Surat

69 15 0
                                    

"Kamu yakin ingin bercerai dengan Juan?" Untuk kesekian kalinya, wanita yang umurnya sepantaran dengan Qonita itu bertanya.

"Bukannya kita sudah membahas ini sejak lama, Ellen?" Qonita tersenyum kecil melihat wajah pengacaranya yang nampak kikuk.

"Tapi, masih belum ada kata terlambat untuk berubah pikiran, Ta."

"Dan keputusan saya sudah bulat, Ellen."

Wanita yang dipanggil Ellen itu hanya bisa menghela napas. Baiklah kalau Qonita sudah membulatkan keputusannya. Lagipula wanita itu tidak mudah digoyahkan pendiriannya. Ia sudah tahu dan paham atas semua konsekuensinya.

Di tempat lain, terdapat Juan yang menikmati waktu luangannya seorang di ruang kerjanya. Beberapa berkas dibiarkan tertumpuk di sofa. Komputer yang nampak tidak menyala karena seharian dipaksa bekerja.

Rumahnya kini terasa sepi. Tidak ramai suara anak-anak. Juan tahu ia merindukan semua itu. Suara langkah kaki mereka, canda tawa mereka, semua itu mewarnai harinya. Juga si sulung yang hampir seharian tidak terdengar suaranya. Lebih senang berkutat dalam dunianya sendiri.

Aslan memang tidak dekat dengan keluarganya. Dia tidak pernah merasakan masa kecil layaknya anak-anak kebanyakan.

Kalau sudah begit, siapa yang layak ia salahkan?

- Juan -

"Urus diri kamu sendiri, Nathan!"

"Tapi, Slan, aku butuh kamu."

"Jangan manja. Belajar ngurus diri kamu sendiri. Hidup itu lebih kerasa daripada yang kamu tahu."

"Aku gak manja."

"Bagus! Kalau gitu pergi sekarang dan jangan pernah datang ke sini lagi!"

Mata Nathan mengerjap. Perlahan dia bisa menangkap cahayya lampu dan mengumpulkan kesadarannya. Dia melirik ke sebelah kanan, tempat di mana kepala Aslan tergeletak.

Kenangan itu datang lagi. Membuat Nathan tidak percaya kalau kakaknya rela menemaninya semalaman setelah operasi. Menjaganya selama ini di rumah sakit. Dari dokter ia tahu, kalau yang paling cemas dengan kondisinya saat ini hanyalah Aslan seorang.

Tangan Nathan tergerak menggenggam jari kakaknya. Mendapat sentuha itu, Aslan refleks bangun dan menatap Nathan. Tersenyum sebisa mungkin meski pikirannya masih kalut. "Gimana? Udah baikan? Nih, minum dulu."

Nathan menuruti perintah kakanya. Lantas berkata, "Alhamdulillah, udah mendingan. Papa sama Mama belum ke sini?" Pertanyaan Nathan membuat senyum Aslan sirna.

"Belum."

Jawaban singkat Aslan membuat Nathan tersenyum tipis. Sudah kuduga.

"Kamu istirahat aja, Nath. Aku mau keluar bentar, ya." Cowok itu berdiri dan beranjak keluar dari kamar. Tujuannya adalah kantin rumah sakit. Ia ingin membeli roti untuk sarapan sekaligus menulis sesuatu.

Setelah membeli roti, ia duduk di salah satu kursi. Lantas mengeluarkan ponsel. Ia membuka aplikasi notes dan menulis sesuatu di sana.

Assalamu'alaikum, Ma, Pa

Aslan tahu sebentar lagi kalian akan menjalankan sidang. Keputusan kalian sudah bulat, tidak dapat diganggu gugat. Tapi Aslan ingin mengatakan sesuatu.

Aslan tahu kalian benci pada Aslan atas kesalahan yang tidak pernah Aslan lakukan. Aslan tahu kalau kalian sedang menghadapi masalah yang besar. Tapi Aslan mohon, jangan libatkan Nathan di masalah kalian.

Pa, Ma, Nathan perlu keluarga yang lengkap, bukan keluarga yang berpecah belah.

Aslan bisa pergi asal Papa dan Mama tidak menyusahkan Nathan di sini. Bagi Aslan, Nathan adalah prioritas nomor satu. Itu bentuk kasih sayang Aslan padanya.

Tidak perlu mengkhawatirkan Aslan. Aslan senang kalau kalian bisa berkumpul lagi. Pikirkan lagi keputusan kalian, ya, Pa, Ma.

Aslan udah gagal jadi abang yang baik untuk Hanum, kali ini Aslan gak mau gagal lagi untuk jadi abang yang baik juga untuk Nathan.

Aslan sayang kalian, walaupun Aslan tidak tahu apakah kalian menyayangi Aslan atau tidak.

Cowok itu tersenyum tipis. Ia menyalin semua kata-kata itu, lalu mengirimkannya ke Juan dan Qonita via chat.

Apa pun, ia lakukan untuk Nathan. Ia tahu kalau ia tidak bisa mendapat tempat di hati orangtuanya. Tidak apa, dia bisa merelakan semua perhatian mereka pada Nathan.

- Kita & Luka -

Kita & Luka {Tamat}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang