Malem, gengs. Yang menunggu Sahara langsung merapat😁
Sahara baru saja melirik jam di dinding. Pantas saja perutnya keroncongan, waktu sudah menunjukkan pukul satu dan jam istirahat baru saja berakhir. IGD sedang ramai, separuh perawat beristirahat duluan karena Sahara masih menangani pasien.
Baru saja sahara melihat temannya di kejauhan. Napas lega yang baru saja ditariknya harus dia tahan lagi. Satu pasien masuk IGD dengan tetesan darah di lengan kirinya, dipapah oleh seorang pria tinggi dengan penampilan yang sama sekali tidak rapi. Desta, residen emergensi medis langsung mengarahkan ke brankar. Tanpa diperintah, Sahara langsung mendekat dan menggunting lengan baju pasiennya di bagian bahu. Saat itulah, luka berupa sayatan sepanjang kurang lebih sepuluh sentimeter terlihat.
Desta langsung memakai handscoen dan mengambil kasa setelahnya. Dia tekan perdarahan di lengan si pasien tanpa peduli keluh kesakitan yang langsung terdengar. Sang residen emergensi medis hanya melirik Sahara sambil berbisik "hecting set" yang seketika dimengerti tanpa perintah dua kali.
Begitu Sahara kembali dengan peralatan yang dibutuhkan, pintu IGD membuka dengan keras dari arah luar. Sebuah brankar didorong masuk dengan pasien seorang perempuan yang mengenakan masker oksigen. Desta berlalu dari samping Sahara dan mendekati pasien baru yang kondisinya lebih butuh pertolongan.
"Aku kesakitan, dokternya malah pergi," keluh si pasien.
"Saya bisa menangani, Pak. Siapa namanya?" Meski lapar berat, nyatanya Sahara tetap profesional begitu berhadapan dengan pasien.
Dengan santai Sahara membersihkan luka pasiennya dengan NaCl 0,9. Baru saja dia menepuk halus, terdengar lagi keluh kesakitan dari pasien. Beberapa kali terjadi begitu, ia masih tetap bekerja dengan tenang. Ketika tangannya memegang sebuah suntikan, si pasien berdiri dan siap berjalan pergi.
"Apa yang Anda lakukan, Pak?" tanya Sahara. "Saya belum menjahit luka Anda."
"Saya takut jarum suntik, Sus. Saya tidak mau disuntik."
Sahara melongo mendengar ucapan pasiennya. Secara otomatis, tatapannya memindai penampilan si pasien yang sedang ditahan lengannya oleh teman yang mengantar. Berbadan tegap dengan tinggi rata-rata pria dewasa. Berusia sekitar pertengahan tiga puluh dan terlihat sehat.
"Bisa diturunkan jarumnya, Sus?" Teman si pasien angkat bicara.
"Bagaimana saya bekerja kalau harus menurunkan benda ini?"
"Bisakah rawat jalan saja?" tawar pasien Sahara.
"Bisa setelah dijahit, Pak. Silakan duduk kembali. Apakah Anda merasa pusing, berkunang-kunang atau—"
"Apakah benar-benar tidak bisa diusahakan untuk langsung rawat jalan saja tanpa jahitan?" sela pasien Sahara.
"Tidak bisa, Pak. Luka Anda bahkan masih terus mengeluarkan darah."
"Duduklah, Den," perintah teman si pasien. "Biarkan lukamu diberi perawatan seperti yang seharusnya."
Sahara mengakui, suara tegas teman si pasien mampu membuat pasiennya yang berbadan besar itu kembali duduk di brankar. Sahara kembali menanyakan nama, kali ini pria itu menyebutkan namanya. Dia juga menanyakan dua pertanyaan lagi dan dijawab dengan baik. Sahara memegang lengan Deni lembut dan mengarahkan suntikan ke sekitar lukanya.
"Sakit!" teriak Deni menatap garang pada Sahara.
Sahara sedikit terkejut, tetapi segera kembali pada ketenangannya. Setelah memberikan suntikan, ia mengambil jarum dan memasang benang. Gerak tangannya begitu cepat, sebentar saja dia sudah kembali menatap luka di lengan Deni.
Deni sudah turun kembali dan siap pergi setelah melihat jarum di tangan Sahara. Mendadak dia merasa jengkel. Teman Deni hanya menjadi penonton, alih-alih menenangkan. Apa fungsinya mengantar ke sini kalau hanya berdiri seperti manekin?
"Pak, bisakah bantu menenangkan teman Anda? Saya kesulitan melakukan penanganan sementara darah terus keluar." Tanpa merasa sungkan, Sahara berkata lembut, tetapi tegas.
"Maaf, Sus. Saya juga agak ngeri melihat semua ini."
"Kalau begitu jangan dilihat, Pak. Tolong diajak ngobrol saja!"
"Den, ceritakan kronologi bagaimana kamu bisa mengalami luka seperti ini!"
Trik Sahara menangani pasien merepotkan ini terbukti berhasil. Dia bisa menjahit luka pasien dengan ketenangan yang sudah menjadi ciri khas-nya saat bekerja. Pendengarannya menangkap setiap kata tentang kecelakaan kerja di lokasi pembangunan rumah sakit. Dia tahu kalau rumah sakit ini sedang memperluas area dengan menambahkan beberapa bangunan serta fasilitas yang tidak dia ketahui detilnya.
Sahara tidak menghitung berapa banyak jahitan yang telah dia buat. Yang jelas, orang akan mengatakan kalau dia selesai menyulam jika melihat benang berjejer di lengan pasiennya. Sahara meletakkan jarum dan kembali mengambil suntikan.
"Masih belum selesai?" Deni kembali protes.
"Heran, banyak sekali prosesnya." Teman Deni pun juga berkomentar.
"Saya hanya melakukan sesuai prosedur, Pak," tegas Sahara. Tak akan dia biarkan laki-laki yang menurutnya banyak bicara ini terus mengomel. Lebih cepat pekerjaannya selesai, lebih cepat pula duo menyebalkan ini pergi.
"Teman saya itu takut dengan jarum, ini kenapa prosesnya bisa lama dan menyakitkan?"
"Pak ...." Sahara melirik si pasien, kejengkelannya memuncak.
"Bisakah menyudahi pertolongan ini?
"Pak, saya harus menambahkan satu suntikan anti tetanus untuk teman Anda sesuai dengan yang seharusnya. Lagi pula, dari mana Anda tahu kalau prosesnya menyakitkan? Apakah teman Anda berteriak?"
"Memang tidak, tapi namanya orang dijahit hidup-hidup ya jelas sakit, Sus."
Heran, tadinya Sahara pikir pasiennya tenang karena diajak ngobrol. Nyatanya, keduanya sama-sama menjengkelkan. "Pak, teman Anda ini sudah mendapat bius untuk penanganannya. Jadi, Anda tidak perlu khawatir dia akan kesakitan. Jadi mau saya tambahkan satu atau dua ratus suntikan juga dia masih tetap tidak akan merasa apa-apa." Sahara memberi satu suntikan yang diselesaikan dengan cepat. Setelah itu, ia menutup jahitan dan membawa semua peralatannya pergi.
Usai membuang peralatan sekali pakai beserta kain kotor ke tempat sampah khusus dan membersihkan peralatan serta mengembalikannya ke tempat semula, Sahara masuk ruang istirahat. Bisa duduk adalah sebuah anugerah setelah IGD kebanjiran pasien. Dia melirik ke dinding, dua lewat lima belas. Mau makan sekarang, tanggung, tidak makan jelas lapar. Memaksa makan, dia akan selesai di jam pulang. Pulang sekarang juga tidak mungkin meski secara perhitungan ini bisa dikategorikan sebagai waktu istirahatnya.
"Suster Sahara, kok kelihatan lesu?" Desta masuk dengan segelas air mineral yang tersisa separuh.
"Lapar, Dok."
"Pergilah makan! Saya tidak mau ada perawat pingsan."
"Saya tidak akan pingsan hanya karena tidak makan siang, Dok. Saya permisi."
"Tunggu, Suster!" cegah Desta, "Ada hal yang ingin saya sampaikan. Bisakah kita pulang bersama?"
"Rumah saya dekat, Dok. Cukup dengan berjalan saja. Jadi, tidak mungkin, 'kan, kalau mau pulang bareng Dokter?"
Sahara bergegas kembali ke IGD. Entah mengapa, dia tidak suka untuk berdekatan dengan siapa pun. Setidaknya untuk saat ini. Dia juga tidak ingin beramah tamah dengan dokter mana pun. Apa yang dia inginkan sekarang adalah fokus pada pekerjaan. Dia datang untuk bekerja, bukan menjalin kedekatan dengan pria.
Orang boleh menilainya sombong atau apa saja, terserah. Sahara hanya memikirkan yang terbaik untuk kehidupannya. Hal lainnya bisa menyusul nanti, setelah dia merasa baik dan bisa berdamai dengan keadaan.
Eaa ... yang nakes pasti tahu rasa jengkel kea Sahara. Teman semua, 'kan, luar biasah. Jadi ...
300☆ buat next chapter boleh?🤟🤟🤟🤟🤟Love, Rain❤
![](https://img.wattpad.com/cover/296001167-288-k489594.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Masih Ada Edelweis yang Lain
RomanceCover by @DedyMR Ketika Dirga menikahi Lucia, kebahagiaan Sahara sirna. Namun, kenyataan bahwa Lucia tak bisa memiliki anak, membuat perempuan itu meminta Sahara menjadi istri kedua suaminya. Akankah Sahara memenuhi permintaan sepupunya, atau menca...