Malam, temans. Bab ini selesai dibikin karena jempol temans semua yang neken bintangnya nggak pakai lama 😍. Jadinya aku ngebut dong selesaikan. Jan sampe aku dibilang pehape. Cukup Sahara aja yang kemakan pehape. Eehh ... cuz, merapat cari tempat 💃💃
Sahara memeriksa keranjang belanjanya. Mencocokkan semua barang yang sudah duduk manis di sana dengan catatan di ponselnya. Masih kurang banyak, padahal dia hanya tinggal berdua. Dipikir-pikir lagi, mengapa bisa membeli begitu banyak pembersih lantai padahal kamar mandi hanya dua?
Simbok bahkan meminta barang dengan merek-merek tertentu dan tidak lupa mengatakan tidak usah beli jika bukan yang biasanya. Dasar fanatik, gerutunya. Namun, ia tidak bisa memprotes mengingat wanita itulah yang mengerjakan segalanya. Dia hanya pergi bekerja, pulang, makan, dan tidur. Selebihnya apa? Mungkin, akan mengganggu saat simbok memasak ketika waktunya sedikit luang.
Rasanya sudah begitu lelah memutari minimarket ini, tetapi Sahara tidak menemukan apa yang dia cari. Simbok ingin brem. Demi Tuhan, di mana makanan itu diletakkan? Menjengkelkan sekali berputar-putar tidak jelas begini. Mungkin dia tidak melihat makanan itu karena tidak teliti. Baiklah, mencarinya sekali lagi tentu tidak masalah.
Berjalan kembali memutari lorong makanan kecil, Sahara memperhatikan aneka camilan dengan saksama. Bagaimanapun, dia tak ingin pergi ke toko lain hanya untuk mencari makanan yang dibuat dari fermentasi air tape itu. Bisa jadi pergi ke tempat lain kalau di sini tidak ada mengingat cara simbok yang memperhatikannya seperti anak sendiri.
Benar, 'kan? Sahara tidak teliti sebelumnya. Makanan itu ada di dekat emping melinjo salut gula yang tanpa mencicipi pun dia sudah tahu rasanya. Diambilnya sepuluh kotak brem dan dimasukkan ke troli, belanja selesai.
Berdiri di antrean pembayaran, Sahara melihat beberapa makanan yang dipajang. Harga promo, tetapi tak ada yang menarik minatnya. Ada juga minuman isotonik yang biasa dia dapatkan gratis saat bekerja.
"Suster Sahara. Sendirian?"
Sahara menoleh dan mendapati sosok tinggi dan memakai masker. Alisnya bertaut mencoba mengenali. Saat masker itu diturunkan, sebuah nama langsung berhasil diingatnya. Kalahari, pekerja bangunan yang sedang membangun rumah sakit.
Tak ada yang bisa dikatakan oleh Sahara. Dia hanya menyunggingkan seulas senyum dan berjalan maju di antreannya. Malas mau menanggapi Kalahari yang sepertinya tak keberatan untuk terus berbicara. Gila saja ngobrol dengan jarak selebar itu. Lagi pula ... mau membicarakan apa? Mereka sekadar kenal dan tidak berteman. Jadi, cukup begitu saja ramah tamahnya.
Sahara sedang duduk sambil memakan es krim cup kecil sambil menunggu taksi online datang. Sebenarnya jarak rumah dan minimarket ini tidak jauh, tetapi belanjaan yang banyak membuatnya cukup ragu untuk berjalan pulang. Tangannya tidak boleh pegal, bukan? Bisa-bisa gagal menjahit luka jika itu sampai terjadi.
"Menunggu bareng, ya, Suster?"
Tiba-tiba Kalahari muncul dan duduk di samping Sahara, membuat gadis itu terlonjak lalu bergeser menjauh. Masih sempat dilihatnya penampilan lelaki itu sebelum kembali menikmati es krim. Mengenakan celana jeans yang sobek di lutut dan sepatu sneakers putih, senada dengan kausnya. Ada tas melilit di pinggangnya, serta jam di tangan kanan.
Luar biasa, untuk ukuran pekerja bangunan, Kalahari menghabiskan banyak uang demi semua yang dipakainya. Sahara tentu tahu berapa harga atribut pria di sebelahnya. Namun, tak ada komentar yang dia ucapkan. Semua hanya dia katakan dalam hati.
"Suster sakit gigi?"
Sahara mengernyit, kini menoleh pada Kalahari. "Pikiran dari mana?" tanyanya seraya melempar wadah es krim yang sudah kosong ke tong sampah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Masih Ada Edelweis yang Lain
RomanceCover by @DedyMR Ketika Dirga menikahi Lucia, kebahagiaan Sahara sirna. Namun, kenyataan bahwa Lucia tak bisa memiliki anak, membuat perempuan itu meminta Sahara menjadi istri kedua suaminya. Akankah Sahara memenuhi permintaan sepupunya, atau menca...