Olimpiade: Panggung Unjuk Diri

83 25 8
                                    

"Gimana perkembangan El, Slan?"

Pertanyaan Pak Narji membuat cowok itu mengangkat kepalanya. Ia tersenyum paksa. "Baru dua hari saya ngawasin dia. Ya, masih gitu-gitu ajalah, Pak. Belum ada perkembangan yang serius," kata Aslan.

Mendengar itu Pak Narji menghela napas. Ia kembali duduk di kursinya. "Olimpiadenya besok, Slan. Saya berkata ia boleh mengikuti olimpiade karena kamu memaksa kemarin, kan? Tapi seperti yang Bapak bilang, sekolah gak bisa melepas murid yang punya nilai sikap rendah untuk mengikuti olimpiade atau semacamnya seperti El. Kamu tau sendiri sekolah kita ini punya nilai baik di mata orang-orang. Dan kamu tau sendiri El bagaimana, kan? Kalau semisalnya dia bertingkah di sana, bagaimana pandangan orang lain terhadap sekolah kita nanti?"

Aslan mengangguk-angguk paham. "Tapi, Pak, bukannya dengan ini, El malah merasa kalau orang-orang mencap dia sebagai ... anak bermasalah?"

"Sebenarnya iya, Slan. Tapi kembali lagi dengan pembahasan saya tadi. Kita gak bisa sembarangan," tegas Pak Narji lagi.

"Kita bisa kasih El kesempatan, Pak. Gak ada yang bisa berubah dalam waktu sesingkat ini. Semua punya proses. Siapa tau setelah olimpiade nanti ada sesuatu yang membuat El bisa mengubah sikapnya. Iya, kan, Pak?" Aslan menatap guru tersebut. Seakan menunggu persetujuannya. "Kita nggak boleh melabeli seseorang seperti itu, Pak. Pasti ada alasan kenapa El seperti itu, dan apakah sekolah pernah mencoba mencari tahu kenapa?"

Pak Narji terdiam. Kalimat Aslan seolah menjadi tamparan keras baginya. Beliau tidak tahu kenapa El bersikap seperti itu tepatnya. Ia hanya sebatas tahu kalau El punya masa lalu kelam. Itu saja dan selebihnya ia tidak tahu. Alhasil ia dan guru-guru lainnya tidak bisa membantu banyak.

"Baiklah, saya akan mempertimbangkan kembali ucapan kamu." Pak Narji mengangguk. Membuat Aslan menghela napas lega. "Oh, ya, tumben kamu belain dia. Biasanya kamu, tuh, debat sama El. Kenapa? Kamu naksir sama dia?"

Aslan salah tingkah mendengarnya.

- Aslan -

El mendengus sembari menatap deretan soal fisika di depannya. Tidak ikut pelatihan selama satu minggu ternyata cukup untuk membuatnya ketinggalan banyak materi. Tadi guru fisikanya baru memberikan sekitar sepuluh lembar soal yang harus El pelajari sebelum olimpiade. Masalahnya, baru mulai saja El sudah mengernyitkan dahi melihat soal-soal ini.

"Kenapa?" Gadis itu tersentak, lalu mendongakkan kepalanya. Mendapati sosok Aslan yang menatap lurus ke arah kertas-kertas di depannya. "Gak ngerti?"

"Eh, apa?" El mengerjap-ngerjapkan matanya, masih tidak konek dengan kalimat Aslan. Lalu cowok itu menunjuk kertas tersebut, membuat El langsung manggut-manggut. "Oh, ini? Ya, nggaklah. Lo pikir gue sejenius lo yang bisa ngerti materi tanpa dijelasin?"

El sengaja mengatakan hal tersebut dengan nada yang agak ditekankan. Namun Aslan tidak meresponsnya balik. Cowok itu mengambil kertas tersebut, lalu duduk di kursi seberang El.

"Lo mau ngapain?" tanya El seraya mengernyitkan dahinya.

Aslan mengangkat kepalanya, berhenti sejenak membaca soal-soal itu. "Segampang ini lo gak ngerti?"

"Ya, lo mikir, lah, Dodol. Gue gak sempet dapat penjelasan. Ya, kali langsung ngerti?" ketus El.

Mendengar itu Aslan hanya mengangkat bahunya, lantas tangannya tergerak mengambil pensil di meja El. Lalu sebelum El sempat protes, Aslan meletakkan kembali kertas tersebut di atas meja El dan berkata, "Gue jelasin. Tapi cuma sekali, kalau nggak ngerti, ya, berarti memang derita lo."

Selanjutnya Aslan benar-benar menjelaskan secara detail soal-soal yang El tidak mengerti. El pun tidak banyak menyela dan mendengarkan dengan fokus setiap kalimat Aslan. Beberapa kali dia ber-oh riang dan menjentikkan jarinya karena dapat memahami penjelasan Aslan.

Kita & Luka {Tamat}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang