tahu aturan karena kejadian buruk yang terjadi padanya di masa lalu. Ia selalu bersikap semaunya dan menganggap apa...