🍁 2. Menggarami Luka 🍁

5K 1K 166
                                    

Malam temans, aku tepatin janji ney buat apdet lanjutannya. Merapat, kuyy 🥰

Sahara berjalan tempat parkir menuju bangsal anak, tempatnya dinas. Kepalanya tegak, pandangannya lurus menolak tatapan iba dari banyak mata yang berpapasan dengannya. Meskipun tidak mengenal satu per satu karyawan rumah sakit ini, dia tahu kalau kejadian Dirga melamar sepupunya sudah menjadi rahasia umum.

"Kasihan, ya, dipepet terus tiap hari nggak taunya cuma jaga jodoh orang."

"Iya, mana sepupunya sendiri."

"Lagian sepupunya juga aneh, sudah tau dekat sama adeknya, masih diembat juga."

"Yang aneh ya Dokter Dirga, dekat sama siapa ngelamar siapa."

"Nggak laku sepupunya, jadi ambil punya adeknya. Sudah nunut, pagar makan tanaman."

"Kasihan Mbak Sahara."

Kasak-kusuk itu terdengar jelas di telinga Sahara. Orang pasti tahu kalau selama ini dia dan Dirga memang dekat. Di mana ada Dirga, di situ ada Sahara ... kecuali di jam kerja. Mereka akan berada di tempatnya masing-masing dan saling menemui ketika jam istirahat atau pulang tiba

Entah suatu kebetulan atau memang sudah diatur, mereka sering bekerja di shift yang sama. Dirga yang dokter umum, sementara Sahara adalah perawat. Tidak ada celah bagi orang lain untuk mendekati keduanya, hingga kejadian lamaran yang tentu mengejutkan khalayak umum.

Sahara masuk ke ruangan khusus penyimpanan dan meletakkan tasnya di loker. Dia duduk di salah satu kursi, menyisir rambut lalu mengikatnya erat. Setelah itu menggulung rambut panjangnya hingga menyerupai cepolan kecil di belakang kepala. Menutup gulungan itu dengan harnet adalah langkah terakhir yang ia lakukan dengan rambutnya. Setelah melihat wajahnya yang bersih, Sahara memasukkan semua peralatannya dan siap bekerja.

"Tidak usah bergunjing. Apa yang terlihat belum tentu sama dengan apa yang terjadi." Suara Suster Yana bisa didengar oleh Sahara meski jaraknya tidak terlalu dekat.

"Selamat pagi, Suster Yana," sapa Sahara ketika tiba di nurse station. Waktunya pergantian shift, semua perawat siap visit bersama. Hanya ada delapan orang, dua di antaranya masih sibuk memeriksa status pasien.

"Selamat pagi, Suster Sahara. Apa kamu baik-baik saja?"

Sahara mengerti arah pertanyaan Yana. Menolak untuk terlihat begitu menderita, dia justru tersenyum manis. "Saya sehat, Ibu Kepala," sahut Sahara. "Mengapa bertanya begitu?"

"Saya tidak sempat datang ke ulang tahun pernikahan Dokter Restu. Saya dengar kalau Dokter Dirga melamar Mbak Lucia di acara itu. Saya rasa ...."

"Sudah jodohnya Lucia itu, Bu. Lagi pula, saya dan Dokter Dirga tidak sedang menjalin hubungan." Sebenarnya Sahara malas membahas tentang si pengkhianat cinta, tetapi dia selalu merasa harus menyelamatkan harga dirinya.

Ketika visit, Sahara merasa bahagia luar biasa. Kesedihannya seolah terlupakan hanya karena melihat anak-anak yang sudah mulai membaik. Beberapa di antaranya justru sudah asyik di ruang bermain.

"Selamat pagi, Marco. Bagaimana keadaanmu pagi ini?" Sahara menyapa Marco, bocah enam tahun yang sudah dirawat selama tujuh hari karena demam berdarah.

"Aku mau disuntik lagi?" Bukannya menjawab, Marco justru melemparkan pertanyaan pada Sahara.

"Ya, kalau kamu ingin segera masuk sekolah dan cepat-cepat menjadi dokter."

"Baiklah. Suster Sahara yang akan menyuntikku, 'kan? Suapi aku juga, ya, Suster?"

Senyum Sahara mengembang. Marco terlihat senang setelah melihat anggukannya. Bersama tim-nya, Sahara melanjutkan visit. Hampir semua anak yang dirawat menyapa dirinya. Bagi mereka, perawat cantik itu seperti pahlawan yang mampu mengobati dan menyuntik mereka dengan rasa sakit yang minim.

Masih Ada Edelweis yang LainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang