+62 • 8

203 22 0
                                    

🐰 Punya sahabat baik yang tiba-tiba berubah tuh, rasanya kayak berusaha dekat sama orang asing. 🐰
Kiara♪

Kiara merapikan kerudungnya dan berjalan keluar kamar, pintu kamar adiknya masih tertutup rapat. Mungkin Gilang sibuk dengan buku-bukunya, karena Rangga semalam menginap di rumah kakek.

Di ruang makan ada Papa yang sedang meletakkan kepalanya di atas meja dan Mama yang sedang menonton televisi. "Ma ...."

"Apa?"

"Mau pergi lari pagi sama Aka."

"Iya."

Meskipun heran karena tidak biasanya Mama dengan mudah memberikan izin, Kiara mengangguk dan mengambil sepatunya, setelah itu berjalan keluar.

"Eh, hai, tante sama om, dimana?" tanya Aka yang baru saja turun dari mobil. Setelahnya mobil hitam itu pergi.

"Di dalam. Kita berangkat yuk. Kia mau cerita sesuatu ...."

Keduanya berjalan beriringan, sesekali Aka melirik gadis di sampingnya. Rencana mereka pagi ini adalah lari pagi. Bukan jalan sehat. Tapi Kiara melangkahkan kakinya dengan begitu lambat.

Mendengar klakson dari sebuah mobil di depan, keduanya hanya mengangguk. Baru saja Aka akan menyapa orang itu, Kiara langsung menarik bagian kerah kausnya. Gadis itu berlari kecil, hingga mereka sampai di jalan raya yang cukup ramai.

"Hey! Aku bukan kambing, biasa aja dong nariknya."

Kiara melepaskan tangannya dan berbelok ke gerobak penjual nasi rames yang tutup. Duduk di bangkunya dan mengembuskan napas.

"Kita enggak jadi lari pagi?"

"Udah gak mood. Pengen lari dari kenyataan aja."

Aka ikut duduk di samping gadis itu. "Tadi katanya mau cerita."

"Em ... gimana perasaan Aka kalau disukain sama tante-tante yang seumuran Om Hasbi?"

Pemuda itu bergidik. "Kenapa tanya itu? Ya kali ada tante-tante umur empat puluh lima tahun suka sama aku."

"Bayangin aja, Ka, banyangin. Coba kamu berimajinasi."

"Itu mustahil."

Kiara berubah lesu. "Masa nih ya, pas Kia pulang bareng Om Beni, dia bilang kalau lagi nungguin Kia dewasa. Kan Kia takut. Meskipun Kia suka baca Wattpad, nikah sama cowok yang jarak usianya sepuluh tahun atau dua belas tahun, biasa aja. Malah jadi lucu. Apalagi kalau duda, anaknya imut, gemesin. Tapi ternyata di dunia nyata malah ngeri. Kia nikah sama cowok seumuran Papa. Hu-hu, seram bayanginnya."

"Terus?"

"Setelah dia ngomong kayak gitu. Untung aja Mama telepon, selesai Mama telepon, Kia pura-pura ditelepon Bu Isti. Seram tahu ...."

"Seram gimana?"

Kiara menyatukan ujung dua jari telunjuknya. "Takut aja, nanti dianu. Kan kalau om-om kayak gitu biasanya mesum."

"Lain kali jangan mau diajak bareng, kalaupun terpaksa jangan mau bareng. Kecuali kalau ada orang lain, masih mending. Kenapa enggak belajar naik sepeda motor aja, Ya? Biar bisa kemana-mana sendiri."

"Kia udah bisa. Tapi enggak dibolehin sama Mama. Padahal Kia pengen berangkat sekolah sendiri, enggak mau andalin Aka terus. Pengen kemana-mana sendiri, katanya kalau enggak bisa naik sepeda motor itu beban di pertemanan."

Aka menggeleng. "Kata siapa beban? Bagi aku, teman yang enggak bisa naik sepeda motor itu bukan beban. Aku senang-senang aja ditebengin terus."

"Tapi Kia enggak enak kalau nebeng terus."

Bukan Kisah Novel • TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang