Jam mata pelajaran kedua ditiadakan demi kelangsungan tes urin di sekolah mereka. Tim medis dari salah satu rumah sakit di dekat sekolah didatangkan untuk mendukung kelangsungan kegiatan. Terlihat bahwa para murid memasang beragam ekspresi, mulai dari antusias, ragu, sampai takut. Namun yang pasti, mereka tahu kenapa tes urin ini dilakukan.
"Gara-gara si El, nih, kita harus kayak gini."
"Iya, ih, padahal ngaku aja apa susahnya, sih? Semua bukti, kan, emang mengarah ke dia."
"Eh, tapi denger-denger Alyssa dituduh udah ngefitnah El, ya?"
"Alyssa anak IPS? Ah, masa, sih?"
Bisik-bisik itu membuat telinga El berdengung sakit. Tangannya nyaris saja bergerak untuk menutupi telinga jika saja seorang perawat tidak memanggil namanya. Menyadari bahwa telah tiba gilirannya untuk dites, ia menelan salivanya, lantas ragu-ragu berjalan maju.
Dibawah tatapan para murid dan bisik-bisik tidak mengenakkan mereka, El menerima wadah penampung urin yang telah disediakan petugas dan masuk ke dalam toilet. Tak lama setelahnya, ia keluar. Lantas menyerahkan wadah tertutup tersebut kepada petugas.
Ia melangkah santai menyusuri koridor meski tatapan-tatapan para murid masih tertuju padanya. Diam-diam senyum kecil penuh kemenangan terbentuk di wajahnya. Sepertinta sebagai bentuk isyarat bahwa ia akan membuktikan bahwa ia tidak ada kaitannya sama sekali dengan kasus gila ini.
Hujatan-hujatan itu akan tercabut. Belenggu-belenggu tersebut perlahan akan lepas, membiarkannya kembali terbang bebas menikmati hidup.
"Lo jangan senang dulu."
Suara itu membuat El refleks menoleh ke sampingnya. Adlan tiba-tiba saja sudah muncul di sana, berjalan santai dengan satu tangan dimasukkan ke dalam saku celana.
"Hah?" El mengerutkan kening, tidak paham.
Aslan melirik El lewat ekor mata sepintas, lantas menghentikan jalannya dan memutar tubuhnya sembilan puluh derajat menghadap El. Gerakan spontan yang membuat El juga berhenti melangkah dan menatap cowok dengan wajah keturunan itu penuh tanda tanya.
"Siapa pun yang udah ngejebak lo, dia gak kerja sendirian," ungkap Aslan dengan volume pelan, mengantisipasi agar tidak ada yang mendengar. "Dan siapa pun yang udah ngejebak lo, dia udah manfaatin banyak orang biar gak ketangkap dan gak akan ngebiarin lo bebas dari segala tuduhan."
"Itu artinya walau pun sekolah udah ngadain tes urin, dia bakal tetap nyari cara biar gue tetap jadi tersangka?" Otak El berputar cepat dan akhirnya mengutarakan kesimpulan selanjutnya. Aslan di depannya mengangguk cepat.
"Dia gak perlu nyari cara, karena dia udah tau caranya dan mungkin lagi ngelancarin rencana itu."
Kata-kata Aslan membuat El mau tak mau mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia menajamkan matanya, mencoba memperhatikan orang-orang, menemukan gerak-gerik mencurigakan. Ia tidak bisa kecolongan untuk kedua kalinya. Siapa pun orang tersebut, ia harus menangkapnya sebelum rencana tersebut berhasil ia lancarkan.
"Lo tunggu di sini." Aslan memberi instruksi, lantas segera berlari meninggalkan sekolah sebelum El sempat bertanya.
Ia tidak peduli ada beberapa murid yang nyaris tertabrak atau jatuh. Beberapa lagi justru sudah mengomel dan berteriak protes. Langkahnya semakin cepat, seiring dengan otaknya yang menyimpulkan dengan cepat kejadian singkat yang ia lihat. Mungkin tidak ada yang menyadarinya, tapi ia sadar.
Dengan cepat ia merogoh saku, mengeluarkan ponsel, dan mengirim pesan suara ke Haziq.
"Gue tunggu lo semua di belakang sekolah. Kalau perlu ajak Pak Aidan atau guru-guru."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita & Luka {Tamat}
Ficção AdolescenteSMA Series 1 - Eliza & Aslan "Karena pada akhirnya luka itu yang membuat kita kuat." Tentang Eliza Lahima, gadis pemberontak dan tak tahu aturan karena kejadian buruk yang terjadi padanya di masa lalu. Ia selalu bersikap semaunya dan menganggap apa...