🍁 18. Hari Kacau 🍁

4.1K 1K 208
                                    

Malem, temans😍
Tim dagu belah langsung kumpul, yakk🤭🤭

Hari ini IGD sedang sibuk luar biasa. Bukan kasus sakit berat seperti beberapa hari yang lalu, tetapi kecelakaan bus pariwisata yang menelan sembilan korban jiwa dan dua puluh tiga luka berat serta enam belas luka ringan. Keadaan menjadi kacau balau ketika satu balita menjerit dan tidak bisa ditenangkan.

Sahara menutup mata dan telinga mendengar teriakan itu. Selama hampir tiga jam berkutat dengan urusan jahit menjahit membuat punggungnya pegal luar biasa. Keringat sudah membasahi dahinya disertai rasa mual yang sebisa mungkin dia tahan. Sahara kelaparan setengah mati.

Setelah cuci tangan, Sahara berniat untuk pergi makan. Mengingat kondisinya yang seperti itu, rasanya sudah tidak sanggup lagi untuk melakukan hal lain. Kekacauan sudah berhasil diatasi dan tidak masalah jika pergi sekarang. Namun, teriakan si balita yang semakin kencang membuatnya tidak tega.

Sahara urung meninggalkan IGD. Dia mendekati si balita yang sedang berada dalam gendongan rekan sejawatnya. Tanpa banyak kata, diambilnya si anak dan langsung dia peluk dengan penuh sayang.

"Ibunya ke mana?" tanya Sahara seraya mengusap lembut kepala balita dalam dekapannya.

"Tak tertolong. Baru saja jenazahnya diambil petugas."

Sahara mengangguk dan terus berusaha menenangkan si anak. Sebentar saja, balita itu mulai tenang. Tangan kecilnya memeluk erat leher Sahara sementara isaknya masih sesekali terdengar.

"Akhirnya tenang juga anak itu. Bagaimana caramu melakukannya, Suster Sahara?" Kepala ruangan datang membawa map yang entah apa isinya.

"Hanya memeluknya, Suster."

"Lulusan bangsal anak dilawan. Ada keinginan untuk pindah ke sana?"

Sahara tersenyum seraya menggeleng. "Tidak, Suster. Saya senang di IGD"

"Yakin?"

"Ya, Suster."

Ketika anak dalam pelukannya sudah tertidur, Sahara mencari brankar kosong. Beruntung yang sedang kosong itu cocok digunakan untuk menidurkan anak dalam pelukannya. Ada pembatas di kedua sisinya sehingga tak akan khawatir jatuh jika si anak bergerak.

"Bapak dari anak itu sudah dalam perjalanan kemari, Suster Sahara. Beristirahatlah!"

Sahara melesat meninggalkan IGD untuk mengambil jaketnya. Dia hanya berpikir untuk mengisi perut sebelum benar-benar pingsan. Hampir keluar dari pintu samping rumah sakit, Sahara jongkok. Kepalanya berputar dan perutnya benar-benar mual.

Ketika beberapa kali tarikan napas panjang membuat semua keluhan reda, Sahara kembali bangkit dan meneruskan langkah. Untunglah jalanan juga sedang sepi hingga dia bisa lekas menyeberang dan pesan minuman. Setengah gelas lemon hangat membuatnya merasa jauh lebih baik.

Di saat seperti itu, Sahara merindukan masakan mamanya. Namun, saat mengingat lagi apa yang terjadi, kerinduan itu pun sirna. Rasa benci dan marah kembali mendominasi pikirannya. Beruntung, tanggung jawab membuat dirinya sadar bahwa makan adalah solusi yang tepat.

"Telat istirahat, Suster?"

Sop panas baru saja diantarkan untuk Sahara ketika suara itu menyapa. Dia mendongak dan melihat sosok gagah berkeringat, sangat berkeringat. Tanpa sadar ia bergidik sambil menepuk dahi dengan telapak tangan kanan dan mata terpejam.

"Maaf," ujar sosok itu mengerti perasaan Sahara. Dengan saputangan menyerupai handuk, dia seka wajah dan tangannya yang penuh keringat sambil berlalu.

Sahara mengaduk sop dengan sedikit sambal. Makanan yang sangat dia sukai. Apalagi dalam keadaan yang tidak mengenakkan seperti hari ini. Tak sama dengan buatan mamanya, tetapi tetap sanggup membuat dirinya pulih secara perlahan.

"Saya temani makan, ya, Suster."

Sesendok nasi berhenti di depan mulut Sahara. Matanya menatap pria yang baru duduk di depannya dengan menu yang sama. Kali ini keringatnya sudah dibersihkan dan parasnya tampak lebih bersih. Untunglah, setidaknya ia tak perlu memprotes penampilan yang menurutnya tidak karuan.

"Kebiasaan, Bapak ini," gerutu Sahara lalu melahap makanan yang sempat tertunda.

"Habiskan dulu makanannya, Ibu Kos, biar energinya balik."

"Aku bukan ibu-ibu," protes Sahara. Matanya mendadak garang tertuju pada pria yang mengundang dirinya sendiri untuk duduk bersamanya.

"Jangan menyebalkan makanya, Suster. Panggil nama saya saja."

"Baiklah, Mas Kalahari."

"Terdengar lebih baik."

Makan dengan pekerja bangunan yang satu ini ternyata menyenangkan. Selain tenang, dia juga tidak berusaha untuk bertanya tentang apa pun. Setidaknya sekarang, ketika suasana hati Sahara sedang malas untuk membahas sesuatu.

"Suster pulang jam tiga, 'kan?" tanya Kalahari setelah menghabiskan isi piringnya.

"Iya," jawab Sahara singkat.

"Mau barengan?"

Alis Sahara bertaut. "Maksudnya?"

"Ya barengan, Suster. Rumah kita, 'kan, sama."

Pria satu ini benar-benar songong, batin Sahara. Pegawai bangunan mana yang bisa pulang jam tiga. Itu terlalu dini, tentu saja. Meski tak pernah tahu sistem bekerja orang kebanyakan, tetapi dia tahu kalau jam kerja normal selalu dimulai pukul delapan dan berakhir pukul empat.

"Urus saja pekerjaanmu."

Sahara yang mau bangkit mengurungkan niatnya ketika melihat Desta masuk rumah makan. Alarm bahaya di kepalanya berbunyi hanya karena melihat sang residen emergensi medis itu datang. Dia tidak berpikiran buruk, hanya saja aura yang dia tangkap dari si dokter terasa tak baik untuknya.

"Duduk saja sebentar, Suster. Akan kubawa dirimu keluar dari tempat ini. Tiga menit saja, biar kuhabiskan kopiku dulu."

Sahara tidak tahu bagaimana Kalahari seperti bisa membaca pikirannya. Namun, dia bersyukur akan hal itu. Tidak perlu menjelaskan apa pun dan orang tahu keinginannya. Rasanya sudah begitu lama sejak Restu—papanya tercinta—melakukan hal yang sama.

"Ra, makan nggak ngajak-ngajak."

Nah, benar, 'kan? Desta selalu mendekati Sahara setiap ada kesempatan. Bukannya dia merasa terlalu percaya diri, tetapi gelagat si dokter residen itu memang begitu mudah ditebak.

"Sudah lapar, Dok." Tak ada yang salah dengan jawaban Sahara. Meski tak suka, sopan santun harus tetap dijaga.

"Tinggal ngomong, di mana susahnya, sih, Ra?"

"Nggak usah dibikin masalah, Dok. Kita sama-sama tahu kalau kesibukan di IGD tidak bisa diprediksi. Tak jarang istirahat pun dilakukan bergantian."

"Ya sudah. Tunggu saya makan sebentar. Nanti kita balik sama-sama. Nggak masalah terlambat sedikit, ada saya."

Sahara menatap Kalahari yang sedang meneguk kopinya. Kejengkelannya muncul kala pria itu terlihat begitu santai sedangkan Desta sudah tersenyum lebar. Rasanya ingin menjitak si pemilik dagu belah dengan kekuatan penuh.

Membayangkan tentang dagu belah, mata Sahara tertuju pada objek yang ada dalam pikirannya. Ada janggut tipis yang sudah tumbuh di sana dan ... astaga pikiran ini! Bisa-bisanya memikirkan hal aneh di saat genting begini. Katakanlah dia berlebihan, tetapi apa pun yang berhubungan dengan pria yang suka tebar pesona memang memiliki potensi membahayakan.

"Jangan bengong, Ra!" tutur Desta lembut. "Aku makan cepat ini."

"Makannya pelan-pelan saja, Dok. Dikunyah tiga puluh dua kali, sesuai dengan anjuran kesehatan. Saya yang akan mengawal Suster Sahara hingga sampai di IGD dengan selamat."

"Ra, tapi ...." Seolah tak mendengar ucapan Kalahari, Desta melayangkan protes sembari menatap Sahara.

Kalahari berdiri dan berujar, "Ayo, Sayang. Kuantar sampai tempatmu dinas!"

Jiyaahh, sayang katanya. Ini yang SKSD sebener e Desta apa Kalahari?
Komenin yang banyaaak. Bisa kan yaa, daripada saia minta banyak ☆ 🤟

Love, Rain❤

Masih Ada Edelweis yang LainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang