El melangkah santai ke arah musala. Dia sampai di depan musala. Memutuskan untuk menunggu di sana sambil sesekali memainkan rambutnya yang terurai. Menunggu orang yang ia cari keluar.
Tak lama kemudian orang yang ditunggunya keluar bersama Haziq. Merea berdua duduk di beranda musala, lantas memakai sepatu. Gadis itu menegakkan tubuhnya dan segera menghampirinya. "Anak baru di kelas 11 IPA-1, kan?"
Cowok yang sedang mengikat tali sepatunya itu mendongak. Menatap El sekilas. Cowok itu lantas berdeham. "Iya."
Irit banget ngomongnya. Padahal ngomong, kan, gak pakai kuota, batin El kesal.
El mengulurkan tangannya. "Gue juga dari kelas IPA-1. Oh, ya, kita belum kenalan. Nama gu-"
"Gue udah tau. El, kan? Kita udah ketemu tadi pagi. Lo cewek barbar dan gak tau peraturan yang lompat dari tembok belakang tadi, kan??"
Mendengar kalimat ketus itu, El meneguk ludah sambil perlahan menarik kembali tangannya. Ah, sial. Mungkin lebih baik dia irit ngomong seperti pertama kali tadi. Kalau ngomong panjang gini sudahlah sarkas, mancing emosi pula.
Haziq dan kedua temannya mulai tertarik dengan interaksi mereka. Mulai menyimak.
"Ada masalah apa?" tanya cowok itu, mengalihkan perhatian El. "Kenapa ke sini?"
"Gue disuruh sama Pak Bambang untuk ngajak lo keliling sekolah. Dan kalau lo lupa, kita belum selesai kenalan," balas El. Mulai kehabisan kesabaran menghadapi cowok ini.
"Harus keliling sekolah?" Cowok itu kembali bertanya.
El menghela napas. Ia melipat kedua tangannya. "Iya, harus. Dan gue belum tahu nama lo," ujar El dengan penuh penekanan. Matanya menatap cowok itu dengan sorot mata kesal.
Cowok itu mendongakkan kepala lagi. Lantas tak lama kemudian berdiri dari posisi duduknya. Membuat Haziq, Reyhan, dan Azzam semakin antusias memperhatikan mereka berdua.
"Nama gue Aslan," katanya dengan suara tajam. Membuat El tanpa sadar mundur tiga langkah darinya. "Lo gak perlu ajak gue keliling sekolah. Gue bisa sendiri."
El mengerutkan kening. "Ini perintah dari Pak Bambang. Ini wajib dan lo gak boleh nolak. Setiap murid yang baru masuk juga kayak gini, kok."
"Lo gak denger tadi kalau gue bilang gue bisa sendiri?"
Haziq memperhatikan mereka berdua dengan saksama. Menahan tawa yang siap meledak kapan saja sebab melihat wajah canggung El. Baru kali ini ia melihat wajah sahabatnya seperti itu.
"Mungkin El mau minta nomor telepon, Slan," celetuk Reyhan dengan cengiran tidak berdosanya. Tidak peduli kalau El langsung melotot padanya. "Mungkin Inces El mau PDKT."
Melihat sahabatnya sudah beraksi, Azzam pun ikut memancing keributan. "Nah, bener, tuh. Mungkin El sebenarnya suka dan mau nyatain perasaannya, Slan," tambahnya sambil cengengesan.
Reyhan sama Azzam nggak ada akhlak. Awas aja lo berdua, ya. Gue jadiin soto baru tau.
Aslan menaikkan asilnya. Ia kembali menatap gadis di depannya dengan tatapan menusuk. Membuat El refleks mengalihkan pandangannya. Berusaha agar tidak bertatapan dengan laki-laki itu.
"Ngapain masih di sini?"
Oh, shit, pertanyaan itu lagi. Gue bener-bener pengen mukul, nih, cowok. Tapi, demi menjaga image gue yang sekarang kelihatannya berharga, gue akan bersabar.
"Udah gue bilang, kan? Pak Bambang ngasih gue amanah untuk ngajak lo keliling sekolah. Susah banget, sih, dikasih tau? Lo tinggal ikut gue keliling sekolah, terus semuanya kelar," ujar El kemudian.
"MODUS!"
Gadis itu kembali melotot pada Reyhan yang malah terpingkal-pingkal sendiri. Merasa bahagia karena sukses membuat emosi El terpancing. Sementara Azzam dan Haziq yang ingin tertawa juga mengurungkan niatnya karena melihat ekspresi El yang tidak main-main lagi.
Biarlah Reyhan tersiksa oleh ulahnya sendiri nanti.
Tanpa El sadari, Aslan sudah berjalan melewatinya. Dia sama sekali tidak peduli dengan gadis itu. Aslan merasa kalau waktunya terbuang sia-sia dengan tingkah tidak jelasnya. Tidak penting.
"Eh, woy, tunggu! Gue belum selesai bicara!" El berputar haluan dan berjalan mengekori Aslan. Meninggalkan ketiga cowok itu yang kini tertawa terpingkal-pingkal. "Gue bisa kena masalah kalau perintah dari Pak Bambang belum terlaksana!"
Mau tidak mau Aslan harus berbalik untuk menanggapinya. "Bilang aja sama Pak Bambang kalau gue gak perlu diajak keliling," kata Aslan cuek.
El menghela napas kesar. Kesabarannya sudah habis. Saatnya ia memakai cara kasar.
"Dasar cowok keras kepala! Emang apa ruginya keliling sekolah bentar, hah?" Suara El mulai meninggi. Membuat perhatian beberapa murid tertuju pada mereka. Aslan yang tadinya mau langsung pergi mengurungkan niatnya. Terdiam di depan El. "Gue bisa kena masalah kalau lo gak nurut! Pokoknya lo ikut gue sekarang!"
Aslan pun tak mau kalah. "Lo nyadar gak? Lo juga keras kepala! Gue gak mau. Itu cuma buang-buang waktu aja."
"Heh, Cowok Songong, waktu gue yang berharga juga terbuang sekarang!"
"Nah, itu lo tau kalau waktu lo terbuang. Kenapa lo gak pergi aja?"
"Karena ini perintah dari Pak Bambang, Dodol! Gue gak bisa pergi gitu aja kalau amanahnya belum terlaksana! Kalau lo gak mau ngikutin gue, gue bakal dapet hukuman lain, Sinting!"
Ketiga cowok yang memperhatikan mereka malah melongo melihat perdebatan El dan Aslan.
"Wah, wah, gue harus cepat-cepat buat live instagram!" Azzam buru-buru merogoh kantong dan mengeluarkan ponselnya. Dengan cepat ia membuka aplikasi yang ia maksud dan mengaktifkan fitur live instagram. "Lumayan bisa jadi kenang-kenangan kalau udah lulus!"
"Aslan, gue gak mau buang-buang waktu. Gue masih punya banyak kerjaan. Ayo, dong. Lo tega liat gue dihukum sama Pak Bambang kalau ketauan gak ngelaksanain perintahnya? Bagus kalau Pak Bambang kasih toleransi, kalau nggak?" Bibir El mengerucut. Ia memasang wajah memelas. Berharap kalau Aslan akan kasihan padanya. Jujur, ia jijik sendiri melakukannya. Namun ia tidak ada pilihan. Senakal apa pun dia, ia akan merasa berat jika menyia-nyiakan tanggung jawab dan kepercayaan orang lain. Ia tahu betul kepercayaan itu mahal harganya.
Aslan tampak terdiam lagi. "Kalau gue gak mau?"
"Capek gue. Lo keras kepala banget, sih?!" El mengeluh. Kemudian ia menatap Aslan lagi. Tiba-tiba ide gila muncul di kepalanya. Ia tidak tahu apakah ini akan berhasil, tapi ia akan mencoba. "Kalau lo gak mau, kita jadian!"
Teman-teman Aslan yang berdiri tak jauh dari mereka sontak terkejut. Begitu juga dengan teman-teman El yang baru saja menghampiri mereka.
Fix otaknya udah pindah ke mata kaki, batin Haziq.
Fix El bukan temen Fathia lagi, batin Fathia.
Aslan terdiam lagi. Ia mengembuskan napas berat. Mimpi apa dia semalam sampai bertemu cewek dengan kelakuan absurd seperti ini? Dapet inspirasi darimana El sampai mengatakan itu?
Sementara El di depannya hanya tersenyum dengan wajah tanpa dosa. Ia masih menanti jawabannya. Ia tahu kata-kata itu dari aplikasi baca online yang digandrungi teman-temannya. Kalau yang ia baca di sana, sih, kalimat itu berhasil membuat lawan bicara mengiyakan kemauannya.
"Gimana? Lo mau, kan?"
Cowok itu menatap El, lantas tersenyum miring. "Gue gak punya waktu buat ngeladenin cewek kayak lo. Minggir, gue mau pergi."
El menenggak ludah. Ia menggigit bibirnya sendiri.
Sementara Aslan dengan tidak peduli langsung melangkah menjauhi gadis itu.
- Kita & Luka -
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita & Luka {Tamat}
Roman pour AdolescentsSMA Series 1 - Eliza & Aslan "Karena pada akhirnya luka itu yang membuat kita kuat." Tentang Eliza Lahima, gadis pemberontak dan tak tahu aturan karena kejadian buruk yang terjadi padanya di masa lalu. Ia selalu bersikap semaunya dan menganggap apa...