+62 • 12

227 23 3
                                    

🐰 Ada dua pilihan ketika marahan sama sahabat. Meminta maaf dan kembali akur, atau semakin membentangkan jarak dan menjadi musuh. 🐰
♪Kiara♪


Kiara melangkah menuju kelasnya. Sekolah mulai ramai karena sebentar lagi upacara bendera akan dimulai. Setelah menyimpan tas di kelas, Kiara memakai topinya dan segera berbaris di lapangan.

Kali ini Kiara memilih berdiri di barisan paling belakang. Lubang hidungnya melebar saat mencium wangi yang begitu familiar. Kiara melirik ke kanan dan merotasi bola matanya.

"Bengong."

Kiara terjatuh dan melotot pada Stephanie yang baru saja menyenggol bahunya. "Dasar, si Setep!"

"Lo beneran bengong ya? Gitu aja jatuh. Mikirin apa sih?" tanya Stephanie. Segera membantu temannya berdiri.

"Mikirin cogan."

"Siapa? Kenalin dong."

"Namanya Jeff Moses, kenalan sendiri aja sana."

"Ketus banget," gumam Stephanie.

"Stephanie, muka lo kok bisa kinclong gitu? Meling-meling," bisik Kiara.

"Apaan itu?"

"Kinclong, em ... apaan ya namanya? Enggak tahu. Kayak berminyak, tapi bukan. Itu namanya apa?"

"Glowing?"

Kiara mengangguk. "Pengen kayak gitu juga."

"Lo mau? Kapan-kapan main ke rumah gue, gue kasih tahu skincare sama cara pakainya. Gue enggak berani bawa kayak gituan di sekolah."

"Oke." Kiara tersenyum dan melirik ke arah Aka yang sejak tadi hanya diam. Biasanya menegur saat dirinya bisik-bisik.

Kiara tidak peduli. Lagipula ia akan kembali berusaha agar tidak selalu bergantung pada Aka. Tidak mau jika nantinya ia dilabrak oleh Lova karena terus dekat dengan Aka.

Sampai upacara usai, Kiara terus menunduk. Tidak peduli dengan temannya yang mengeluh panas karena amanat dari pembina upacara lebih dari setengah jam. Pada intinya, pembina upacara memberitahu jika ulangan kenaikan kelas dilaksanakan dua minggu lagi.

"Kayaknya baru aja UTS deh. Kok udah kenaikan kelas?" gumam Kiara.

"Sebentar lagi Kia kelas dua belas."

"Makin semangat ambis."

"Semangat belajar di tempat les."

Kiara berjalan gontai kembali ke kelasnya. Pasti mama akan mencarikan tempat bimbel lain.

"Cemberut terus. Nih."

Kiara melirik seorang siswa yang memberinya susu kotak rasa stroberi. "Makasih."

"Sama-sama. Lo kenapa cemberut gitu?"

"Biasa, lagi banyak pikiran."

"Lo bawa bekal gak? Makan siang bareng yuk! Di taman dekat musholla."

"Oke."

"Buruan diminum susunya, keburu gurunya masuk."

Kiara mengangguk dan mendudukkan dirinya. Stephanie sudah sibuk mengobrak-abrik isi tasnya, entah mencari apa. Sedangkan pemberi susu kotak tadi sedang mengobrol dengan Aka.

Ternyata, si ketua kelas yang sama sekali tidak berwibawa itu baik juga.

Seperti kesepakatan tadi. Kiara membawa bekalnya keluar dari kelas. Nando sudah keluar sejak tadi bersama Aka, tadi dirinya harus membantu Stephanie mencari ikat rambutnya terlebih dulu.

"Sini, Ya!"

Kiara mendengkus saat mendapati ada Aka yang sedang duduk manis menikmati makan siangnya.

"Lo bawa bekal apa, Ya? Si Setep mana? Dia mau gabung juga."

"Masih ngikat rambut," jawab Kiara. Duduk di atas kardus dan membuka kotak bekalnya.

Tempe goreng, telur asin dan tumis pakcoy.

Ia tidak suka dengan sayur pakcoy. Tapi jika dibuang, sayang.

"Gue enggak bawa bekal. Lupa." Stephanie datang dengan kantung plastik yang penuh dengan jajan.

"Bekalnya anak orang kaya biasanya kayak gitu sih," ujar Nando.

"Nih, yang mau ambil aja."

"Minta susu lo ya, Step."

"Heh!" Nando menggeplak lengan Aka dan melotot.

"Astaga, Nan, otak lo jorok. Mentang-mentang umur gue udah lebih dari delapan belas tahun, lo ngira otak gue mesum gitu?!" protes Aka.

"Ambil aja, Ka. Lo juga Nan, Ra."

"Setelah lulus, lo mau kuliah dimana, Step?" tanya Nando.

Stephanie mengendik. "Universitas impian gue ada banyak. Di hampir di setiap provinsi ada. Lo sendiri?"

"Pengen di Undip Semarang. Ambil Kimia. Kalian?" tanya Nando pada Aka dan Kiara.

"UI?" tebak Stephanie.

Kiara tersedak. "Dia kali ya ambis UI, gue mah dimana aja."

"Katanya kita mau ambis bareng, Ya," ucap Aka.

Kiara pura-pura tidak mendengar. Terus mengunyah makanannya.

"Lo kan pintar, gampang lah, mau kuliah dimana," ucap Stephanie pada Aka.

"Pintar tapi kok pernah tinggal kelas, Ka?" tanya Nando. Mencomot tempe goreng milik Kiara.

"Hey!"

"Waktu kelas empat, pernah mogok sekolah. Kerjaannya cuma murung, main lego di kamar, nyusun puzzle yang kecil-kecil banget itu. Padahal gue murid baru di sekolah. Hampir satu semester, bokap, sama pengasuh udah capek bujukin gue. Mereka cuma pasrah. Niatnya mau homeschooling aja pas kenaikan kelas nanti. Tapi, Kiara tiba-tiba datang ke rumah. Nyebelin banget, dia cerewet, heboh. Tuh lihat kuku jari tengahnya, agak aneh, kan? Itu hasil perbuatan gue, jepitin tangan dia sampai kukunya hampir lepas dan dagingnya kelihatan," jelas Aka.

"Lo sering dinakalin, Ra?" tanya Stephanie dan Nando.

"Enggak pernah."

"Kok lo mau sih temenan sama Aka, padahal dia jahat waktu itu," gerutu Stephanie.

Kiara mengangkat kepalanya dan tersenyum. "Soalnya gue kasihan."

"Awas kamu, Ya!"

Bel pulang sekolah berbunyi. Para murid berhamburan keluar kelas dan Kiara berjalan riang menuju gerbang. Papa akan membelikannya ponsel baru, karena ponselnya mati total. Jika bisa diperbaiki, itu akan diberikan pada dua adiknya.

"Duluan ya!" Stephanie melambaikan tangannya dan masuk ke mobil jemputan.

"Sister, jangan lupa besok kita piknik lagi!" teriak Nando. Kemudian melajukan sepeda motornya yang paling berisik seantero sekolah.

Kiara mengacungkan jempol dan duduk di halte. Tadi ia melihat Aka berboncengan dengan Lova. Tapi saat istirahat tadi didatangi Sarah.

Sebenarnya Lova atau Sarah sih?

Kiara mengibaskan kerudungnya, berharap bisa mengusir gerah.

Kiara menatap satu-persatu orang yang meninggalkan halte jemputan.

Menyisakan dirinya.

Selama berjam-jam.

Bahkan sebentar lagi matahari akan terbenam.

Papa tidak mungkin datang.



Next?

Bukan Kisah Novel • TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang