Senyum & Perjanjian

97 26 19
                                    

El kurang berselera untuk pergi ke kantin. Juga malas rasanya untuk bertemu Aslan. Tapi ia langsung mengingat pesan Pak Narji dan kelakuan Aslan selama pelajaran matematika. Asal ada pertanyaan pasti dia yang menjawab. Tanpa pakai corat-coret buku lagi.

Makin hari ia makin menyebalkan.

Dia berjalan menyusuri koridor kelas. Beberapa orang menyapanya ramah, seperti biasa. Mata El bisa menangkap penghuni kelas IPA-1 bermain basket di lapangan. Memanfaatkan free time karena guru-guru sedang rapat. Hanya yang laki-laki. Sementara yang perempuan duduk tak jauh dari lapangan. Menonton pertandingan mereka yang terlampau seru. Bahkan Fathia turut duduk di sana sembari membaca novel. Tidak biasanya dia membaca buku di dekat lapangan. Biasanya ia membaca buku di perpustakaan. Baru kalau perpustakaan penuh, dia pindah ke kelas. Mungkin dia juga ingin melihat keseruan pertandingan itu.

El berjalan masuk ke kelas. Tiba-tiba terdiam di ambang pintu setelah melihat dan menemukan alasan kenapa Fathia tumben-tumbennya enggan membaca di kelas. Ada Aslan yang baru selesai membaca Al-Qur'an dan langsung mengambil buku dari lacinya. Itu kebiasaannya selama ini.

"Aslan, dipanggil sama Pak Narji," ujar El setelah berdiri tak jauh dari meja Aslan. Bocah itu menoleh, lantas menutup bukunya. Bangkit dan pergi tanpa mengucap sepatah kata pun. Membuat El menghela napas kasar.

Baru ingin pergi ke luar, perhatian El tertuju ke arah ponsel Aslan yang ia selipkan di antara halaman novel dan terlihat masih menyala.

Setelah mencuri-curi pandang, dia mendekati meja 'rival'-nya ini, lantas meraih ponsel tersebut. Menemukan sejumlah aplikasi untuk belajar. Tidak ada sosial media. El membuka galeri. Menemukan sejumlah foto pada tahun 2012. Ada banyak foto Aslan sedang bermain basket. Yang membuat El terpesona adalah senyum manis Aslan di foto itu. Terlukis jelas di wajahnya. Sepanjang ia bertemu Aslan, El belum pernah melihatnya tersenyum seperti itu.

"Ngapain lo?" El nyaris melempar handphone tersebut. Merutuk dalam hati kenapa Aslan bisa cepat sekali kembali ke kelas? Memergoki El sedang melihat-lihat isi ponsel-nya.

"Kembalikan," kata cowok itu sambil memasang wajah dingin. El tersenyum kaku dan menyodorkan ponsel tersebut. Aslan menerimanya dan mengantongi benda tersebut. "Jangan bikin gue kesel lagi."

El mengernyit mendengarnya. Ia merasa ada yang berbeda dari gaya bicara Aslan. Tidak sekasar biasanya. Bisa dibilang sedikit lembut. Ada apa memangnya?

"Harusnya lo aja yang ikut olimpiadenya. Gue gak suka ikut perlombaan sialan kayak gitu," gumam Aslan sambil melangkah menjauh dari El dan keluar kelas.

"Sialan? Eh, Aslan!" Gadis itu berlari ke luar kelas. Ia mengikuti Aslan yang menyusuri koridor sekolah. Tiba-tiba ia teringat dengan foto yang ia temukan di ponsel Aslan tadi. "Gue mau nanya, Slan!"

Langkah Aslan terhenti. "Nanya apa?" Cowok itu memutuskan mengalah dan bersedia menjawab pertanyaan El. Jarak antara mereka sekarang sekitar 1,5 meter.

"Lo suka main basket?" tanya El to the point.

Cowok itu mengernyitkan dahi. "Kalau iya kenapa?" Aslan menjawab singkat.

"Itu mereka lagi main basket. Kenapa gak ikut main?" tanya gadis itu.

"Malas." El menghela napas. Singkat, padat, dan jelas sekali jawabannya.

Aslan baru ingin beranjak dari hadapan El kalau saja gadis itu tidak melontarkan pertanyaan lainnya. "Lo kenapa, sih? Muka lo dari kemarin kayak gini-gini aja. Datar, gak ada senyum sama sekali."

"Terus kenapa? Masalah buat lo?"

"Kalau iya kenapa? Slan, gue ngerti, ya, kalau lo benci sama gue. Kalau sama gue, lo boleh, deh, pasang muka jutek, datar, benci. Boleh, silakan malah, karena gue bakal ngebales dengan hal yang sama.Tapi sama yang lain memangnya lo gak bisa lebih ramah senyum gitu? Semua orang juga muak kali liat muka datar lo," balas El. Tak mau kalah.

Kita & Luka {Tamat}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang