"apa, sih sayang ..."
Jawaban Yoga membuat Kelly tersentak. Orang kalau tidur emang suka mengigau.
Tanpa memperdulikan ucapan Yoga, Kelly kembali memukuli punggung Yoga dengan guling lagi.
"Bangun ga!" sentaknya kepada Yoga.
Dengan amat sangat terpaksa, Yoga harus membuka matanya. Ingin marah rasanya kepada Kelly, Namun ia tidak punya hak.
"Enak banget ya tidur di kasur, udah tau bukan kamarnya sendiri lagi," cerocos Kelly.
"Ck, diem nggak lo, banyak bacot banget!"
Yoga berjalan ke luar kamar Kelly dengan sempoyongan dengan kedua tangan memeluk bantal guling.
Kelly yang melihat itu memincingkan matanya, heran saja dengan bentuk manusia yang seperti ini.
"Buatin gue makan, laper."
"Iya, tuan."
"Cepet, gue pecat lo kalo lelet,"
"Dih, yang punya rumah siapa yang harus jadi babu siapa!"
"Cepet buatin gue makan sekarang atau gue balik badan gue peluk lo!"
Kelly terkesiap, ia sesegera mungkin berlari dan menabrak tubuh Yoga. "Amit-amit banget ya."
•••
Untuk kali ini Kelly makan siang dengan Yoga bersama di meja makan. Awalnya hanya sama-sama diam, hanya dentingan sendok dan garpu yang berbunyi.
Namun, beberapa saat kemudian, Yoga dengan segala tingkah ketidak jelasannya pun beraksi. Mulai dari bersenandung saat makan, bersendawa keras, dan lain sebagainya.
"Jorok banget ya jadi cowok," tungkas Kelly kesal.
"Mulut gue, kenapa lo yang ngatur."
Kelly terdiam, ia memilih tidak membalas jawaban Yoga. Ia lebih memilih menikmati makanannya.
"Kalau gue boleh tau, orang tua lo kemana?" tanya Yoga.
Kelly berhenti mengunyah, ia menaruh sendok dan garpunya di di piring, "bukannya kapan hari itu udah pernah bilang ya aku?"
Yoga mengerutkan dahinya, "kapan? Pas mau bunuh diri?"
Kelly mengangguk, "iya. Kamu pikun?"
"Gue nggak tau ya, bukan pikun."
"Orang tua aku udah meninggal, aku punya kakak, kakak aku juga meninggal," jawab Kelly sambil tersenyum tipis.
Tenggorokannya seperti ada yang menghalangi saat makanan akan masuk. Sakit, ingin menangis tapi sekuat tenaga ia tahan.
"Kakak lo cewek atau cowok?" tanya Yoga. "Nangis aja, nggak usah di tahan,"
Perkataan Yoga justru membuat Kelly tidak tahan lagi membendung tangis, sekuat apapun ia menahan pasti akan menangis juga jika tentang keluarganya.
Kelly menangis dengan kondisi mulut penuh dengan makanan, antara enak dan tidak saat itu. "Kakak aku cowok, dulu kita akrab banget, biasanya kalau aku nggak nafsu makan, mama sama papa tau obat aku itu kakak," jawabnya dengan Isak tangis.
"Maaf ya, gue nggak tau, gue nggak bermaksud juga buat lo inget lagi sama keluarga Lo."
"Iya. Ndakpapa kok," jawab Kelly sambil memasukkan makanan ke dalam mulutnya lagi.
"Terus, kenapa lo masih bertahan di bumi saat semua keluarga lo, kakak lo, udah pergi ninggalin lo? Apa yang buat Lo bertahan Sampek sekarang?" tanya Yoga panjang lebar.
"Sahabat aku,"
"Sahabat jaman apa? SMP? Cewek apa cowok?" cerocos Yoga.
"Kamu tanya gitu kenapa? Cemburu?"
"Jawab aja kenapa, sih. Cewek ya? Biasanya kan cewek gitu kalo pisah lama-lama suka menye-menye," ejek Yoga.
"Bukan. Sahabat aku cowok, sahabat kecil dulu, katanya sih dia mau pergi, cuma nggak tau pergi kemana, Sampek sekarang juga belum balik, aku dulu pernah kerumahnya, rumah yang dulu di tempatin waktu kita masih kecil, cuma kosong katanya udah punya orang lain." Jelas Kelly.
Sekilas ia teringat lagi dengan memori kenangannya dulu waktu kecil. Taman bermain itu, Kelly sangat ingat jelas dulu saat taman bermain itu adalah tempat dimana terakhir kali ia bertemu dengan sahabatnya.
"Dih, asal lo tau ya, cowok sama cewek itu nggak ada yang namanya sahabat, pasti ujung-ujungnya salah satu dari lo atau dia pasti ada yang suka. Pasti itu, meskipun ga di tunjukin secara langsung." Cerocos Yoga.
"Nggak tuh, aku sayang sama dia cuma sebagai sahabat aja, nggak lebih." Jawab Kelly.
"Terus, lo sukanya sama siapa?"
Kelly terdiam, ia tampak berfikir, siapa yang selama ini ia suka? Seingatnya, ia selalu sendiri, jatuh bangun sendiri, nggak ada yang nemenin.
"Nggak ada." Jawabnya enteng.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐘𝐨𝐮 ✓
Novela JuvenilSiapa sangka gadis yang masih remaja harus hidup seorang diri. Menelan mentah-mentah pahitnya cobaan dan kehidupan seorang diri. Berkali-kali ia jatuh, berkali-kali ia bangun, seorang diri tanpa ada yang menemani. Sahabat yang ada di masa lalunya ma...