🍁 6. Hampa 🍁

4.1K 939 192
                                    

Malem, temans. Aku lagi baek hati🤧

Sahara pulang tepat waktu di hari Jumat. Dia sempat mengernyit, kenapa ada truk di jalan samping rumahnya. Ada juga beberapa tukang bangunan sedang merobohkan tembok yang menjadi pembatas rumah. Semuanya menjadi sangat berantakan, beberapa anggrek yang dibelinya pun juga sudah tergeletak mengenaskan di bak sampah. Siap diangkut petugas kebersihan besok pagi.

Heran dengan semua kegiatan itu, Sahara parkir di depan rumah karena mobilnya tidak bisa masuk garasi yang saat ini berisi semen dan beberapa material. Tatapannya trenyuh menatap  kolam renangnya yang sudah kering dan separuhnya sudah berisi batu. Bagaimana dia bisa berenang kalau keadaan berantakan begitu. Bahkan pohon mangga yang biasa berbuah lebat di musimnya pun kini telah tumbang.

"Papa, itu maksudnya apa kekacauan di samping rumah?" tanya Sahara begitu melihat Restu sedang mengutak-atik ponsel. Mungkin sedang memeriksa pekerjaan atau e-mail. Entahlah, Sahara tidak pernah bertanya tentang pekerjaan papanya sejak hubungan mereka renggang.

Bukan renggang dalam artian tidak baik. Sejak kesibukan Restu bertambah, waktunya untuk mengobrol dengan Sahara jadi berkurang banyak. Belum lagi praktik pribadinya.

"Oh, itu." Restu menandaskan kopi yang tersisa separuh di gelas. "Mau membuat tempat praktik untuk Dirga."

"Apa?" Sahara jelas terkejut. Pertama pria itu melamar Lucia. Kedua, tinggal di rumah ini setelah menikah. Ketiga, papanya merelakan rumah bagian samping untuk membuat tempat praktik.

“Papa ini keterlaluan!” jerit Sahara. “Kemarin minta tinggal di sini. Sekarang mau bikin tempat praktik. Papa itu berlebihan, tahu, nggak?”

Restu melirik Sahara. “Papa tidak pernah mengajarkanmu untuk menjadi tidak baik. Apa kamu ingat?” tegur Restu.

Sahara memang mengingat bagaimana dia dididik hingga sedewasa ini. Namun, pernahkah Restu berpikir bahwa semua hak putrinya seolah telah dirampas secara paksa? Sejujurnya Sahara tidak rela, tetapi apa yang bisa dia lakukan sekarang?

"Kolam renang Sahara berantakan, terus kalau Sahara mau berenang bagaimana? Bagian samping jadi terbuka kalau dibikin begitu, 'kan, Pa?"

Restu menatap Sahara sejenak sebelum kembali menekuri ponselnya. "Kolam renang mau Papa uruk, mungkin besok selesai. Kalau hanya mau berenang, ke hotel atau klub saja. Di sana juga pasti lebih bagus daripada yang di rumah." Enteng sekali Restu berbicara sebelum meninggalkan ruang tamu.

Sahara terduduk di sofa. Air matanya bergulir begitu saja mendengar ucapan Restu. Kolam renang itu dibuatkan sendiri oleh sang papa karena dia yang berhasil memenangkan lomba matematika. Restu juga yang menemaninya berenang di sana setiap sore. Saat itu, ia adalah anak paling berbahagia karena mendapatkan itu semua. Meski akhirnya hanya dia yang berenang di sana, Sahara tidak pernah protes. Dia menyadari bahwa memang hanya dirinya yang memiliki kesenangan itu.

Sahara berpikir, apa yang salah dari hidupnya sampai semua terenggut dalam waktu sesingkat ini. Dia merasa tidak pernah menyakiti siapa pun. Sahara juga ingat dengan baik, bahwa seumur hidupnya, dia selalu membuat kebaikan. Kalau pun bandel, tidak sampai merugikan orang banyak sehingga bisa menimbulkan kemarahan atau kebencian yang terkesan merenggut semua kebahagiaannya.

"Sa, kamu baik-baik saja?" Sahara baru sadar kalau Dirga sudah sampai dan duduk di depannya. “Kulihat beberapa hari ini kamu terlihat lesu.”

Mengusap air matanya dengan cepat, Sahara bangkit. "Baik," jawabnya. Sahara berlalu dari hadapan Dirga.

Melewati ruang tengah, Sahara melihat edelweis yang dulu diberikan Dirga. Pria itu mengatakan "supaya kebahagiaanmu abadi seperti apa yang dilambangkan oleh bunga ini" sementara senyumnya yang secerah mentari terus tersungging. Kini, di matanya semua itu terlihat seperti gurauan. Diraihnya bunga itu dengan kesal. Dia bawa ke dapur dan dihempaskan ke tempat sampah.

Ketika semua kesenangan dan kenangan-kenangan indahnya tercabut satu per satu, tiba-tiba Sahara merasa bahwa tak perlu lagi ada yang tersisa. Untuk apa? Semuanya hanya tinggal menunggu waktu kapan semua akan diambil darinya. Maka tidak ada salahnya jika dia sendiri yang menyingkirkan semua itu, bukan?

"Kenapa kamu buang bunga itu, Sa?" Ternyata Dirga menyusul Sahara sampai ke dapur dan melihat semua kelakuannya. Pria itu juga mengambil bunga dari tempat sampah karena memang Sahara memasukkannya ke dalam tempat sampah kering. Dirga juga menepuk lembut bunga itu seolah menyingkirkan kotoran yang menempel.

"Sudah terlalu lama."

"Meski lama, bunga itu nggak rusak, Sa. Ada apa denganmu?"

"Alergi," kilah Sahara. "Aku ke kamar dulu."

Sahara naik ke kamarnya dengan perasaan jengkel. Sesampainya di kamar, dia melihat Lucia sedang berbaring di tempat tidurnya sambil bermain ponsel. Melihat itu, kejengkelannya semakin memuncak. Di bawah sudah dibuat jengkel oleh papanya dan Dirga. Di kamar, sepupunya pun sama.

"Kamu ngapain, sih, di sini, Mbak?"

Lucia berdecak, meletakkan ponselnya di atas bantal. "Aku, ‘kan, biasa begini, Sa? Lagian kamu kenapa? Pulang-pulang bawaannya marah gitu." Santai sekali suara Lucia.

"Suamimu pulang, tuh. Keluar sana!"

"Ya biarin, sih, pulang. Dia bisa ambil minum sendiri. Lagian kalau perlu sesuatu juga pasti cari aku. Simbok juga ada di kamarnya. Nggak usah mikir apa-apalah, Sa."

"Sesukamu, Mbak." Sahara meletakkan tas di tempatnya. Dia pergi ke kamar mandi dan segera membersihkan tubuh.

Selesai dengan itu, Sahara melihat Lucia masih ada di kamarnya. Dia heran. Bagaimana sepupunya bisa sesantai itu padahal Dirga sudah pulang. Kemarin mengeluh akan sepi kalau suaminya bekerja. Sekarang suaminya pulang juga terlihat biasa-biasa saja.

"Tahu, nggak, Sa? Aku bahagia banget setelah menikah. Mas Dirga memberikan semua keinginanku, termasuk mobil baru yang sudah lama aku pengin.”

Alis Sahara bertaut. Tentu saja bahagia. Perempuan mana pun pasti akan bahagia jika menikah dengan Dirga. Begitu pun Lucia yang beberapa kali punya pacar dan berakhir dengan alasan tidak cocok atau kurang mapan. Kemudian, ketika Dirga datang dengan kalimat semanis madu, siapa yang bisa menolaknya? Peduli apa dengan keseharian mereka. Selagi ada kesempatan, maka ambil. Sekarang atau tidak selamanya. Gambaran seperti itu yang sudah didapatkan oleh Sahara di benaknya.

“Kamarmu jadi berubah, Sa. Ke mana foto-fotomu sama Mas Dirga dan edelweis yang biasanya ada di mejamu?" Sahara tidak tahu Lucia ini bodoh atau pura-pura bodoh. Dirga yang sering bersama Sahara dan tiba-tiba melamarnya, mestinya dari situ saja dia bisa berpikir. Namun, dikembalikan lagi pada kenyataan bahwa ambil kesempatan atau tidak. Sesederhana itu saja.

"Edelweisnya kubuang. Banyak debunya."

"Ya sudah. Nanti kubelikan lagi,” janji Lucia.

“Nggak usah, Mbak. Aku malas bersih-bersih, lagian aku juga pengin ruangan yang terlihat lega. Jadi nggak mau ada banyak barang.”

“Kamu belum menjawab tentang foto-foto yang se—”

“Sudah kusingkirkan. Nggak mungkin, ‘kan, aku menyimpan foto suami orang lain? Bisa-bisa nanti aku dikira pelakor,” tukas Sahara. Dia sengaja memotong kalimat Lucia karena tak mau mendengar lebih banyak hal yang berpotensi meremukkan hatinya jadi lebih hancur.

Suara ketukan di pintu membuat percakapan Lucia dan Sahara terhenti. Si kakak melangkah ke pintu dan menemukan Dirga di baliknya setelah pintu terbuka. Mereka berpelukan setelah bertukar kecupan di pipi.

“Jangan bermesraan di kamarku!” hardik Sahara. “Pergi kalian berdua!” usirnya seraya menendang pintu kamar.

Komenin yang banyak. Bintang jan lupa. Siyuu

Love, Rain❤

Masih Ada Edelweis yang LainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang