Memaafkan Itu Sulit

66 17 2
                                    

"Kalau hak asuh lo diambil sama bokap lo, otomatis lo pindah sekolah, dong?" kata Azzam memastikan. Tadi Aslan baru saja menceritakan semuanya pada teman-teman dekatnya. Dengan syarat mereka tidak boleh membocorkannya pada siapa pun.

"Ya, iyalah, Zam. Masa iya si Aslan tiap hari bolak balik Jakarta-Madrid? Aneh-aneh aja lo!" tukas Reyhan sambil menyikut temannya itu. Bermaksud untuk berncanda.

"Yah, maaf. Gue, kan, cuma mastiin!" Azzam malah sewot.

"Udah, udah, lo bertiga berantem mulu. Heran gue," ketus Haziq setelahnya. Ia menoleh pada Aslan lagi. "Slan, pokoknya kita bakal doain yang terbaik, kok, buat lo dan Nathan."

"Iya, Slan. Lo tenang aja. Kalau anak soleh kayak kita yang doa, insya allah, terkabul, Slan. Bener, deh." Kini giliran Azzam yang menyikut Reyhan. Sebagai balasannya yang tadi dan karena Reyhan mulai ngaco.

Mereka tertawa puas melihat Reyhan yang mengaduh kesakitan. Sibuk berceloteh menyalahkan teman-temannya.

Dari jauh, El memperhatikan mereka berempat. Lebih tepatnya memperhatikan Aslan yang sedang mencoba untuk terlihat baik-baik saja. Semua yang ia dengar dari Oma Melati tentang Aslan dan Nathan sangat mengganggunya.

Kenapa ia tidak rela kalau seandainya Aslan menjauh darinya? Bukankah yang datang akan selalu pergi? Kenapa ada perasaan lain yang mengganjal setiap dirinya menatap wajah cowok itu sekarang?

"El!" Gadis itu tersentak mendengar seruan Nafisa. Ia menatap sahabatnya itu yang memasang wajah kesal. "Lo kenapa, sih? Dipanggil dari tadi gak nyahut-nyahut. Ini kentangnya udah mau habis!"

Gadis tersebut tersenyum malu-malu. Lantas meraih salah satu kentang goreng dan mengunyahnya setelah mengucap basmalah.

"Ghadul bashar, El. Inget, tundukan pandanganmu. Jangan sampai zina mata. Memandang lawan jenis yang bukan mahram dalam islam itu hukumnya haram," nasehat Fathia sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. El hanya terkekeh dan mengangguk.

"Cieee ... kayaknya cinta lama bersemi kembali, nih. Lo suka, ya, sama Aslan?" tebak Karin. Tebakannya membuat El langsung membulatkan mata, lantas menggeleng. "Idih, gak usah bohonglah! Lo suka, kan, sama dia? Ngaku!"

"Nggak, nggak!" El berusaha mengelak dari tuduhannya. Sementara Nafisa dan Fathia hanya tertawa melihat perdebatan mereka.

- Eliza -

Papa mau ke sana.

Aslan dengan hati-hati membaca pesan dari ibunya. Ia benci mendengar kabar ini. Pasti ayahnya akan marah besar, atau minimal terus-terusan menyindirnya selama di sini.

Sepulang sekolah, Aslan langsung pergi ke rumah sakit dan menemani Nathan. Hubungan mereka berangsur membaik. Kesehatan Nathan pun mulai membaik seperti harapan Aslan. Ia berharap semoga adiknya itu bisa cepat sembuh kembali dan bisa pulang.

"Kenapa, Slan?" tanya Nathan. Sedikit heran dengan sikap Aslan.

Aslan menoleh, lantas tersenyum. "Papa mau ke sini. Mama juga. Gak apa-apa, kan, kalau gue keluar selama mereka di sini?" Ia mencoba untuk bersikap seolah dirinya baik-baik saja. Ia tahu bagaimana resikonya kalau ia tetap berada di sini selama papanya berkunjung.

Nathan mengerutkan dahi. Ia kurang setuju dengan itu. "Harus? Lo gak mau ngomong-ngomong sama Papa?"

"Justru lo yang harus ngomong sama Papa. Udah berapa lama lo gak ngomog sama Papa? Gue, mah, hampir setiap hari ngomong sama Papa," ujar Aslan sembari terkekeh. "Manfaatkan family time sebaik mungkin."

"Lo, kan, juga bagian dari keluarga ini, Slan."

"Memang Papa nganggap gue sebagai keluarga?"

Nathan tersenyum getir mendengarnya. Ia tahu Aslan pasti merasa sangat tidak nyaman. Mungkin tindakannya memang benar.

Kita & Luka {Tamat}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang