Lika-liku Hidup Aslan

77 17 0
                                    

El tidak tahu harus bersikap seperti apa ketika Aslan melenggang pergi dari rumahnya. Dia bisa merasakan ketidaksukaan Aslan terhadap ibunya tadi. Apa ada yang cowok itu sembunyikan darinya dan teman-temannya. Entahlah. Teka-teki kehidupan cowok itu terlihat rumit sekali.

Sudah sekitar lima belas menit ia menelusuri jalan sendirian. Namun, gadis bermata cokelat itu tidak kunjung menemukan orang yang dicari. Akhirnya ia merogoh saku dan mengeluarkan ponsel miliknya. Mencari-cari kontak Haziq, lalu segera meneleponnya.

"Assalamu'alaikum, Ziq. Gimana? Udah ketemu belum?" tanya El sembari melipat tangannya.

"Belum, El. Fathia juga belum ketemu sama dia." El mengeluh tertahan. Bukan itu jawaban yang dia inginkan.

"Duh, ya, allah, tuh, anak ke mana, sih?" El mulai gelisah. Hatinya tidak tenang. Dia juga tidak tahu tempat-tempat yang kemungkinan Aslan datangi. Lagipula, sepanjang yang ia tahu, Aslan tidak suka keluar rumah. Ia lebih suka berada di dalam rumah dan menyendiri.

"Nggak tahu, deh, El. Tapi inget, ya, kalau sampai jam dua belas nanti kita belum juga ketemu sama dia, kita harus pulang. Titik," ujar Haziq tegas.

El tampak keberatan mendengarnya. "Ih, kok, gitu, sih? Kalau dia kenapa-napa gimana?"

"El, kita semua khawatir sama dia. Apalagi Tante Qonita yang masih di rumah. Tapi jangan negative thinking, dong. Inget, ada Allah yang selalu mengawasi setiap langkah dan melindungi hamba-Nya. Di mana pun Aslan sekarang, gue yakin dia gak apa-apa."

"Eh, Ziq, lo habis makan apa, sih, kok, bisa jadi bijak gini?" tanya El iseng, Membuat Haziq menghela napas berat.

"Duh, lo, tuh, ya." Haziq mengacak rambutnya. "Udah, deh. Kita terusin pencariannya. Kalau udah ketemu sama Aslan, kabarin gue, ya."

"Oke, aku matiin, ya. Assalamu'alaiku," pamit El. Setelah Haziq menjawab salam, El memutuskan sambungan telepon. Memasukkan ponsel tersebut ke dalam sakunya kembali.

El menghembuskan napas berat. Ia merapikan sedikit jilbabnya dan meneruskan langkah. Asal berjalan ke sembarang arah tanpa tahu persisnya akan kemana. Setidaknya dengan berjalan peluang menemukan Aslan lebih besar, ketimbang ia hanya berdiam diri di tempat semula.

Langkah-langkah panjang El membawanya ke taman kota. Ada banyak orang berada di sini untuk menghabiskan hari libur bersama keluarganya. Anak-anak berlari ke sana ke mari. Memenuhi area bermain. Pandangan para orangtua pun tidak lepas dari anak-anak mereka.

El berinisiatif mencari kontak Aslan di ponselnya. Lantas meletakkan ponsel tersebut di dekat telinganya. Terus berjalan sambil menunggu Aslan menjawab teleponnya.

Baru saja ingin melanjutkan gerutuannya, mata El menangkap sosok laki-laki yang sedang duduk di bawah pohon yang terlihat rindang. Ia menatap ke bawah. Sorot matanya terlihat kosong. El bisa melihat wajahnya dengan jelas. Itu pasti Aslan.

Gadis itu berjalan mendekat. Lantas berhenti satu meter di dekatnya. "Aslan ..."

Cowok itu menoleh kepada El. Tersenyum samar. "Bilang sama dia, gue gak mau balik kalau dia masih ada di sana," ujarnya dingin.

El paham siapa yang Aslan maksud. Ia melihat ke sekelilingnya. Lantas duduk di dekat cowok itu dengan jarak satu meter. "Mama lo kayaknya sayang banget, ya, sama lo," kata El sambil memainkan ujung jilbabnya,

"Siapa yang lo maksud? Wanita pengkhianat itu?" tukas Aslan dengan nada yang terdengar tajam. Membuat El menahan napas. "Dia bukan ibu gue."

"Lo gak boleh gitu, Aslan. Mau bagaimanapun juga beliau itu ibu lo. Gue gak tau kenapa lo bisa semarah itu sama Tante Qonita, tapi yang gue tau, lo harusnya gak di sini. Harusnya lo di sana dan ngobrol sama Tante Qonita," ujar El tegas.

Kita & Luka {Tamat}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang