🐰 Karena saking sakitnya, hanya bisa mengeluarkan air mata, tanpa bisa berucap apa-apa. 🐰
♪Kiara♪Kiara menatap sarapan yang tadi diantarkan Bu Isti. Kemudian beralih menatap Gilang yang masih tidur. Semalam saat memasuki perumahan, ia dan Aka melihat Gilang berjalan sendirian sembari menangis sesenggukan.
Gilang bercerita jika semalam mama pulang, ia yang melihat itu langsung berlari ke rumah. Sayangnya bukan pelukan yang ia dapat. Tapi pertengkaran kedua orang tua mereka.
"Gilang pernah lihat papa, tapi bukan sama mama."
Kiara mengusap air matanya. Berarti selama ini Gilang sudah pernah melihat papa bersama wanita sewaannya.
"Punya wajah cantik, belum tentu bisa buat pasangannya setia."
Tangan Kiara bergerak untuk menepuk pipi adiknya. "Kita pulang, Lang."
"Gilang, ayo kita pulang. Kita ketemu mama."
Adik-beradik itu kemudian berpamitan, diantar pulang oleh Pak Lilik. Rumah begitu sepi. Tapi ada beberapa koper di teras. Keduanya berlari masuk.
Ada Rangga yang menangis dan mama papa yang bersiap ribut.
"Kiara udah gede, Sha. Dia ikut aku!" teriak papa.
"Anak-anak ikut aku!"
"Jangan egois kamu, Sha."
"Kamu yang egois. Asalkan kamu tahu, Ren, Kiara itu anak aku!"
"Kiara juga anak aku!"
"Tapi dia bernasab ke mamanya, bukan papanya!" teriak mama hingga wajahnya merah.
Kiara terdiam. Memahami apa yang baru saja dikatakan oleh mama.
Seorang anak yang bernasab pada ibunya, padahal dia memiliki ayah, berarti ....
Kiara berlari ke kamarnya, mengurung diri di kamar dan menghukum dirinya sendiri.
"Kalau dulu Kia enggak ada. Mama enggak bakalan disakitin sama papa."
"Enggak seharusnya Kia lahir."
Air matanya turun perlahan. Terjawab sudah semua pertanyaan yang selama ini ada di dalam benaknya.
Pantas saja namanya berbeda. Tidak ada kata 'Ghaksan' yang merupakan nama lengkap papa.
Jarak pernikahan kedua orang tuanya dengan dirinya lahir, kurang dari delapan bulan.
Mama dan papa melangkahi kakaknya.
Kiara meringkuk di kasur dengan sesekali mengusap air mata. Bahunya bergetar dan berusaha menahan isakan.
"Kak. Mama boleh masuk?"
"Masuk aja."
Mama masuk dan langsung mengunci pintunya. Ia duduk di tepi kasur, mengusap bahu Kiara. "Kamu mau ikut siapa? Mama atau papa?"
"Maksudnya, ma?" Kiara langsung duduk dan menatap mama yang tidak lagi ceria seperti biasanya.
Mama mengusap kepala Kiara dengan lembut. "Mama mau pulang. Ke rumah orang tua mama. Kamu di sini dulu ya? Sampai sekolahnya selesai. Rangga ikut papa kamu, sedangkan Gilang enggak memilih salah satu diantara kami. Gilang lebih milih tinggal di rumah Om Fian, yang kebetulan dekat dengan sekolahnya. Setelah lulus SD nanti, Gilang maunya masuk pondok. Enggak mau ikut siapapun.
"Sekarang keputusan ada di tangan kamu. Mau ikut mama atau papa setelah lulus nanti?"
Kiara menunduk. "Kalian enggak saling cinta ya? Kalian menikah karena Kia ada?"
Mama menggeleng. "Kamu tahu? Mama dan papa kamu, pacaran sejak awal SMA. Kami saling menyayangi waktu itu. Makanya kami mempertahankan kamu. Kia, lihat mata mama, sayang."
Kiara mengikuti apa yang mama katakan.
"Laki-laki itu lebih sering memakai logika, berbeda dengan perempuan yang memakai perasaan. Seorang laki-laki bisa melakukan perselingkuhan tanpa melibatkan urusan hati. Berbeda dengan perempuan yang berselingkuh, berarti dia jatuh cinta pada laki-laki lain."
"Mama sakit hati?"
Mama tersenyum. "Mama udah tahu sejak lama. Mama tahu, kamu beberapa kali mergokin mama ribut sama papa. Mama tahu, Gilang sering nangis karena orang tuanya makin sering ribut. Mama tahu, makanya mama sering pergi ke Jogja atau Bandung."
"Mama tahu dan mama diam?"
"Iya."
"Kenapa? Mama berharap papa bisa berhenti gila?"
Mama menggeleng. "Mama enggak berharap bisa bertahan. Gilang yang waktu itu bilang sama mama, dia ikhlas orang tuanya berpisah, daripada harus bertahan demi anak. Gilang juga udah tahu sejak lama kalau papanya sama perempuan lain."
"Mama yakin enggak mau bertahan? Kia nemuin di kamar mama—"
"Mama udah yakin dengan keputusan mama. Mama kecewa, Kiara. Kalau begitu, mama pamit ya. Mama mau pulang ke Jogja. Gilang dibantu siap-siap ya, kak."
Mama menghilang di balik pintu. Tangisan tak lagi bisa Kiara tahan. "Kia benci mama dan papa!"
....
Kiara membaca notes kecil yang terjatuh di atas bantal Gilang. Kalimat bertuliskan bahasa Inggris.
'Sebagai anak, aku ikhlas jika mereka harus berpisah. Daripada bertahan, tetapi memendam luka'
Kiara tidak tahu, jika adiknya yang pendiam itu memendam luka seorang diri. Dibukanya buku diary milik Gilang. Ia membaca tulisan terakhir, berisi tentang papa, yang pernah pulang bersama seorang perempuan asing. Adiknya masih kecil, masih kelas empat SD, tapi sudah dibuat sakit.
Tulisan terakhir ditulis beberapa bulan yang lalu.
Kiara menarik napas dalam-dalam guna mengusir sesak yang ia rasakan. Ia keluar dari kamar adik-adiknya dan mengambil ponselnya.
Tujuannya saat ini hanya satu.
Menemui Aka.
Gadis itu berjalan kaki menuju sekolah. Hari ini ia bolos, tapi sepertinya tadi pagi Aka membuatkan surat izin palsu.
"Pak Rudi!" sapa Kiara pada seorang satpam yang sedang mencabuti rumput di dekat gerbang.
"Loh? Neng kok di sini siang-siang? Ini panas loh cuacanya. Kata si kasep, si neng lagi sakit. Kenapa malah di sini?"
Kiara hanya nyengir. "Kabur dari rumah sakit," alibinya.
"Boleh minta tolong panggilin Aka, Pak Rudi? Ada perlu sebentar. Tapi bisik-bisik aja panggilnya."
"Eh, iya, saya mau cerita dulu, neng. Tadi pagi, sekolah heboh. Si kasep nyeret pacarnya ke tengah lapangan—"
"Pacarnya yang mana? Kan ceweknya ada dua. Lova sama Sarah." Sebenarnya Kiara malas menyebut nama sampah masyarakat yang satu itu.
"Yang murid baru. Terus neng cantik yang non muslim itu bawa laptop ke ruang guru. Ternyata dia ... jual diri." Pak Rudi berbisik di akhir ucapannya.
"Terus?"
"Si kasep seret murid baru ke ruang guru. Anak jaman sekarang otaknya mubazir, soalnya enggak pernah dipakai. Sebentar ya, neng, Pak Rudi panggilin dulu. Neng mending duduk dulu, biar enggak pingsan. Soalnya kelihatan pucat banget."
Kiara mengangguk dan duduk di halte. Mirip seperti pasien rumah sakit yang kabur karena ternyata wajahnya memang pucat.
"Loh, ngapain di sini?"
"Kia butuh teman cerita. Kia enggak tahu mau cerita sama siapa. Kia cuma punya Aka." Air mata Kiara kembali terjatuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Kisah Novel • Tamat
Fiksi Remaja#2 "Aka, kok di sekolah kita enggak ada pangeran es ya?" "Aka, latihan basket sana. Biar kaya cowok Wattpad." "Jadi cowok badboy sana, Ka." "Kira-kira di sini ada geng motor enggak ya? Aka gabung sana, kalau bisa jadi ketua gengnya." Kiara mengira...