Merasa Terancam

111 32 10
                                    

El kira, masalahnya dengan Aslan akan cukup sampai saat itu saja.

"Gue bilang juga apa, El. Posisi lo bakal terancam dengan adanya Aslan di sekolah ini," komentar Nafisa sambil melihat kertas berisi nilai ulangan harian Fisika kelas IPA-1 yang sengaja ditempel di mading.

Biasanya El masa bodoh dengan nilai tersebut. Tapi kali ini, ia mematung di depan mading. Menggigit bibir melihat namanya berada di posisi kedua. Sementara yang menempati posisi pertama adalah anak baru itu, Aslan.

Kemarin Kimia, terus Matematika, sekarang Fisika?

Besok mata pelajaran mana lagi yang akan diungguli oleh cowok itu?

Gadis itu langsung melangkah menjauh dari sana. Mengabaikan teman-temannya yang masih berdiri sambil menatapnya menjauh.

Ambisius adalah sifat El sejak ia masih kecil. Menang adalah sumber kebahagiaan. Sedangkan kalah adalah sebuah pantangan.

El masuk ke dalam kelas dan menemukan Aslan di sana. Ia menghela napas panjang. Lantas segera melangkah menuju tempat cowok itu. Tanpa malu, ia menarik earphone yang terpasang di telinga Aslan.

Kaget dengan kelakuan El, Aslan sontak menatapnya tajam. "Lo nggak pernah diajarin sopan santun?"

"Bodo amat sama sopan santun. Gue mau lo tanggung jawab!" seru El dengan nada tinggi. Suaranya mampu menarik orang-orang untuk mendekat ke kelas mereka.

Aslan mengernyit. "Tanggung jawab? Memang gue ngapain?" tanya Aslan bingung.

"Pake acara pura-pura nggak tau lagi! Lo udah jatuhin harga diri gue!"

"Oh, lo punya harga diri?"

"Ya, punyalah! Bego banget, sih, lo!"

"Gue pikir lo udah lupa sama harga diri lo. Habisnya lo sering ..."

"Gak usah ceramahin gue! Gue gak butuh ceramah lo!" balas El dengan nada yang lebih tinggi.

Keadaan kelas hening sejenak. Hanya menyisakan deru napas El yang masih terdengar. Aslan menghela napas, lalu berdiri hingga membuat El mundur beberapa langkah.

"Baru tau gue ada cewek gak tau malu kayak lo," sindir Aslan tajam.

"Heh! Udah lo yang salah kenapa lo yang sewot, sih?!" El berseru tidak terima.

"Harusnya lo tanya sama diri lo sendiri. Udah lo yang salah kenapa lo yang sewot?" balas cowok itu. El terdiam mendengarnya. "Kan, lo yang tidur waktu pelajaran. Jangan-jangan lo juga sok-sokan gak belajar padahal tau mau ulangan. Jadi, siapa yang salah?"

El menggigit bibirnya. Menahan kekesalan yang kapan saja siap meledak.

"Gue heran, kenapa orang kayak lo bisa-bisanya ngotot bisa jadi perwakilan sekolah buat ikut olimpiade. Gak tau aturan, bolak-balik masuk BK, bahkan gue denger lo pernah ikut tawuran. Apa, sih, yang bisa dibanggain dari lo? Muka cantik tapi busuk! Akhlak nol besar! Pinter juga cuma kebetulan, doang!" Aslan kembali melontarkan kata-kata yang cukup pedas. Membuat kerumunan murid di luar kelas kembali heboh.

El terhenyak, dia menatap tidak percaya ke arah cowok itu. Seumur-umur tidak ada yang pernah menghinanya seperti itu. "Diem lo! Kalau lo gak tau apa-apa, mending lo diem!" teriaknya.

Namun Aslan mana mau berhenti. "Kenapa? Udah sadar? Malu karena udah tahu kalau lo itu gak se-perfect yang lo kira? Harusnya lo itu malu, El. Gue yang liat lo aja malu, jijik liat cewek gak tau diri kayak lo," ujar Aslan lagi, cukup untuk membuat El tertohok.

Kata-kata Aslan mengundang sorakan dari luar kelas. Mereka tidak peduli lagi kalau yang tengah Aslan caci ini perempuan. Murid-murid sekolah ini penuh dengan kebohongan. Mereka bisa saja bersikap baik di depan El, namun mereka sama saja seperti Calline dan gengnya yang membenci El setengah mati.

Kita & Luka {Tamat}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang