🍁 7. Memulai 🍁

4.2K 991 92
                                    

Malam, temans. Kutemani malming-mu yaaa. 🥰

Beberapa hari ini, Sahara merenung dan mendapati kenyataan bahwa dirinya telah banyak berubah. Mengingat semua yang terjadi, tentu bukan hal yang mudah baginya. Segala yang ada di sekelilingnya merupakan pemicu dari emosi yang sering muncul tak terkendali.

Sejujurnya Sahara juga merasa tidak nyaman dengan dirinya. Bagaimana dia terus merasa bahwa dunia ini tidak adil. Kesakitan demi kesakitan yang terus menerus ia rasakan, sementara kenyataan tidak bisa diganggu gugat. Sahara ingin menjalani hidup seperti semula. Bukan ... bukan tentang Dirga yang ada di dalamnya, tetapi lebih kepada ketenangan hidupnya sendiri.

Sahara lelah dengan semua kejadian yang terus memicu amarahnya. Dia juga lelah membersihkan kamar yang berantakan akibat benda-benda yang berhamburan saat kesadaran memburamkan akal sehat. Apa yang ada dalam benaknya hanya bagaimana melampiaskan kemarahan itu supaya hatinya menjadi lega.

"Saya mengerti kalau Mbak Sahara berada dalam kondisi ini. Depresi, apatis, dan krisis kepercayaan. Semua itu normal."

Sahara mengangguk lemah. Dia berada di depan Savana Megananda, salah seorang psikolog yang bekerja di rumah sakit tempatnya bertugas juga. Bukan perjuangan yang mudah baginya untuk sampai di ruangan ini dan menceritakan seluruh masalah yang sedang dihadapi. Bagaimanapun, Sahara enggan disangka gila.

"Saya cantik, kenapa dia pilih menikahi saudara saya padahal ...." Sahara tidak mampu melanjutkan kalimatnya. Ini seperti menelanjangi diri sendiri ketika harus membuka seluruh cerita yang baginya adalah aib. "Saya marah. Semua yang saya punya sudah direnggut secara paksa, bahkan orang tua saya sendiri pun juga turut menambahkan luka yang masih terasa perih."

"Mbak Sahara harus berhenti berpikir seperti itu. Apa yang terjadi ada—"

"Memang enak mengatakan untuk berhenti. Bisakah dibayangkan seandainya ini terjadi sama Mbaknya?"

Mega, begitu psikolog yang menangani Sahara biasa dipanggil, terlihat biasa saja ketika kalimatnya dipotong. Dia juga tetap tenang mendengar pertanyaan Sahara. Ketenangan yang membuatnyaa menjadi tidak enak sendiri. Dia yang memutuskan datang ke tempat ini dan berharap mendapatkan solusi, tetapi kemarahan muncul dan membuatnya malu. Dia merasa dihakimi dan melihat seolah semua orang berdiri di pihak Dirga.

"Baiklah. Mbak Sahara berharap bagaimana sekarang?"

Mendengar pertanyaan yang di telinga Sahara terdengar tenang itu membuatnya menangis. Dia merasa telah datang ke tempat yang salah. Bukan solusi yang didapatkan karena kenyataannya, psikolog itu hanya bertanya beberapa kali, lalu kembali diam mendengarkan. Bahkan ketika Sahara menangis pun, sang psikolog tetap bungkam. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya untuk sekadar menghibur atau menenangkannya.

"Ini." Mega mendorong kotak tisu pada Sahara. "Merasa lebih baik?"

"Tak sebaik yang kuinginkan," jawab Sahara.

"Memangnya Mbak Sahara ingin apa?" tanya Mega santai. Dia seolah lupa pada kenyataan bahwa kliennya baru saja menangis hebat karena pertanyaan yang sama.

"Hanya ingin dicintai. Apa saya harus merebut kembali Dirga agar berpaling dari istrinya?"

Tak disangka, Mega justru tersenyum mendengar ucapan Sahara. "Semua orang memang ingin dicintai, Mbak Sahara. Saya mengerti, tetapi bagaimana kalau kita mengadakan evaluasi dulu?"

"Evaluasi?" Sahara mulai tertarik.

"Ya. Evaluasi. Bagaimana kalau Mbak Sahara ceritakan pada saya, apa kelebihan dan kekurangan Mbak Sahara?"

Sahara terdiam. Dia memikirkan apa kekurangan dan kelebihannya. Kemudian, dalam benaknya mulai mereka-reka apa hubungan antara kelebihan dan kekurangannya dengan nasib. Tatap matanya memindai Mega sambil memiringkan kepala ke kanan. Wajah Mega terlihat tenang, begitu yang ia tangkap dari apa yang terlihat. Ketenangan yang sudah pasti menunggu kelanjutan ceritanya

"Apa hubungannya kelebihan dan kekurangan saya? Apa ini akan menjadi semacam penghinaan?"

"Itu." Mega menunjuk Sahara dengan senyum simpul. "Cobalah untuk berpikir positif. Mbak Sahara bisa mencari kesibukan baru untuk mengalihkan pikiran dari semua hal yang sudah menyakiti hati."

Sahara terdiam, mungkin benar apa yang dikatakan Mega. Hatinya bergolak antara membenarkan atau menyanggah. Sampai di situ, Sahara tetap merasa bingung. Semua memang menyakitkan, tetapi apa gunanya mencari kesibukan baru seolah dia tak cukup sibuk selama ini?

"Bisakah kita membicarakan masalah ini lain kali?" tawar Sahara. "Sesi berikutnya, mungkin ...."

"Tentu. Mbak Sahara bisa bercerita pada pertemuan berikutnya.

Sahara meninggalkan poli kesehatan jiwa. Langkahnya sudah pasti menuju parkiran supaya bisa lekas pulang. Ada beberapa rekannya menyapa yang ditanggapi dengan senyum tanpa kata. Dia hanya ingin sampai di kamar secepat mungkin.

Beruntung lalu lintas sore itu tidak terlalu ramai. Sahara tiba di rumah dalam waktu tiga puluh menit. Keluar dari mobil, diaa menaiki tiga anak tangga untuk mencapai teras. Ada Restu dan Tita yang sedang duduk sambil menikmati secangkir teh di sore hari. Kebiasaaan yang tidak pernah mereka tinggalkan sejak Sahara masih kecil. Setidaknya masih ada hal yang masih belum berubah, pikirnya.

"Dari mana, Sa?" tanya Tita ketika Sahara hampir membuka pintu. "Seingat Mama kamu libur hari ini."

Sahara urung membuka pintu. Dia mendekati orang tuanya dan duduk di salah satu kursi. "Dari rumah sakit. Ada sedikit keperluan," jawabnya sambil meraih segelas teh kemasan.

"Di hari libur?" Tita masih tidak lega dengan jawaban Sahara.

"Begitulah." Sahara meletakkan gelas kosong di meja. "Mama ada perlu dengan Sahara?"

"Dikatakan perlu ... ya perlu. Dikatakan tidak, ya tidak juga."

Sahara bersandar di kursi. Tak lama kemudian, kucingnya datang lalu naik ke pangkuan. Merasa bahwa si pemberi kucing adalah orang yang telah mengkhianati cintanya, ia meraih kucing itu dan meletakkannya di lantai. Menggunakan kakinya, dia membuat kucing itu menjauh supaya tidak mendekat lagi padanya.

"Ada perlu apa, Ma? Biasanya Mama juga pasti langsung telpon atau kirim pesan kalau butuh sesuatu."

"Mama sengaja menunggumu dan ingin berbicara secara langsung."

Sahara melirik mamanya. Tak biasanya wanita yang melahirkannya itu tampak begitu serius. Dia jadi bertanya-tanya. Apa gerangan yang membuat beliau menjadi seperti itu. Sikap mamanya membuat Sahara berpikir bahwa memang ada hal serius yang perlu dibahas. Lebih tepatnya adalah hal yang berhubungan dengan dirinya serta tak ingin ada penolakan sekecil apa pun.

"Jadi, apa yang bisa Sahara lakukan untuk Mama?"

"Itu tempat praktik untuk Dirga sudah jadi." Tita tidak melanjutkan ucapannya. Ada keraguan yang bisa dilihat jelas oleh Sahara di wajah mamanya yang masih terlihat sangat cantik.

"Terus?"

"Dia mulai praktik minggu depan," sahut Restu. "Papa harap kamu bisa bantu-bantu dia karena Lucia mengatakan kalau suaminya tidak praktik lagi di apotek dekat rumahnya. Jadi secara otomatis dia memindahkan semua pasiennya kemari."

Sahara yang semula ingin berpikir positif, mau tak mau hatinya kembali memberontak. Sikap orang tuanya yang lebih mengutamakan kepentingan Dirga jelas merupakan hal yang tidak bisa diaa toleransi. Sebagai manusia biasa, sudah sewajarnya merasa tidak terima dengan perlakuan orang tua yang baginya sudah tidak menganggap keberadaannya selain demi pelengkap kebahagiaan Lucia.

"Dirga itu uangnya banyak. Rekrut saja satu perawat untuk bekerja dengannya. Sahara sedang tidak ingin mencari uang tambahan."

"Kamu menolak pekerjaan itu?" Suara Restu sedikit meninggi.

Sahara bangkit. "Ya, Pa. Kalau memang tidak mau membayar orang untuk membantu, Dirga bisa minta Lucia untuk jaga. Dia bisa belajar. Maaf, mengecewakan Papa."

Yang menunggu Sahara melawan. Itu sudah mulai. Semoga senyum ya bacanya💃

Love, Rain❤

Masih Ada Edelweis yang LainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang