Perang Dingin

99 27 18
                                    

Setelah terpaksa bersikap manis dan baik kepada Aslan karena Oma Melati sudah lebih dulu melihatnya, akhirnya El menarik tangan kedua sahabatnya dan mengajak mereka untuk masuk ke dalam kamar. El merasa kalau tubuhnya panas dingin sekarang. Keringat dingin tidak berhenti mengucur. Perasaannya campur aduk antara heran, kesal, gugup, dan takut. Aduh, kenapa pula anak itu harus ada di sini? Mungkin hanya El yang tidak senang dengan kehadiran Aslan. Ia tidak senang sama sekali orang yang ia suka sekaligus benci harus tinggal di sini dan menjadi bagian dari 'keluarga'-nya.

Di dalam kamar, ketiga sahabatnya, termasuk Fathia, tersenyum mengejek pada El yang kini merasa gusar. Mereka tidak tahu harus bersikap seperti apa lagi. Terlebih Fathia yang sudah tahu lebih dulu. Baru kali ini mereka melihat El segusar ini. Hal itu membuat mereka sedikit geli dan nyaris tertawa.

"Ih, Fathia, lo, kok, gak bilang sama gue kalau dia mau tinggal di sini? Lo pasti udah tau duluan, kan?"

Fathia terkekeh geli. "Kan, kamu gak nanya. Ngapain aku bilang?" ucap Fathia tanpa rasa bersalah.

"Lo, mah. Lo gak tau, kan, seberapa awkward-nya di bawah tadi? Sumpah, deh, rasanya gue mau langsung menghilang aja tadi." El merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Kejadian tadi masih berputar-putar di ingatannya. Terbayang jelas sekali wajahnya yang merah padam dan wajah dingin Aslan. Terbayang jelas ketika Haziq, Reyhan, dan Azzam yang kebetulan berada di sana menertawakan mereka diam-diam.

"Kasian banget lo, El. Sekarang tiap hari lo ketemu sama dia. Orang yang paling lo benci. Hahaha ... gue gak bisa bayangin seberapa awkward-nya lo dan Aslan nanti," ejek Karin sambil terkekeh.

"Dih, temen macem apa, sih, lo. Lihat temennya susah malah diketawain." El mendengkus sebal. Ia bangkit dari posisi tidurnya dan memilih untuk duduk.

"Itu sebuah kewajiban, El," celetuk Nafisa tanpa rasa bersalah.

"Kewajiban apaan!" gerutu El sebal. "Tinggal hitungan waktu sampe Aslan berani ngaduin semua perilaku buruk gue di sekolah. Gila, sih. Oma kesambet apa coba sampai harus ngajak dia tinggal di sini?"

Fathia menepuk jidatnya. Tidak habis pikir dengan kelakuan El saat ini. "Biarin ajalah. Ini kesempatan kamu untuk memperbaiki hubungan kamu dengan Aslan. Gak bosen apa musuhin dia? Aku aja yang ngeliatnya bosen," kata gadis itu serius.

"Iya, El. Bayangin, deh. Dia bakal tinggal di sini sama kalian entah sampai kapan. Gue juga gak yakin kalian setiap hari bisa pura-pura akrab di depan Oma Melati. Bisa-bisa lo sama Aslan perang dingin tiap hari. Jadi alangkah baiknya kalian maaf-maafan," lanjut Nafisa yang disambut dengan anggukan kepala dari Karin.

El menatap teman-temannya dengan sorot mata tidak percaya. "Minta maaf? Dih, nggak akan!"

- Eliza -

Benar dugaan Nafisa tadi siang.

Seperti hari-hari sebelumnya, jika sedang tidak mengerjakan apa pun, anak-anak di rumah ini membantu Oma Melati menyiapkan kue pesanan pelanggan. Di saat-saat seperti ini mereka memanfaatkan waktu untuk saling mengobrol dan sesekali bercanda. Biasanya hal ini juga berlaku bagi El, Fathia, dan Haziq. Namun, sepertinya hal itu tidak berlaku lagi mulai malam ini.

Haziq dan Fathia hanya bisa saling pandang sesekali melihat fenomena tidak biasa di depan mereka. Aslan dan El yang saling berhadapan meski tidak berjarak terlalu dekat itu hanya diam seribu bahasa. Tidak berniat saling menegur atau berdebat seperti biasanya.

"Lo berdua kalau mau perang dingin jangan di sini. Menggigil gue, tuh, ngeliatnya," ujar Haziq setengah bercanda. Bermaksud menetralkan keadaan.

El menghela napas, lantas menatap Haziq. "Ziq, bilang, dong, sama teman songong lo itu. Ngapain dia di sini? Bilang apa sama Oma Melati sampe Oma mau nampung dia di sini?"

Kita & Luka {Tamat}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang