🍁 4. Tidak Peka 🍁

4K 991 223
                                    

Malam, temans. Aku datang lagi dong. Hayuk lekas kumpul, kita arisan😅

Sahara turun dari kamar pada pukul enam tepat. Sampai di meja makan, hatinya langsung diliputi kemarahan. Dirga sudah duduk di sana dengan segelas kopi yang masih mengepul di depannya. Papanya juga ada, sedang membaca koran meski terkesan ketinggalan zaman.

“Masuk pagi?” tanya Dirga.

“Sepertinya begitu,” jawab Sahara. Dia mengambil dua lembar roti tawar, selembar keju dan menuang jus jeruk.

“Ditanya itu jawabnya yang baik, Sahara,” tegur papanya. “Ke mana sopan santunmu?”

Sahara menelan rotinya lalu meneguk jus jeruk hingga tandas. “Bertanya dan basa-basi itu beda tipis. Sudah tahu aku pakai seragam dan masih tanya begitu.” Sahara bangkit sembari membawa rotinya. “Mikir!” Telunjuk Sahara menunjuk pelipisnya lalu meninggalkan meja makan.

“Sahara!” panggil mamanya. Wanita yang masih cantik di usia lima puluh tahun itu masuk dari arah dapur membawa nasi goreng dalam mangkuk besar. “Mau ke mana kamu?”

“Berangkat kerja, dong, Mama. Sahara bukan anak pemilik rumah sakit yang bisa terlambat dan masih bebas dari SP.”

“Masih ada waktu sepuluh menit untuk sarapan bersama,” cetus Restu. “Kamu bisa ambilkan sepiring nasi goreng untuk Dirga.”

“Pa!” seru Sahara, “Dirga itu suaminya Lucia. Kenapa harus Sahara yang mengambilkan sarapan? Lagian sudah jam segini masih molor saja, lupa kalau sudah punya suami?”

“Sahara! Ngomong apa kamu?” Tita terlihat kaget mendengar ucapan Sahara.

“Sahara kenapa bilang begitu sama Mama? Bukankah kamu tahu kalau itu tidak sopan?” Restu menimpali.

Sahara jelas tahu kalau dia sudah tidak sopan, tetapi sedikit saja ... bisakah orang tuanya itu peka? Di sini, yang anak kandung adalah dirinya, sementara Lucia hanya sepupu yang dirawat dan disekolahkan hingga lulus. Tidak main-main, Lucia bahkan selesai magister, sedangkan Sahara cukup puas dengan lulus sarjana keperawatan lengkap dengan pendidikan profesinya. Beruntung dia bisa mengikuti beberapa pelatihan yang berguna untuk menunjang kemampuannya.

“Mestinya Mama dan Papa juga yang sopan, dong.” Kali ini Sahara bicara dengan suara lembut. Tentu saja tidak tulus karena hatinya masih memanas dan mulutnya ingin berteriak. Namun, demi menampilkan kesan bahwa dirinya masih seperti biasa, dia mengontrol emosinya. “Dirga itu bukan kewajiban Sahara dan tolong ... bangunkan saja anak Mama yang cantik itu supaya melayani suaminya. Sahara tidak akan mulai jadi pelakor dalam skala kecil, ‘kan?”

Sahara berlalu tanpa memedulikan seruan orang tuanya. Jelas dia tidak ingin suasana hatinya lebih buruk lagi. Hari masih pagi dan rasanya memang tidak baik untuk memupuk emosi. Sahara duduk di mobil tanpa menutup pintu. Dia pikir akan berangkat setelah menghabiskan sarapan. Pagi yang menyebalkan.

“Mau berangkat sama-sama?”
Sahara yang terkejut langsung menoleh. Kakak iparnya sudah berdiri di samping mobil dengan senyum mengembang. Dulu Sahara melihat itu adalah senyum paling simpatik yang pernah dia lihat dari seorang pria. Ketampanan Dirga juga tidak ada tandingannya. Namun, melihat wajah dan senyum itu sekarang ... rasanya seperti menggarami luka.

“Tidak, aku punya mobil sendiri,” ketus Sahara.

“Ayolah, Sa! Kita sudah biasa berangkat kerja bersama. Apa yang salah dengan itu sekarang?”

Ini lagi, tambahan makhluk yang tidak peka. Sahara meraih pintu mobil dan menutupnya. Memangnya dia bisa beramah tamah setelah lelaki itu menghempaskan impiannya sampai tak tersisa? Setelah menenggak air mineral, ia menyalakan mobil dan mengemudi pergi. Sahara melirik jam di dasbor, masih bisa mengemudi santai dan tidak akan terlambat tiba di rumah sakit.

Masih Ada Edelweis yang LainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang