🍁 27. Rindukah? 🍁

4.5K 1K 91
                                    

Malam, temans. Pokok e ontime, yah🤭🤭

"Suster Sahara, hecting set, tolong!"

Sahara membawa peralatan jahit sesuai teriakan Desta. Tentu saja bukan hanya memberikan, tetapi dialah yang mengerjakan urusan jahit-menjahit dan menenangkan pasien cerewet yang kebanyakan nawar. Desta? Jangan tanya. Jawabannya sudah pasti berlalu dengan alasan ada pasien lain yang kondisinya lebih butuh pertolongan daripada sekadar menjahit luka.

"Suster Sahara, pasang infus bayi!"

Instruksi kembali terdengar ketika dia selesai menjahit luka. Oke, Sahara memang satu-satunya yang bisa diandalkan jika menangani pasien yang dikategorikan sebagai anak-anak. Tak satu pun dari mereka yang menolak sentuhannya. Bahkan, bayi pun akan menangis sebentar, lalu tenang dengan elusan tangan Sahara.

Rekan sejawat menjulukinya si tangan ajaib. Sentuhan yang bisa menenangkan anak-anak hingga orang dewasa dengan ketenangan luar biasa. Itu menurut orang lain, sementara pendapat Sahara? Jangan tanyakan, dia pasti akan menjawab sesuai dengan pembawaannya ketika harus berurusan dengan orang menyulitkan. Menyebalkan, adakah pasien yang lebih menyulitkan lagi? Begitulah isi hati perawat andalan IGD seadainya bisa diteriakkan.

Menjelang waktu pulang, Sahara membersihkan semua peralatan yang telah digunakan. Satu per satu peralatan dia sterilkan. Memegang alat itu, ingatannya melayang pada suatu kejadian ketika ada seorang pria datang dengan sobekan besar di lengan. Pasiennya ketakutan, yang mengantar pun kurang lebih sama. Pria-pria menggelikan yang sangat tidak cocok dengan postur tubuhnya yang gagah. Sahara tersenyum sendiri mengingat kejadian itu, bagaimana dia mengancam dan membuat keduanya tutup mulut dengan sukses.

"Apa hecting set sudah berubah menjadi pria seksi hingga membuatmu tersenyum begitu, Suster Sahara?"

"Sangat seksi, sampai aku tak bisa berpaling." Tanpa menoleh pun, Sahara tahu kalau yang datang adalah Beni. Rekan sejawat yang terkenal usil dan suka bermain kata.

Beni terkekeh. "Kamu tahu? Rasanya senang sekali punya rekan kerja yang belum menikah." Tangannya membantu Sahara mensterilkan alat-alat.

"Mas Beni tahu? Rasanya juga senang punya rekan kerja yang suka membantu. Makasih, loh, Mas. Berkat Anda, pekerjaan ini selesai dengan cepat." Sahara pergi begitu saja tanpa berbicara lagi. Sialnya, Beni mengikuti hingga mereka berhenti di ruang istirahat.

"Enak saja ngeloyor pergi. Kamu mesti traktir saya gorengan, Suster Sa. Sudah saya bantuin, loh, pekerjaannya."

"Dih, nggak ikhlas," omel Sahara. "Lagian, siapa yang minta? Mas Beni sendiri yang bantuin aku."

"Ayolah, Sa. Ada tukang gorengan di samping rumah sakit. Pokoknya searah dengan jalan kita pulang, deh."

"Kenapa nggak manggil Suster Sa lagi?"

"Sudah bukan jam kerja."

"Ayo kita pulang dan mampir ke tukang gorengan!"

Kamar sewa Beni memang tak jauh dari tempat Sahara tinggal. Beberapa kali mereka pernah berangkat dan pulang bersama. Namun, Sahara tidak pernah bertanya apa-apa sampai rekannya itu bercerita. Dia memiliki istri di kampung halaman yang tidak bisa diajak untuk tinggal di Surabaya karena memiliki pekerjaan yang meskipun bergaji tak banyak, tetapi cukup untuk membeli jajan anak mereka.

Sahara tidak tahu kalau rumah tangga bisa begitu ribet, tetapi akal sehatnya mengatakan mungkin hanya Beni saja yang begitu. Buktinya rekan mereka yang lain juga biasa-biasa saja. Tak ada keluhan yang didengarnya meski sebagian besar mereka pernah bercerita tentang kesehariannya dengan keluarga.

Berjalan keluar dari area rumah sakit, Sahara menoleh ke kanan dan kiri sebelum menyeberang jalan. Beni mengikuti sambil menunjuk tukang gorengan yang antreannya lumayan panjang. Hebatnya, pembeli tidak menunggu lama untuk mendapatkan makanan yang mereka inginkan. Jadi, dengan cepat Beni dan Sahara sampai di depan meja dengan jejeran wadah-wadah besar berisi aneka macam makanan yang ia tidak tahu namanya.

Di samping tukang gorengan, ada kios koran. Ingatan Sahara langsung tertuju pada kejadian di Taman Bungkul ketika Kalahari mengambil alas duduk setelah keluhannya. Mengingat tentang pria itu ... yang dengan entengnya kembali ke mobil hanya demi dua lembar koran untuk dijadikan alas duduk membuatnya tersenyum sendiri.

"Sahara mau apa?" Beni mencolek lengan Sahara.

Sahara memperhatikan rekannya, lalu menggeleng. "Nggak usah, Mas. Mas Beni saja sekalian bawakan buat teman kos-nya."

Tentu saja sahara menolak. Mbok Jah sudah menyediakan camilan sore setiap hari. Mana mungkin dia membeli makanan lagi? Bisa-bisa, perempuan kesayangannya itu akan mengomel sampai menjelang jam tidur.

"Dua puluh ribu," kata si penjual.

"Ada berapa orang teman kos Mas Beni?" Bukannya membayar, Sahara justru menanyakan hal di luar dugaan.

"Delapan orang."

"Dih, delapan orang belinya cuman dua puluh ribu." Sahara membuka dompetnya dan mengeluarkan uang lima puluh ribu. "Kasih semua, Buk!"

"Sa, itu kebanyakan."

"Jangan pelit-pelit, lah, Mas!" tukas Sahara. "Temannya pada pengin nanti."

"Tapi, kamu nggak beli buatmu sendiri."

Sahara tersenyum. Ingatannya tertuju pada Kalahari lagi. Lelaki itu pasti senang jika ada gorengan hangat seperti ini. Tanpa sungkan atau malu, dia pasti akan melahap makanan itu sendiri ketika tak seorang pun bersedia menemani untuk menghabiskan.

"Ada camilan yang dibuat Simbok."

"Mbak, kalau lima puluh ribu nunggu sebentar, ya? Saya buatkan ote-ote dulu. Mesti rata, 'kan, dapatnya?"

Sahara mengangguk meski tidak tahu apa itu ote-ote. Bukan hanya itu, dia juga tidak tahu semua nama makanan yang dijual dan sebagian sudah masuk kantong plastik. Yang diketahuinya hanya satu, pisang goreng. Dulu, sesekali mamanya membuatkan. Disajikan di atas piring datar dengan kucuran susu kental manis cokelat dan keju parut. Kalau dimakan begitu saja ... rasanya memang belum pernah.

"Coba ini, Sa!" Beni mengulurkan makanan berbentuk bulat dengan kol dan wortel yang terlihat. Masih panas, terlihat dari caranya memegang yang menggunakan ujung jari.

"Oh, nggak usah. Makasih." Reflek Sahara menjauhi Beni.

Sahara melihat Beni mengedikkan bahu. Dia heran ketika rekannya menyendok saus yang ... tidak merah. Maksudnya bukan saus sambal atau tomat, tetapi sesuatu yang berwarna lebih gelap dengan biji cabai yang terlihat jelas.

"Enak?" tanya Sahara spontan.

"Banget. Kamu nggak pernah makan petis?"

Oh, namanya petis. Sahara mengulang dalam hati. Dia belum pernah melihat Kalahari makan saus itu, tetapi ... mungkin saja mau, mengingat cara makannya yang tak menolak apa pun.

Begitu banyak yang diingat tentang Kalahari, ke mana dia? Rasanya sudah begitu lama mereka tidak bertemu. Apakah pulang kampung? Tidak mungkin, bukankah Sidoarjo tak jauh dari sini? Mungkin ke Malang? Tidak mungkin juga. Namun, mengapa Sahara jadi berpikir banyak? Kalahari tak punya kewajiban untuk melaporkan kegiatannya, bukan?

Sahara memutuskan untuk pulang lebih dulu karena ternyata menggoreng tak sebentar seperti kata penjualnya. Yang penting sudah dibayar. Teman-teman Beni pasti senang mengingat mereka bekerja di pabrik kayu yang jaraknya tiga puluh menit berkendara. Tak ada uang ekstra kecuali lembur dan akhir-akhir ini pekerjaan sepi.

Masuk pagar kediamannya, mata Sahara langsung berbinar. Ada seseorang yang melangkah ke arahnya dengan senyum lebar tersungging di bibir. Dagu berbelah itu menarik perhatian Sahara tanpa waktu lama.

"Mas Kala ke mana aja? Lama, tahu, nggak muncul."

Cie, yang kangen Mas Kala😁😁
Kemarin ada yang dm nanya, kok ortunya gak muncul. Tenang aja, bentar lagi aku cabein😁😁

Love, Rain❤

Masih Ada Edelweis yang LainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang