SEIGEN : BAGIAN 18

26 8 0
                                    

Sudah seminggu lamanya Steve meninggalkan sekolahnya untuk kembali ke rumah, cowok berotak cerdas itu benar-benar dibuat sibuk bolak-balik rumah sakit selama tujuh hari ini. Kantung matanya sudah hitam, menandakan bahwa ia tidak pernah beristirahat total.

Hari ini ia kembali lagi, Steve tidak ingin ketinggalan terlalu banyak materi pelajaran, alhasil setelah semua urusannya selesai ia masuk lagi untuk menimba ilmu.

Tangannya memegang paper bag yang tadi diberikan oleh orang rumah, niatnya untuk diberikan kepada teman-teman asramanya.

Ditengah jalan, laki-laki itu tidak sengaja melihat seseorang yang begitu ia rindukan selama tujuh hari ini, Naominya. Ia ingin berbagi semua ceritanya selama ia pergi dari sekolah, tetapi cowok itu urungkan ketika melihat siapa yang ditemani oleh Naomi berjalan.

Ada Felix yang sedang mengajak gadis itu bercanda, bahkan Naomi tertawa lepas.

“Naomi,” cowok itu menyapa Naomi yang hendak melewati dirinya.

“Apa?”

“Ini aku bawa kue, buat kamu sama Netta sama Hazela,”

“Kasih ke Hazela atau Netta aja, gue nggak usah, udah kenyang,”

Raut kecewa jelas-jelas nampak di wajah Steve, ia pikir Naomi akan menerima pemberiannya, tetapi semua khayalan tingkat tingginya itu sirna begitu saja saat melihat penolakan Naomi.

Ternyata hanya dirinya saja yang merindukan gadis itu, Naomi masih tetap sama seperti saat ia pergi. Ia jadi berpikir, apakah jika cewek didepannya itu tahu mengenai semuanya Naomi akan berubah?

Steve menggelengkan kepalanya cepat, tidak, justru Naomi tidak boleh tahu semua ini. Sampai mati pun Steve akan menutup rapat semuanya. “Yaudah, kamu mau kemana? Biar aku antar,”

Naomi menghela napasnya pelan, “Lo nggak liat gue jalan sama siapa? Mending lo sana perhatiin temen-temen brengsek lo!”

Naomi menggenggam erat tangan Felix, kemudian meninggalkan Steve yang masih diam membeku ditempatnya. Darah Steve seakan mendidih saat melihat bagaimana dekatnya Naomi dengan cowok itu, ia bukannya mengekang kebebasan Naomi untuk bergaul, tetapi Steve kenal luar dalam dengan sifat Felix yang benar-benar jauh dari kata 'baik'.

Dengan langkah seribu cowok itu berjalan menjauh, ia ingin menenangkan pikirannya dulu.

Kakinya berhenti di ruangan tenis yang mungkin sedang kosong karena berhubung hari Kamis. Biasanya jika sore seperti ini, semua murid-murid sibuk di lapangan basket menonton pertandingan antar kelas.

Steve membuka pintu ruangan besar itu, matanya langsung jatuh pada sofa panjang yang ada disana. Ia merebahkan tubuhnya, lalu memejamkan matanya sejenak.

“Galau,” suara lembut itu membuat Steve terbangun dari tidurnya. Ia menegakkan badannya, menatap Netta dan Hazela yang sudah ada disana sambil memegang raket tenis.

“Nggak,” jawaban Steve seakan menjadi lelucon bagi Hazela, cewek itu malah tertawa kencang.

“Lo nggak pintar boong Steve, jujur aja, disini cuma ada gue sama Hazela,” Netta duduk di dekat sofa itu, disusul Hazela yang juga duduk sambil menyalakan kipas angin kecil yang ia bawa tadi.

“Pasti Naomi, 'kan?” Steve menghembuskan nafas kesal, kenapa jika dirinya dalam keadaan seperti ini seolah orang-orang tahu bahwa ia sedang memikirkan Naomi.

“Udahlah jujur aja, lo nggak pinter boong Tuan Steve,”

“Naomi sedekat apa sama Felix selama gue pergi?” pertanyaan itu lolos begitu saja dari mulut Steve.

SEIGENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang