Malam, temans. Yang Sahara, yang Sahara. Hayuk kumpul🥰
Apa yang Sahara syukuri di tengah kehidupan yang porak-poranda adalah turunnya SK CPNS miliknya. Seperti mendapatkan air di tengah gurun pasir, kata syukur pun terucap berulang-ulang seperti merapal mantra. Setidaknya apa yang dia perjuangkan secara diam-diam telah membuahkan hasil dan kali ini tak akan ada siapa pun yang akan merebutnya.
Setelah mendapatkan SK, Sahara menemui Singgih di ruangannya. Pria paruh baya itu mendengarkan semua kalimat dengan saksama perihal pengunduran dirinya yang secara tiba-tiba. Tanpa diduga, atasan bijak di rumah sakit tempatnya bekerja menyetujui dengan senyum lebar. Bahkan tak ada ekspresi keberatan di wajahnya. Meskipun lega, dia tetap merasa sedikit tidak enak
"Jangan merasa tidak enak begitu, Sahara. Saya memepermudah jalanmu untuk meraih masa depan yang lebih baik."
Singgih, pemilik rumah sakit yang juga teman papa Sahara menyetujui pengunduran dirinya yang mendadak. Awalnya, Sahara memang hanya ingin mencoba peruntungan dengan mengikuti tes CPNS. Siapa sangka keberuntungan memihaknya? Yang penting adalah menyelamatkan hati dan masa depan, masalah tentang orang tuanya bisa diurus belakangan.
"Saya merasa tidak enak resign mendadak begini, Om," kata Sahara.
"Kamu ini seperti sama orang lain saja. Sahara, dengar! Saya suka dengan dedikasimu sebagai perawat. Meskipun kamu putri Restu, saya tidak peduli. Bagi saya prestasi dan aksi itu lebih menjanjikan daripada koneksi."
"Maksud Om apa?"
"Jika ternyata kamu tidak merasa baik bekerja di tempat barumu, kembali ke sini dan temui saya. Akan saya kembalikan pekerjaanmu."
"Terima kasih, Om. Saya merasa sangat berterima kasih."
"Kalau kamu merasa berterima kasih, bekerjalah yang baik. Ukir prestasimu dan sukseslah di tempat baru."
Sahara merasa lehernya tercekik. Restu yang menjadi papanya saja tak pernah berkata begitu padanya. Kenapa Singgih yang justru orang lain malah memberi semua kebaikan yang dia butuhkan? Hatinya tersentuh, ternyata masih ada orang yang peduli padanya.
"Sahara akan berusaha, Om."
"Oh, iya, Saya ada rumah di dekat rumah sakit tempat dinasmu. Kamu tinggal saja di sana. Sekalian jagain anak kost. Tantemu ingin ikut kemari. Tidak betah itu jauhan sama saya lama-lama walaupun masih pulang seminggu sekali."
Mata Sahara mengerjap. Dia merasa tidak yakin dengan pendengarannya. Apakah itu nyata atau tidak? Dia belum berpikir tentang tempat tinggal, tetapi malah mendapatkan tawaran yang sayang jika ditolak.
"Om serius?"
"Tentu. Kamu uruslah semua yang dibutuhkan. Pamit dengan teman-temanmu dan keluar ketika sudah mau berangkat. Jadi, tidak ada hari nganggur buatmu. Saya bayar semuanya."
"Bukan masalah bayarnya, Om. Saya ha-"
"Untukmu, berada di rumah sakit tentu lebih baik dari pada di rumah, bukan?"
"Maksud Om a-pa?"
"Sahara, saya tidak buta. Yang jelas, apa pun yang terjadi, kamu bisa anggap saya seperti orang tuamu sendiri. Oh, iya, saya menolak keinginan papamu yang mengajukan Lucia untuk bekerja di sini. Sekarang dia sedang marah sama saya, tapi tidak masalah. Dia harus tahu bahwa tidak setiap keinginan bisa didapatkan hanya karena pertemanan."
Singgih menolak keinginan Restu. Mimpi apa Sahara bisa mendengarkan kalimat itu. Jadi, itu alasan kenapa sepupunya masih tetap di rumah setelah mengundurkan diri dari tempat lamanya bekerja. Tak seorang pun menceritakan ini pada Sahara. Dalam hati dia tersenyum, akhirnya ada yang bisa membuat Lucia merasa sedikit kesulitan. Baguslah, setidaknya tak semua hal berjalan mulus untuk anak kesayangan Tita. Namun, di sisi lain hatinya, ada juga merasa iba. Lucia pernah bercerita tentang keinginannya untuk bekerja di bagian keuangan sebuah instansi.
Pantas saja Restu uring-uringan beberapa hari ini. Sahara yang enggan berkomentar memilih diam, meminimalkan interaksi, dan masuk kamar segera setelah makan malam usai. Ucapan Singgih menjelaskan segalanya. Sekarang, sisi jahat dirinya ingin melihat di mana papanya tersayang akan meletakkan Lucia supaya bisa menghasilkan uang.
"Om ... ini ...."
"Perlu kamu tahu. Saya tidak suka koneksi untuk urusan kualitas karyawan. Berlaku untuk semua nakes dan staf yang saya miliki. Kamu juga ujian, 'kan, supaya bisa bekerja di sini meski saya tahu kamu anak Restu."
Sahara baru tahu sisi lain bos besar hari ini. Sebelumnya, dia hanya menganggap bahwa Singgih adalah atasan yang baik serta disiplin. Siapa sangka kalau pria tegas ini justru memberikan kemudahan untuknya. Walaupun bukan mempermudah segalanya, tetapi sudah lebih dari cukup baginya.
"Nanti kamu langsung saja ke rumah. Om akan bilang ke tantemu supaya menyiapkan kamar. Saya harap kamu tidak akan sungkan."
Sahara mengangguk paham. "Ya, Om. Sahara nggak tahu harus dengan apa mem-"
"Cukup dengan membuat prestasi yang baik. Di mana pun kamu bekerja, akan sama saja. Om mau kamu tidak menutup diri dalam bergaul. Tidak bisa bersatu dengan yang di sini, Tuhan sedang mempersiapkan yang lebih baik untukmu. Kamu mengerti, Sahara?"
"Ya, Om."
***
"Sahara ... penempatan di mana?" Yunita tiba-tiba muncul menghampiri Sahara yang baru saja keluar dari ruang kerja Singgih.
"Apa, sih? Ngagetin. Lagian ngapain di sini?" Bukannya menjawab pertanyaan Yunita, Sahara malah balik bertanya. Dia tahu kalau temannya itu juga pasti akan menemui Singgih dan mengundurkan diri. Yunita juga lulus tes CPNS, hanya saja dia belum bertanya tentang penempatannya.
"Ayolah, Sa. Aku penasaran di mana kamu ditempatkan. Aku nggak bisa tidur mikir kamu bakalan kerja di tempat lain."
"Surabaya, mulai minggu depan."
"Ya ampun!" teriak Yunita seraya memeluk Sahara erat. "Tak kusangka kita akan bekerja di sana bersama. Aku pulang kampung ini namanya, Sa. Tinggallah di rumahku! Ada paviliun kosong yang bisa kamu gunakan."
"Biasa saja, Net. Bisa kehabisan napas kalau kamu meluknya kencang begini."
Entah suatu kebetulan atau memang takdirnya begitu. Sahara akan bekerja di Surabaya dengan sahabat baiknya, itu pun lengkap dengan tawaran tempat tinggal tanpa harus pusing mencari kontrakan atau kamar kost. Hal ini membuat Sahara mengingat ucapan Singgih.
"Nggak bisa tinggal di rumahmu. Aku tinggal di rumah Pak Singgih."
"Gayamu gak mau digratisin malah pilih tinggal di rumah Pak Singgih. Sebel aku, Sa ... what? Pak Singgih owner rumah sakit?" Suara Yunita yang tiba-tiba melengking membuat Sahara menutup telinga.
Sahara melangkah ke arah pintu keluar rumah sakit. Untuk saat ini dia merasa keperluannya sudah lengkap. Tinggal mengatakan pada orang tuanya perihal kepindahan yang sebenarnya dia tahu kalau mereka pasti keberatan. Selanjutnya apa? Sahara tidak mungkin tinggal dan terus-menerus menambah kekecewaan.
"Aku hanya terlalu bahagia buatmu. Kamu, 'kan, tahu kalau bagiku kamu itu lebih dari sekadar teman."
Sahara terharu. Lucia saja tak sebaik itu padanya. Namun, inilah hidup yang terkadang berjalan tak sesuai dengan kemauan. Semuanya bisa terjadi begitu saja. Tanpa rencana dan tak jarang terjadi dengan begitu tiba-tiba. Hidup Sahara pun juga seperti itu.
"Mau pulang bersama?"
Sahara langsung melihat Dirga berdiri di samping mobilnya. Menatap padanya dengan sorot mata yang sejujurnya masih sama dengan saat sebelum pernikahannya. Tatapan yang tidak pernah gagal membuat jantung Sahara berdebar tak biasa.
Aihh, siapa yang bahagia buat Sahara atau masih ngamuk sama Dirga. Komenin yakk, yang banyak💃
Love, Rain❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Masih Ada Edelweis yang Lain
RomansaCover by @DedyMR Ketika Dirga menikahi Lucia, kebahagiaan Sahara sirna. Namun, kenyataan bahwa Lucia tak bisa memiliki anak, membuat perempuan itu meminta Sahara menjadi istri kedua suaminya. Akankah Sahara memenuhi permintaan sepupunya, atau menca...