🍁 44. Diselamatkan 🍁

9K 681 162
                                    

Malem, temans. Haaa ... akhirnya Sahara update dong. Uhm, btw yang suka baca karyaku pasti tahu ya kalau masuk PO pasti kuhapus sebagian. Gak pake bilang pun pasti apal dong yaa. Itulah kenapa aku padamu. Eaakk💃

Setelah Lucia tertidur karena pengaruh obat, semua orang duduk di luar kamar. Ada Restu dan Tita yang duduk berdampingan. Dirga beserta orang tuanya di satu kursi panjang lainnya. Sedangkan Sahara duduk di lantai bersama budhe dan pakdhenya.

Suasana hening, semua orang saling memandang bergantian. Dirga dan orang tuanya terlihat serius. Orang tua Lucia yang menahan amarah sedangkan orang tua Sahara terlihat lebih tenang.

"Jadi, apa yang menjadi dasar bahwa Dirga harus menikah dengan keponakanku yang ayu ini?" tanya Budhe Sahara ketus. "Bukankah secara tidak langsung itu memosisikannya sebagai perusak rumah tangga saudaranya?"

"Tentu tidak," jawab Retno seraya memasukkan ponsel ke tas. "Awalnya, Dirga itu justru mencintai Sahara. Anakmu saja yang sedikit ... tahu maksud saya, 'kan?"

"Jaga omonganmu, Mbakyu!" Geram Lastri, jelas tak terima putrinya direndahkan. "Mau bagaimanapun, anakku sudah jadi mantumu."

"Justru karena dia mantuku dan ternyata tak akan sanggup memberikan keturunan maka kami meminang Sahara tanpa menyingkirkannya."

Geram sekali mendengar kata "menyingkirkan" dalam kalimat Retno. Itu seolah-olah mengatakan bahwa ketika menantunya tak sanggup memberikan keturunan maka keberadaannya dalam keluarga mereka sudah tidak layak. Apa pun yang pernah terjadi, Sahara tidak pernah ingin rumah tangga sepupunya jadi seburuk ini.

Sahara menganggap keinginan orang tua Dirga jelas tidak baik. Waktu itu, mereka meminang dengan hati senang dan begitu bahagia dengan pernikahan yang diselenggarakan. Kini, ketika pernikahan diuji, mereka seolah lupa bahwa Lucia adalah menantu yang begitu mereka banggakan.

Budhe Lastri mengangguk. "Kurasa itu keputusan yang adil. Bagaimana menurutmu, Pak?"

Hening, hanya ada helaan napas halus di ruangan itu. Sahara mulai melihat gelagat buruk dari budhe dan pakdhenya. Mau menentang perihal lamaran pun rasanya percuma. Jelas kelangsungan pernikahan putri mereka harus dipikirkan.

"Selama Lucia sendiri menyetujui, Bapak tidak apa-apa. Sebagai istri muda, Sahara jelas akan bertindak lebih baik mengingat istri pertama suaminya adalah saudara sendiri."

Dasar orang tua tak berperasaan. Diletakkan di mana hatinya ketika harga diri anaknya direndahkan. Mungkin bagi orang lain ini terlihat biasa, tetapi bagi Sahara merupakan suatu penghinaan.

"Jadi, tidak ada masalah lagi, bukan? Kapan pernikahan bisa dilangsungkan?" desak Retno.

"Tunggu!" Tak tahan untuk diam dan diperlakukan seolah dirinya tidak ada, Sahara angkat bicara. "Memangnya Sahara mana yang mau dijadikan istri muda Dokter Dirga?"

"Sahara," panggil Retno halus. Wanita itu bangkit dan mendekat pada Sahara. Duduk di dekatnya seraya menarik satu tangannya dan meremas lembut. "Tentu saja kamu."

"Kalau Sahara saya, mestinya tanya dulu pendapat saya. Apakah saya setuju, suka, atau bahkan bahagia dengan hal ini? Bukannya berbicara satu sama lain dan menganggap saya seolah tak ada."

Di hadapan keluarga besarnya, Sahara bertekad untuk memperjuangkan hidupnya. Pernikahan bukanlah mainan sehingga orang dengan mudah mempermainkannya. Kalau sebelum ini dia sudah banyak mengalah pada Lucia maka tidak kali ini. Hidupnya adalah miliknya, tak seorang pun berhak untuk ikut campur.

"Nduk, dengarkan dulu ini Budhe bicara." Lastri meraih tangan Sahara yang lain. "Ndak masalah, 'kan, berbagi suami dengan sepupumu?

Ndak masalah? Sahara merasa tidak mengenal Budhe Lastri dengan baik. "Ndak masalah? Budhe sadar dengan ucapan Budhe tidak?"

Masih Ada Edelweis yang LainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang