Haloo ... yang menunggu Sahara bisa bernapas lega. Jahahah ... kuy baca dulu🥳🥳
"Saya selaku ayah, mewakili Dirga menyampaikan niat tulus untuk meminang."
Sahara merasa seperti mimpi di siang bolong ketika mendengar lamaran yang disampaikan oleh Dody, ayah Dirga, menembus pendengarannya. Namun, setelah ucapan lamaran itu, si pemilik hatinya berdiri dan melangkah mendekati Lucia, bukan dirinya. Tersenyum cerah seraya memberikan seikat edelweis dan disambut tatapan berbinar sepupunya yang terkesan malu-malu. Khas orang jatuh cinta yang siap menyongsong masa depan dengan sang pujaan hati.
"Bisakah kita menikah segera, Lucia? Saya tahu kita tidak dekat, tapi melihatmu ... saya merasa cocok dan berpikir sudah waktunya mengakhiri masa lajang."
Senyum yang sepanjang sore tidak pernah putus dari bibir Sahara mendadak hilang. Beberapa kenalan menatapnya iba dan rasanya seperti ingin membalik lantai dan bersembunyi di dalamnya.
Sahara malu. Dia yang sepanjang ulang tahun pernikahan orang tuanya selalu ada di samping Dirga, mendadak terasing. Merasa tidak dibutuhkan dan dicampakkan oleh keluarga yang selama ini dianggapnya sebagai keluarganya juga.
Bahkan Riana—ibu Dirga—tak menatapnya walau hanya sebentar ketika suaminya berhasil menyampaikan lamaran untuk Lucia. Mata yang biasanya berbinar penuh cinta menatapnya, kini tertuju lurus pada Dirga yang sudah pasti menunggu jawaban sepupunya. Pria itu bahkan memberikan sekuntum edelweis yang terselip di saku jas-nya untuk Lucia.
Demi Tuhan! Sahara pantas merasa begitu terpukul menyaksikan itu semua. Mengingat dialah yang meletakkan bunga itu di saku Dirga, perilaku pria itu membuatnya merasa tidak dihargai. Orang tuanya juga seolah menutup mata pada perasaannya. Mereka dan semua orang jelas tahu kalau Dirga dekat dengan Sahara. Kemudian, apa yang terjadi hari ini seolah tak seorang pun menganggap keberadaannya.
Kesedihan, kekecewaan, dan harga diri sedang berperang dalam hati. Tak akan dia biarkan orang lain melihat kelemahannya, air mata jelas tidak dibutuhkan di sini. Berdiri tegak dan kembali tersenyum adalah satu-satunya hal yang bisa ia lakukan meski semuanya palsu.
"Ayo, terima, Mbak!"
Di mata orang lain, pernyataannya Sahara jelas terlihat sebagai dukungan. Baginya, itu adalah ucapan penuh kepalsuan untuk menyelamatkan harga diri.
"Aku mau," bisik Lucia. Tangannya meraih edelweis yang diulurkan Dirga. Senyumnya merekah mengiringi kebahagiaan yang muncul di wajah orang tua pria itu.
Keluarga Dirga yang sibuk memeluk Lucia dengan penuh suka cita terdengar terus mengucapkan syukur. Ditambah orang tua Sahara yang turut memeluk Lucia bergantian, serasa telah menggarami lukanya. Bagaimana mungkin wanita yang telah melahirkannya itu alpa dengan keberadaannya?
Mau berpikir positif pun Sahara tidak bisa. Kenyataan bahwa orang tuanya telah mengabaikan perasaannya dan larut dalam kebahagiaan Lucia jelas memantik rasa iri di hatinya. Situasi ini membuatnya ragu. Jangan-jangan dia bukan anak papa dan mamanya, tetapi hanya anak pungut yang dikorbankan untuk menyumbang kebahagiaan sepupunya.
"Jadi bagaimana? Kapan mau diresmikan?" tanya Dody.
"Segera saja. Sudah sama-sama setuju. Mau menunggu apa?" jawab Restu, papa Sahara.
Bahkan Restu, pria yang menjadi cinta pertama Sahara pun seolah tidak melihat perubahan di raut putrinya. Semuanya terlihat lebih mementingkan Lucia. Merasa terlalu sakit dengan percakapan yang terjadi, Sahara memilih menjauh sejenak.
Langkah pelan Sahara membawanya menuju meja makan. Di sana dia menyusun puding-puding dalam cup kecil ke atas nampan. Merasa membutuhkan waktu lebih banyak, ia meracik es buah ke dalam wadah besar. Syukurlah cuaca cukup panas sehingga minuman itu cocok untuk dihidangkan. Walaupun ada dua asisten rumah tangga, keluarganya tidak memasrahkan semua urusan ke tangan mereka.
Menolak mengasihani diri sendiri, Sahara mengangkat puding dan membawanya ke ruang tengah. Di sana, Tita—mamanya—berdiri dan menyambut nampan darinya. Sahara berbalik dan mengambil es buah yang ternyata diantarkan asisten rumah tangga ke sana. Dalam hati Sahara mengutuk kelakuan asisten rumah tangga mamanya. Siapa yang menyuruh perempuan itu mengantarkan es buah padahal dia tidak menyuruhnya.
Tidak ada pilihan, Sahara kembali duduk di samping Tita. Kembali menyimak obrolan tentang pernikahan yang akan diadakan dalam waktu dekat. Pembicaraan yang tidak menarik minatnya sama sekali.
"Bagaimana kalau akad nikahnya diadakan di masjid kompleks saja? Kebetulan hari Jumat, jadi sekalian saja berbagi di sana," usul Tita. "Gimana menurutmu, Sahara?"
Tentu saja itu ide buruk. Kalau saja Sahara bisa meneriakkan jawabannya, dia pasti akan melakukannya dengan senang hati. Hal yang selalu menjadi prioritasnya adalah kebahagiaan orang tuanya sebagaimana mereka membahagiakan dirinya sejak kecil. Sahara memiliki kehidupan yang bahagia. Kasih sayang orang tuanya tanpa cela meskipun ada Lucia yang kemudian tinggal bersama mereka.
Hingga datangnya hari ini. Sahara merasa kebahagiaannya fana, tak ubahnya fatamorgana. Semua terlihat indah, lalu kenyataan memukulnya tanpa ampun. Hatinya remuk hingga tidak tahu lagi harus melakukan apa.
"Terserah pengantinnya saja." Menolak memberikan pendapatnya, Sahara melempar keputusan pada calon mempelai.
"Kamu 'kan saudara kami, Sahara?" Dirga menatap Sahara. "Keputusanmu juga pasti akan kami pertimbangkan."
"Benar." timpal Lucia. "Sejujurnya aku juga lebih suka kalau Sahara ikut memutuskan bagaimana pernikahan kami nanti diselenggarakan."
"Tidak." Sahara bersikeras. "Menurutku, pernikahan itu akan lebih manis kalau mewujudkan keinginan mempelai. Karena pernikahan itu sekali seumur hidup, jadi merealisasikan segalanya pasti lebih menarik."
Enak saja mau mengintip pernikahan impianku, batin Sahara. Dia tahu kalau Lucia tidak terlalu mengenal calon suaminya. Sepupunya itu tidak tahu apa yang disuka dan tidak oleh pria itu. Dia meminta pendapat Sahara jelas karena merasa kalau sebagai orang yang selama ini dekat dengan Dirga, tentu ia mengetahui segalanya.
"Sahara." Tita menghadap Sahara dan memegang tangan kanan putrinya. "Kakakmu itu bertanya tentang pendapatmu. Tidak ada salahnya, 'kan, kalau kamu membantunya untuk memutuskan semuanya?"
Sekalian saja suruh aku untuk menentukan segalanya. Jika mamanya meminta itu, Sahara bisa apa selain menurutinya? Sang Mama memang ingin membunuhnya pelan-pelan kalau seperti ini. Namun, Sahara tetaplah Sahara, yang akan mengabulkan keinginan orang-orang tercintanya dan berbahagia di dalamnya. Bukan! Kali ini dia tidak ikut berbahagia, tetapi menderita di dalamnya.
"Baiklah. Jika begitu mau Mama, aku bisa apa?"
"Kok sepertinya kamu terpaksa gitu, Sa?" Tita kembali bersuara.
"Sahara, bantu Tante, ya? Kamu dan Dirga, 'kan, cukup dekat sampai seperti kakak adik. Orang kalau tidak tahu keluarga kita juga pasti berpikir kalau Dirga itu kakakmu. Dia itu kaku, kamu tahu itu." Riana turut mendukung keinginan calon besan.
"Bantu kami, Sahara."
Dunia benar-benar telah sepakat untuk mengakhiri hidup Sahara ketika Dirga pun mengutarakan hal yang sama. Pria itu adalah makhluk paling tidak peka di dunia karena telah meminta itu padanya. Demi apa pun juga, Sahara akan mengacaukan pernikahan sepupunya. Biar mereka tahu bagaimana rasanya impian yang diinjak sampai hancur lebur.
Eaa ... cepet amat bacanya. Vote dan komen, yaa. Biar saia rajin apdet. Spam juga boleh😉
Love, Rain❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Masih Ada Edelweis yang Lain
RomanceCover by @DedyMR Ketika Dirga menikahi Lucia, kebahagiaan Sahara sirna. Namun, kenyataan bahwa Lucia tak bisa memiliki anak, membuat perempuan itu meminta Sahara menjadi istri kedua suaminya. Akankah Sahara memenuhi permintaan sepupunya, atau menca...