Jangan Takut, Ada Allah

85 22 3
                                    

"Fat, El mana?" tanya Haziq. Ia dan Aslan baru keluar dari rumah. Kebetulan menemukan Fathia sedang duduk di depan sambil memakai sepatu.

"Di dalam kali," ujar Fathia dengan nada yang terdengar kurang yakin.

Haziq mengernyitkan dahinya. "Kali? Lo sama dia masih musuhan?" tebak cowok itu.

"Bukan musuhan. Tapi Karin nyuruh aku buat menjauh dari dia sebentar. Maksudnya, tuh, biar bisa mantau gimana El kalau gak ada kita," ucap gadis berkacamata bundar tersebut.

"Yah, tapi gak gitu keleus. Kasian tau dianya. Kayak dimusuhin gitu."

"Memangnya kamu nggak jauhin dia, Ziq?" sindir Aslan yang langsung membuat Haziq salah tingkah.

"Ya, gue maksudnya bukan jauhin dia. Gue cuma lagi nggak ngomong sama dia aja," kilahnya.

"Sama aja, dong, Ziq," timpal Fathia sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Gadis itu bangkit dari posisi duduk, membenarkan sejenak tas yang ia sampirkan di pundak. "Aku pergi dulu, ya. Assalamu'alaikum," pamitnya.

"Wa'alaikumussalam," jawab Haziq dan Aslan berbarengan.

"Hati-hati, Calon istri!" Haziq terkekeh dengan tidak berdosa ketika Aslan menyikutnya. "Maaf, Slan. Gue bercanda, doang."

"Bercanda, bercanda. Hati-hati ntar kepincut beneran," canda Aslan.

"Dih, sejak kapan lo kayak gini? Wah, pasti ajarannya si Reyhan, ya? Emang kurang asem, tuh, anak. Bisa-bisanya dia. Liat aja, nih, sampai sekolah, tuh, anak bakal gue cin-"

Kalimat Haziq refleks terputus. Membuat Aslan mengernyit dan menepuk pundaknya beberapa kali. "Ziq? Lo gak papa?"

Bukannya menjawab, Haziq malah mengarahkan dagunya ke arah kanan. Seakan menyuruh Aslan melihat ke belakang. Refleks Aslan mengikuti arah pandangn Haziq.

Di belakang mereka ada El yang baru keluar dari rumah. Ada perbedaan yang mencolok dari penampilannya hari ini. Ia tidak mengucir rambutnya dan memakai rok selutut seperti biasanya. Hari ini, ia memakai jilbab segi empat berwarna senada dengan seragamnya. Juga memakai rok panjang semata kaki.

"Eh, El?" Haziq nyaris saja tidak berkedip. Sangking kagetnya dengan penampilan El yang sekarang. "Ini El yang sering dipanggil ke ruang BK, kan? Lo ... benera pakai jilbab?"

El menoleh pada mereka. Lalu memperhatikan pakaiannya. "Iya. Kenapa? Nggak bagus, ya?"

"Bagus, kok." Aslan mendadak pias sendiri setelah mengatakan itu. Ia meneguk ludah. Merutuk dirinya sendiri. Kenapa bisa sampai keceplosan, sih?

Sementara El yang mendengar itu hanya mengangguk-angguk kecil. Ada seulas senyum tipis di wajahnya. "Oh, makasih. Gue pergi duluan, ya?"

"Yakin mau pergi sendiri? Kalau di sekolah nanti, murid-murid pada ... eh, aduh!" Ucapan Haziq terputus untuk kedua kalinya setelah Aslan memijak pelan kakinya. Menyuruh cowok itu untuk berhenti bicara. Sontak saja Haziq menatap Aslan dengan pandangan yang bisa diartikan seperti 'Salahku apa?'.

El mengerti maksud Haziq. "Nggak papa, Ziq. Gue udah terbiasa. Gue duluan, ya. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam." Keduanya kompak menjawab. Setelah punggung El sudah tidak terlihat lagi, Haziq menatap Aslan. Tatapan yang menuntut sebuah penjelasan.

"Lo harus bilang ke gue apa yang lo perbuat sampai dia bisa kayak gitu!"

Aslan mengernyit. "Kenapa gue?"

"Ini pasti ada sangkut pautnya sama lo, kan? Bahkan tadi lo muji penampilan El!"

"Eh, udah jam berapa ini? Ayo, berangkat!"

Kita & Luka {Tamat}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang