🍁 19. Tidak Terima 🍁

4.2K 957 117
                                    

Malam, temans. Apa kabar? Tim Kalahari langsung merapat yess😅

Sahara tidak tahu harus bagaimana bereaksi setelah mendengar ucapan Kalahari. Apa yang keluar dari bibir lelaki itu terbukti mampu membuat Desta tutup mulut. Tidak ada lagi paksaan untuk memintanya menunggu yang dengan tidak tahu malu disampaikan di depan orang lain.

Saat Desta mencari kebenaran atas ucapan Kalahari, Sahara tersenyum. Seolah senyumnya sudah cukup untuk membenarkan ucapan yang tercetus sesaat lalu. Biarlah, dokter itu boleh berpikir tentang apa saja, asal tidak meletakkan harapan lagi untuknya. Bukannya dia membenci sebuah hubungan, tetapi sedang tidak ingin memikirkan hal itu sekarang.

Kalahari kembali meneguk sisa kopinya tanpa tergesa-gesa. Keterlaluan sekali orang ini, masih bisa bersantai ketika Sahara justru ingin segera berlalu. Namun, dia bisa apa selain menunggu si penolongnya menyelesaikan kegiatannya terlebih dulu.

"Jadi, lain kali jangan mendekati gadis orang lain, Dokter ...." Kalahari pura-pura menatap name tag yang tergantung di dada kiri si dokter residen. "Desta. Saya harap permintaan ini bisa dipahami."

Wow! Sahara harus mengakui, meskipun kalimat itu diucapkan dengan begitu santai, tetapi efeknya luar biasa. Rasanya ingin tertawa melihat Desta yang biasanya begitu pintar bermain kata dengan cerdas, nyatanya bisa didiamkan dengan dua kalimat pendek. Orang pasti akan tertawa melihat si tukang tebar pesona terdiam tak membalas perkataan si pekerja bangunan. Bisa jatuh reputasi playboy-nya.

Sahara berdiri ketika Kalahari sudah terlebih dulu melakukan hal yang sama. Pria itu bahkan mempersilakannya untuk keluar rumah makan kemudian mengikuti dengan langkah pelan. Tanpa menoleh pun, Sahara tahu bagaimana penolongnya itu berjalan. Sedikit banyak, gerakan luwesnya sudah terekam di ingatan Sahara.

Sesampainya di luar, Kalahari langsung menyalakan rokok. Sahara yang sudah berada di sampingnya melirik sebal. "Mesti banget, ya, kalau habis makan itu merokok?"

"Asem kalau habis makan nggak merokok," jawab Kalahari tanpa pikir panjang.

"Tadi nggak merokok." Sahara masih protes.

"Kalau Suster lupa, biar saya ingatkan. Saya masih menghabiskan sepertiga gelas kopi saat penggemarmu datang. Melihatmu tidak suka, saya bisa apa selain berbuat sok pahlawan."

Sahara cemberut mendengar ucapan Kalahari. Meskipun benar, dia tidak mau mengakuinya. Baginya, memperingatkan hal baik itu keharusan. Bukannya berterima kasih, jawaban aneh justru dia dengar untuk membenarkan sebuah tindakan.

"Bangga?"

Sahara tidak tahu harus memberikan tanggapan apa pada tindakan yang tidak pernah dia duga. Tidak masalah sebenarnya, asal jangan sampai kekasih pria itu tahu. Hanya begitu saja catatannya. Namanya orang mendengar sebuah berita, tentu akan disebarkan secepat kilat. Apalagi jika menyangkut sebuah pertemanan, jelas akan menjadi lebih cepat.

Ketika sudah separuh jalan menuju rumah sakit, Sahara berhenti dan menatap Kalahari yang masih berjalan sambil merokok. Kejengkelannya muncul melihat bagaimana pria itu terlihat begitu acuh, sementara emosinya sudah naik ke kepala. Kalau begini caranya, perhitungan harus segera dibuat supaya tidak terjadi kesalahan yang sama di masa depan.

"Suster ...." Langkah santai Kalahari tetap mengikuti Sahara yang tampak tergesa. "Bingung saya, didekati dokter kok tidak mau. Tampan lagi orangnya. Salahnya di mana coba?"

"Laki-laki itu, makin banyak duitnya, makin banyak tingkah," jawab Sahara ketus.

Sahara mempercepat langkah dan masih merasa heran. Bagaimana Kalahari tetap terlihat santai mengiringinya seolah kecepatannya tidak berarti. Pria itu bahkan tidak terpengaruh oleh nada ketus dalam suaranya.

"Ngapain tadi sayang-sayang?"

"Kapan?" Respons Kalahari jelas lebih cepat dari yang Sahara duga, tetapi pertanyaan yang menjawab pertanyaan itu jelas memantik emosi.

"Aku nggak suka dipanggil sayang!"

"Terus maunya dipanggil apa? Cintaku begitu?"

Sahara tidak tertawa. Dia justru geram, kedua tangannya mengepal erat dan siap meninju Kalahari. Untunglah semuanya terhenti karena pikiran spontannya mengatakan kalau itu tidak bagus. Pembawaan santai si pria penolong membuat pikirannya sadar bahwa apa yang terjadi bukanlah apa-apa.

"Nggak usah ngasal. Sayang itu tukang patri," omel Sahara.

"Tukang sate juga sayang, kok," balas Kalahari ringan.

Sahara tidak menjawab. Hanya matanya yang terus menatap Kalahari dan menangkap sebuah senyum tipis lalu melanjutkan, "Jangan terlalu diambil hati. Yang penting suster aman dari gangguan dan saya ikhlas membantu. Masuklah ke IGD dan selamat bertugas."

Kalahari berbalik tidak menoleh lagi. Pikiran Sahara bekerja cepat. "Mas," panggilnya. Meski tidak kencang, tampaknya lelaki itu mendengar dan berhenti tanpa berpaling. "Makasih."

Kali ini, Kalahari menoleh. "Kalau bilang makasih yang ikhlas, Suster. Melakukan sesuatu yang setengah hati itu sama saja dengan menyiksa diri sendiri."

Sahara masuk ke IGD, menyimpan jaketnya di salah satu laci meja karena tidak sempat mengembalikannya ke ruang istirahat. Efisien waktu, begitu pikirnya. Dia harus membersihkan tangan dan menangani pasien. Beberapa teman membutuhkan istirahat. Bukan makan siang, tetapi dari rasa pegal akibat bekerja tanpa jeda.

Pasien kecil yang tadi tertidur menjerit. Tanpa banyak bicara, Sahara mendekat dan menenangkannya. Anak itu langsung tenang dalam dekapan Sahara. Ada perban melintang di dahinya serta beberapa plester di tangan dan kaki.

"Bisakah meminumkan obat ini padanya, Suster?" Kepala ruangan membawa sebotol obat untuk si anak.

"Bisa asal ada makanan. Itu sesudah makan, bukan?"

"Sudah diambilkan oleh Suster Yumi."

Benar saja, setelah kepala ruangan berlalu, Suster Yumi datang membawa nasi dalam porsi kecil di piring. Ada sayur bayam dan ikan sebagai lauknya. Terbiasa menghadapi anak-anak, mudah saja bagi Sahara untuk memindahkan isi piring ke perut pasiennya disusul sesendok obat sesuai dengan anjuran. Si balita bahkan tersenyum memamerkan giginya, sangat menggemaskan.

Pasien kecil yang tidak bisa ditenangkan oleh perawat lain membuat Sahara terus duduk. Untunglah IGD sedang lengang, tak ada yang terbengkalai karena pekerjaannya yang menjadi santai.

"Nih, buat mainan pasienmu!" Tiba-tiba Desta datang dan memberikan sebuah senter berbentuk pulpen pada Sahara. Si residen emergensi medis langsung berbalik pergi setelah melihat si anak yang kegirangan mendapat mainan.

Melihat Desta yang belum pernah sependiam itu, alis Sahara bertaut. Bagaimana bisa terjadi? Ingatan akan ucapan Kalahari kembali muncul. Huh! Sayang ... menyebalkan. Dalam pikirannya, dia menggerutu. Kenal sekadarnya dan bisa mengucapkan kata yang begitu manis. Bisa jadi itu adalah kebiasaan. Dasar laki-laki!

Sahara boleh saja mengomel atau mengumpat dalam hati. Mengutuk sikap Kalahari yang kelewat santai dan membuatnya merasa tidak karuan. Namun, semuanya jadi seperti sebuah gurauan kala bayangan janggut muncul di kepalanya. Bagaimana menariknya bayangan kehijauan yang baru tumbuh menghiasi belahan dagu dan melengkapi bibir yang terlihat seperti cemberut sepanjang waktu.

Cemberut? Memangnya Kalahari cemberut? Entahlah ... mungkin tidak. Semua itu hanya terlihat dari mata Sahara. Jangan lupakan rambut tipis di tengah dagunya, persis di bawah bibir. Bagaimana kalau paduan seksi itu menyentuh pipinya?

Sahara merasa pipinya memanas. Kalahari memang tidak mengetahui bayangan dirinya yang sedang berlarian di benak Sahara, tetapi mengapa mata tajamnya seolah menuduh? Di mana salahnya sekarang?

"Kenapa pipimu memerah begitu, Ra?"

Eaa ... yang sama-sama mikirin si dagu belah, mana suaranya? Komenin yang banyaaak. Biar saia cmungud ngetiknya💃💃

Love, Rain❤

Masih Ada Edelweis yang LainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang