🍁 13. Dobel Gurun 🍁

4.3K 1K 190
                                    

Malam, temans. Aku penuhin janji, loh, update-nya. Hayuk, merapat dan gak pake lama, kuyy ....

Sahara baru saja menerima makan siangnya di sebuah rumah makan. Lokasinya ada di samping rumah sakit. Tempat itu biasa dikunjungi para nakes. Selama makan di sini, dia hanya bertemu dengan sesama karyawan. Bedanya, rekan sejawatnya datang dengan teman, sedangkan ia selalu sendirian. Tidak masalah baginya, justru itu lebih baik karena tak harus melakukan percakapan basa-basi atau membicarakan sesuatu yang tidak penting.

Menu pilihan Sahara adalah sop dan ayam goreng serta sedikit sambal. Saat setengah makanannya habis dia mengingat makanan yang sama di rumah orang tuanya. Menu buatan mamanya tak pernah gagal membangkitkan selera makan. Perpaduan bumbunya pas dengan rempah-rempah yang memanjakan lidah.

"Makanmu sedikit sekali, Sa. Memangnya masakan Mama nggak enak?" tanya Tita saat melihat porsi nasi Sahara yang tidak banyak.

"Bukan nggak enak, Ma. Sahara sengaja makan nasi sedikit karena pengin makan sop saja setelah yang ini habis."

"Jangan sampai kamu tidak kenyang. Papa tidak suka kalau anaknya kurus karena kurang makan." Restu menimpali seraya mengambil sepotong ayam goreng dan saus pedas manis botolan.

"Lucia juga, banyakin makannya. Habis dua piring juga tidak akan membuat badanmu gemuk, 'kan?" Tita menambahkan sesendok nasi ke piring keponakannya. Senyumnya merekah melihat tidak ada penolakan yang terdengar.

"Sahara, itu punya Papa." Restu memperingatkan saat putrinya mengambil potongan ayam terakhir di piring. Bukannya mengembalikan, Sahara langsung menggigit dan mengunyah pelan. Senyum lebarnya tersungging ke arah Restu setelah gigitan pertama berhasil ditelan.

"Punya Sahara, Papa. Siapa cepat, dia dapat. Begitu, 'kan?"

Sahara tersenyum sendiri mengingat hal itu. Dalam proses merajut impian masa depannya, tidak pernah ada rencana untuk pergi dari rumah. Namun, apa yang didapat tetap dia syukuri. Sang pemilik hidup dan mati sudah menjauhkannya dari rasa sakit bertubi. Tak mengapa meski harus pergi. Mungkin, ia akan mendapatkan sesuatu yang lebih baik. Bukankah Tuhan memberikan apa yang dibutuhkan umatnya, alih-alih yang diinginkannya?

"Selamat siang, Sus. Boleh gabung makan di sini?"

Sahara mendongak dan melihat pria gagah memakai kaus oblong putih, jeans sobek di bagian lutut dengan sepatu berdebu sedang berdiri memegang piring. Dia melihat sekeliling rumah makan yang penuh, lalu kembali menatap si orang tak diundang, lalu mengangguk. Tidak merasa terganggu, ia kembali menikmati makan siang tanpa memedulikan teman semejanya.

"Nama saya Kalahari."

Sahara mendengar ucapan itu, tetapi membatin kalau dia tidak bertanya. Lagi pula, kenapa harus memperkenalkan diri? Memangnya mau apa kalau sudah begitu? Ada-ada saja.

"Namanya siapa, Sus?"

Tatapan Sahara kembali tertuju pada pria di depannya. Kali ini sedikit lebih lama. Dia merasa seperti pernah bertemu dengannya, tetapi kapan dan di mana? Ah, mungkin itu hanya de javu. Lebih baik melanjutkan makannya yang tertunda, tetapi ... mengapa tidak bisa? Rasa-rasanya ia memang pernah melihat laki-laki ini. Apakah saat dalam perjalanan naik kereta? Bukan, teman seperjalanan Sahara adalah pasangan suami istri berbadan segar.

Apakah bertemu di stasiun dan sama-sama menunggu pesanan kendaraan online? Sahara ingat kalau saat itu ada laki-laki yang banyak bicara. Alisnya bertaut mengingat detail yang mendadak menghampiri ingatan. Pria yang menunggu kendaraan online itu tidak setegap ini.

"Suster melamun?"

Sahara memutar bola matanya malas. "Maaf, saya sedang menikmati makan siang."

"Saya hanya tanya nama Anda, Sus. Karena sedang memakai jaket, jadi saya tidak kelihatan name tag-nya."

Pria yang mengaku bernama Kalahari ini benar-benar tahu cara menyampaikan keinginannya. Kalau seperti ini keadaannya, jelas Sahara tak bisa mengelak. Sambil menyuap makanan pun, sesekali lirikannya tertuju pada dirinya seolah menunggu jawaban.

"Sahara."

"Wow," komentar Kalahari. "Jadi, kita adalah dobel gurun? Bagaimana kalau kita menumbuhkan kembang-kembang di atasnya?"

Sok romantis, pikir Sahara. Mau menumbuhkan kembang-kembang, memangnya punya kuasa apa Kalahari sampai bisa melakukan hal yang mutlak bukan kuasa manusia. Kalaupun merasa tidak suka, Sahara masih bisa menyembunyikannya dengan baik. Pria yang tiba-tiba punya gurauan tidak jelas ini, tak akan dia sambut niat baiknya. Tidak ada waktu baginya untuk bersenang-senang atau melayani guyonan sinting yang tak ada gunanya.

Lagi pula, demi apa Kalahari jadi sok kenal sok dekat. Bertemu saja hanya sekali, itu pun tidak sengaja. Menaruh minat atau memberikan sinyal-sinyal bahagia saja tidak Sahara lakukan. Jadi, bagaimana bisa tukang bangunan yang satu ini terlihat seperti sudah mengenalnya begitu lama?

Sahara menggigit bagian dalam bibirnya. Mengingatkan diri bahwa dia sudah berpikir terlalu jauh. Belum tentu Kalahari memikirkan hal yang sama dengan dirinya, bukan? Asumsinya menguar terlalu cepat dan itu tidak baik untuk ketenangan pikiran.

"Suster?"

Sahara hanya kembali menatap Kalahari. Sekilas, sebelum kembali fokus ke piringnya. Satu suapan terakhir masuk ke mulutnya dan selesai. Dia meletakkan sendok dan garpu, lalu meneguk sari jeruk dingin miliknya. Segar dan rasa asamnya pas.

"Ya?"

"Suster tidak mendengar ucapan saya?" Kalahari menaikkan sebelah alis dan memiringkan kepala ke kanan. Tubuhnya bersandar dan terlihat sangat santai.

Sahara mengamati Kalahari. Kali ini matanya memindai sosok itu dengan saksama. Alisnya lebat, menaungi sepasang mata tajam yang sorot ramahnya tak pernah pergi. Hidungnya mancung, ada belahan di dagunya dan cambang yang sepertinya menjadi daya tarik tersendiri. Kaus putihnya terlihat cemerlang meski ada bercak kotor di beberapa tempat. Tanpa menyentuh pun dia tahu kalau itu jenis yang kualitasnya bagus. Bahkan topi yang dikenakan terbalik itu pun malah menambah penampilannya menjadi sangat pria.

Sahara menautkan alis. Mengapa dia jadi merinci apa yang ada di wajah Kalahari? Benar-benar seperti bukan dirinya. Meskipun begitu, ia tetap enggan untuk berbicara. Namun, pria di depannya ini sepertinya juga bukan tipe pria yang pantang menyerah. Mungkin ... ia hanya bisa menerka-nerka dari bagaimana cara pekerja kasar ini masih terus bertanya, padahal tidak mendapat jawaban memuaskan.

"Ucapan yang mana?"

"Sahara dan Kalahari. Sama-sama gurun. Bagaimana kalau kita menumbuhkan kembang-kembang di atasnya?"

Sahara berusaha mengontrol dirinya supaya tidak misuh-misuh. Ucapan itu lagi, sebenarnya pria ini punya tujuan apa? Sekadar basa-basi karena kebetulan mereka makan dalam satu meja, atau punya niat lain yang dia tidak tahu arahnya.

"Menumbuhkan kembang-kembang di gurun itu mustahil, kecuali ada oase di sana."

"Itulah, Suster. Saya bisa memikirkan kemungkinan untuk membuat sebuah mata air ...."

Sahara tidak begitu mendengar apa yang diocehkan Kalahari. Baginya, semua hanya ucapan orang sinting yang sedang mencari topik pembicaraan. Dia justru memperhatikan hal lain. Kalahari menyelipkan sebatang rokok di bibirnya. Benar-benar sial! Apakah orang ini akan menyalakan rokok di depannya? Lihat saja kalau itu memang benar-benar terjadi, ia akan mengumpat tanpa rasa sungkan.

Namun, dibalik segala hal yang tengah berkecamuk dalam pikiran, mata Sahara justru tertuju pada bibir Kalahari. Tidak tampak seperti seorang perokok, tetapi kenyataan berkata sebaliknya. Sebelum kewarasannya menghilang, meninggalkan rumah makan tentu lebih baik. Dia bisa menghabiskan sisa waktu istirahatnya di ruang perawat. Siapa tahu bisa tidur sejenak dan bebas tanpa gangguan dari makhluk tidak jelas ini.

Sahara bangkit dan melangkah menuju pintu keluar. Saat melewati Kalahari, ada aroma musk yang membuai penciumannya. Dia tak ingin menoleh, tetapi wangi itu sangat memikat. Tidak, pikirannya berkata bahwa meninggalkan rumah makan itu adalah langkah terbaik.

Eaa ... Sahara terbuai. 300☆ lagi, ya, buat next chapter. Komenin yang banyak, biar saia cmungud ngetiknya. Aku padamu pokok e, temans. See yaah ....

Love, Rain

Masih Ada Edelweis yang LainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang