Steve mendengarkan dengan malas penjelasan Bu Vika didepan sana. Cowok itu memilih menelungkupkan wajahnya di lipatan tangan, lalu memejamkan matanya. Kepalanya sangat pusing saat ini.
Entah kenapa setelah perkelahian yang tidak ia rencanakan tempo hari, perasaannya malah tidak tenang hingga saat ini.
Bayang-bayang wajah dan tatapan Felix saat menatap Naomi membuatnya merasakan marah yang tidak terkontrol. Sulit mengartikan kepada dirinya saat ini, ia bahkan tidak bisa mengendalikan dirinya yang berbicara sesuka hati pada orang lain.
Arya yang duduk disebelah cowok itu melirik sekilas, lalu kembali membalas setiap pesan-pesan yang dikirim oleh pacar-pacarnya. Buaya memang.
“Udahlah, gak usah galau, lagian cewek di dunia ini bukan cuma Naomi, masih banyak yang lain, bahkan lebih cantik dari dia.” ujar Arya sembari menyimpan ponselnya dibawah laci meja.
Steve mendengus sebal. “Ya tapi yang kayak dia nggak ada, Ar. Dia itu cuma satu di dunia, nggak ada lagi yang kayak dia. Ibaratkan barang, dia limited edition, tau gak!” semprotnya.
“Buset, ngegas, gue 'kan cuma kasih saran, selebihnya mah, lo yang mikir, mau atau nggak buat berhenti berjuang,” katanya lagi. “Lagian nih ya, mau sampai kapan sih lo nge stuck di satu cewek aja? Nggak bosan apa? Lo udah berjuang sejauh ini, sampai bela-belain mukul orang karena pengen lindungin dia, tapi, balasannya apa? Nggak ada 'kan?”
Steve mengedikkan bahunya. Entahlah, semua kata-kata Arya saat ini terasa tidak ada artinya. Hatinya sudah penuh dengan semua yang berhubungan dengan Naomi.
Jadi, sangat kecil kemungkinan untuk ia bisa membuka hati bagi orang lain. Semua pikirannya hanya tertuju pada satu titik setiap saat, Naominya.
“Ya kalau dia nggak mau, jangan di paksa, dia nggak kayak lo yang mata keranjang, semuanya di babat habis.” celetuk Farrel tiba-tiba. Cowok yang duduk didepan Arya dan Steve itu sudah sejak tadi mendengarkan obrolan kedua temannya itu.
“Dih, enak aja, gue nggak kayak gitu ya! Gue balas mereka yang mau chat-an sama gue, itu aja kali.” Arya jelas tidak terima dengan perkataan Farrel, walau yang dikatakan oleh laki-laki itu sangatlah benar.
“Boong, buktinya waktu ke tempat dugem kemaren, lo yang minta nomor cewek yang duduk di bar.” balas Farrel.
Hell, Arya itu sok tidak tau. Padahal cowok itu yang memancing pertama untuk meminta nomor telepon cewek yang dirasa cantik.
“Ya itu mah lain kali,”
“Sama aja!”
Arya ingin melayangkan kata-kata balasan lagi, tetapi tatapan intimidasi dari Hann membuatnya mengurungkan niat.
“Bisa diem, gak? Mau disuruh cerita didepan?” tanya Hann, raut wajahnya tidak ada yang berubah. Tetap datar nomor satu.
Steve yang sudah lelah mendengarkan Farrel dan Arya beradu mulut, langsung bangkit dari kursinya. “Bacot lo berdua!”
Hann yang melihat langkah kaki laki-laki itu menuju pintu langsung memanjangkan kakinya untuk menghalang. “Lo?”
Seakan paham, Steve langsung terkekeh pelan. Walau cuek, Hann itu tetap perhatian pada sahabat-sahabatnya. “Mau nerima ilmu dulu,”
Cowok itu menjalankan tungkainya dengan santai, berjalan memasuki ruangan yang sudah ada guru didalamnya, oh, juga dengan Naomi dan Felix yang duduk di sana dengan wajah yang penuh lebam.
Ia duduk dengan tenang didepan Bu Nira yang sudah menatap tajam padanya. Ini bukan kali pertamanya ia menginjakkan kakinya di ruangan ini, walau tergolong pintar, bukan berarti nakal tidak ada didalam kamus seorang anak laki-laki, bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
SEIGEN
Teen Fiction"Lo gak aneh? Dimana-mana ya, peraturan sekolah yang paling pertama itu pasti tentang kedisiplinan atau nggak tentang absensi, tapi ini, dilarang buka gedung tua dengan gembok besi di bagian Barat sekolah." °°° Berawal dari ketidaksengajaan mendenga...