Malam, temans. Ney kuantar Sahara ke ruang bacamu.🤭🤭
Merasa bersalah terus-menerus itu tidak enak. Selain gelisah, tidak bisa tidur juga bisa terjadi karena hal itu. Itulah yang sedang dialami Sahara. Dua hari lalu sejak makan malamnya dengan Desta, ingatan tentang omelannya pada Kalahari benar-benar terasa mengganggu. Dalam pikiran impulsif-nya, dia pernah datang ke lokasi proyek pembangunan perluasan rumah sakit, tetapi langkahnya terhenti.
Sahara melihat pembangunan yang dilakukan bukanlah jenis perbaikan besar seperti yang dia pikirkan. Seperti membangun rumah dengan lima atau enam tukang bangunan, yang ini lebih dari itu. Ada tower crane dan puluhan karyawan yang semuanya sibuk. Dua pria memegang gulungan kertas dan menunjuk lokasi tertentu entah memerintahkan apa.
Dalam keadaan begitu, ke mana Sahara harus mencari Kalahari. Di tempat yang banyak pria dan sama sekali asing untuknya. Mau mendekat ... tidak, ia tidak akan pernah melakukan itu mengingat semua yang bekerja di sana adalah makhluk berjenis kelamin laki-laki. Jelas tak akan baik untuknya.
Merasa ngeri dan tidak senang dengan kemungkinan yang akan terjadi, Sahara berbalik dan pergi. Ini juga waktu yang buruk untuk bertemu dengan orang lain, apa pun niatnya. Rasa yang mengganjal di hatinya ... akan dia coba untuk abaikan, atau bisa juga menunggu teman Kalahari untuk mengontrolkan jahitan di lengannya.
Bagaimana cara Sahara untuk mengetahui kedatangan pasien yang pernah ditolongnya? Rumit, mengapa hidupnya jadi seperti ini? Enggan terlihat aneh, dia memilih untuk pulang. Kerja di shift malam jelas menguras tenaga lebih banyak meski sebenarnya memiliki durasi yang sama dengan shift lainnya.
Sesampainya di rumah, Sahara langsung membersihkan tubuh. Setelah bersih, dia menemui Mbok Jah yang masih sibuk di dapur. Dipilihnya segelas jus jeruk untuk menyegarkan tenggorokan sebelum mulai memilih menu sarapannya.
"Kenapa ada nasi dan rendang, Mbok? Mbok, 'kan, tahu kalau pagi-pagi Sahara cuma sarapan roti, buah, dan jus."
Mbok Jah membawa apel dan pir yang sudah dicuci dan meletakkannya di meja. "Semalam Bapak pulang. Katanya habis pertemuan gitu, Simbok lupa."
Itu menjelaskan mengapa ada nasi dan rendang di meja. Selama dua kali bertemu Singgih di rumah ini, Sahara tahu kalau pria yang sudah dia anggap seperti ayah itu memilih makanan berat sebagai menu sarapan. Katanya dia memang sangat Indonesia, belum makan namanya kalau belum makan nasi.
"Terus, Simbok sudah sarapan?"
"Ya sudah, dong, Mbak. Simbok ini harus sarapan sepulang dari belanja. Kalau telat ya gemeter."
Sahara tersenyum mendengar ucapan Mbok Jah. Kadang-kadang wanita berbadan segar itu sangat lucu. Sarapan kue pulang dari belanja dan makan lagi ketika dia sarapan saat mendapat shift kerja malam.
"Ini Mbok nggak mau makan lagi sama aku?"
"Tidak," tolak Mbok Jah tanpa berpikir. "Makan koyo londo, roti, keju, buah. Rak ono sing enak."
***
Sahara membuka matanya yang masih kantuk. Panggilan Mbok Jah terdengar lembut, tetapi masih bisa didengarnya. Tak lama kemudian, perempuan baik itu muncul dari balik pintu. Senyumnya mengembang keibuan menatap gadis yang masih terkantuk-kantuk itu berusaha untuk duduk.
"Katanya minta dibangunkan jam empat. Jadinya, ya, Simbok masuk. Ini hari libur, mungkin mau pergi ke suatu tempat?"
"Memang harus bangun, Mbok. Nggak boleh tidur lama-lama. Sahara bisa bego nanti."
"Ya wes. Buruan mandi, ada yang mau ketemu di depan."
Sahara mengikat rambutnya. "Siapa, Mbok? tanyanya seraya bangkit menuju kamar mandi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Masih Ada Edelweis yang Lain
Lãng mạnCover by @DedyMR Ketika Dirga menikahi Lucia, kebahagiaan Sahara sirna. Namun, kenyataan bahwa Lucia tak bisa memiliki anak, membuat perempuan itu meminta Sahara menjadi istri kedua suaminya. Akankah Sahara memenuhi permintaan sepupunya, atau menca...