Malam, temans. Yang kangen Kang Bangunan ngumpul yakk🤭🤭
Berjalan di sisi Kalahari, nyatanya tak seperti yang pernah Sahara rasakan. Kini, lelaki itu mengimbangi langkahnya dan tetap di sampingnya sepanjang jalan. Yang terjadi sebelum ini adalah Kalahari selalu berjalan dua langkah di belakangnya. Beberapa meter setelah meninggalkan rumah, pria penuh gaya itu sempat berhenti sejenak, lalu berpindah ke sisi Sahara yang lain dan menempatkan dirinya di sisi keramaian.
Tindakan sesederhana itu saja mampu membuat Sahara merasa terharu. Dia merasa dilindungi dengan berjalan di tepi jalan sementara Kalahari seolah mengambil semua risiko buruk yang mungkin saja terjadi. Matanya melirik sekilas sebelum kembali menatap depan, memilih rumah makan yang akan mereka singgahi.
Sahara menarik napas panjang. Dulu, tidak pernah seperti ini. Kalaupun berjalan bersama Dirga, tak pernah pria itu peduli dia berada di sisi mana. Bahunya pernah terserempet spion mobil karena jalanan yang macet dan saat itu prianya juga tak ambil pusing. Bukannya tidak peduli, tetapi karena tak ada darah yang menetes maka artinya semua baik-baik saja.
Betapa berbedanya pengalaman Sahara saat ini. Hanya teman, tetapi memiliki rasa peduli yang cukup tinggi. Beberapa kali, Kalahari menanggapi sapaan orang, senyumnya juga tersungging ramah. Saat seperti itu, kesan semaunya dan terlalu santai yang selalu dilihat Sahara seakan lenyap. Berganti menjadi sosok pria yang ... entahlah, dia tak dapat menggambarkan sisi baru pria ini dengan tepat.
Rumah makan yang dipilih Sahara masih sama seperti beberapa hari yang lalu. Tak terlalu ramai dan bersih, itu adalah satu poin penting yang baginya harus ada. Setelah memesan makanan, dipilihnya tempat duduk di dekat jendela. Sambil menunggu, Kalahari menyulut sebatang rokok. Asapnya tak terembus ke arah Sahara, tetapi gadis itu mengibaskan satu tangan di depan wajah.
Tak lama, dua buah dorang bakar datang beserta sambal mangga pesanan Sahara serta sambal asam pesanan Kalahari diantarkan bersamaan dengan sebakul kecil nasi yang masih mengepul. Menu ikan dipilih si gadis setelah mengatakan kalau itu enak dan wajib diulang. Sahara menyeka dahi ketika sudah menikmati separuh makanannya. Sambal mangga yang dipilihnya memiliki rasa pedas tajam tanpa mengurangi kelezatan. Beberapa kali tatapannya bersirobok dengan Kalahari.
"Sambalmu kepedasan, Suster." Kalahari menyodorkan air mineral untuk Sahara.
"Aku nggak pesan yang pedas, dong. Sudah dapatnya begitu."
Lagi-lagi ingatan Sahara terseret pada sedikit kejadian yang sama. Dia sedang makan dengan Dirga saat itu. Makanan yang terlalu pedas membuat pria itu bangkit menuju kasir dan membayar tagihan. Memang hanya sepiring nasi padang, tetapi reaksinya menunjukkan seolah pria itu telah mendengar hinaan yang menyinggung perasaan.
"Ngelamunin apa, sih, Suster?"
Sahara menggeleng. "Nggak ngelamun. Memang sedikit kepedasan, tapi Mas Kalahari nggak akan ngajak aku pindah rumah makan, 'kan?"
Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Sahara. Bukannya ingin membandingkan, tetapi orang cenderung punya reaksi serupa saat dihadapkan pada situasi yang kurang lebih sama. Itu juga yang selalu terpatri di ingatannya. Kekhawatiran menakutkan muncul begitu saja karena jauh di dalam hatinya, Sahara ingin semua orang bersikap biasa saja.
"Kenapa harus pindah? Suster sendiri yang pilih tempat ini loh."
"Kalau begitu, ayo kita habiskan makanan sedap ini!"
Jawaban Kalahari membuat Sahara mengembuskan napas lega. Dia merasa makan kali ini terasa lebih lezat. Merasa Kalahari tak membatasi konsumsinya, rasa senang langsung memenuhi hati. Ini bukan jenis makanan yang mahal, tetapi apa yang didapatnya terbukti mampu membuat Sahara merasa dihargai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Masih Ada Edelweis yang Lain
Roman d'amourCover by @DedyMR Ketika Dirga menikahi Lucia, kebahagiaan Sahara sirna. Namun, kenyataan bahwa Lucia tak bisa memiliki anak, membuat perempuan itu meminta Sahara menjadi istri kedua suaminya. Akankah Sahara memenuhi permintaan sepupunya, atau menca...