14. Sebenarnya Cinta

2.1K 348 63
                                    

Sepanjang perjalanan pulang tidak ada dari mereka yang berbicara, untuk memulai pembicaraan pun bingung harus memulai dari mana. Perjalanan yang harusnya dekat menjadi lebih jauh, bekas-bekas air mata perempuan itu masih berjejak, bahkan sebisa mungkin dia mencoba untuk menahan air mata yang akan keluar lagi.

Sedang Tesar hanya diam, bermonolog bersama dirinya sendiri. Meski setelah perkataan pedas itu keluar dari mulut perempuan yang dicintainya, perasaannya sama sekali tidak berubah, bahkan untuk sedetik pun.

Terkadang, cinta memang bisa membuat orang menjadi naif. Jika memakai logikanya mungkin dia tidak akan pernah mau menjadi pengganti Afgan untuk pernikahan Shafira yang sudah di ambang kegagalan. Dia bisa saja memilih untuk mencari perempuan yang jauh lebih baik dari Shafira, perempuan yang sholehah yang tutur katanya lembut, bisa menghargainya sebagai pemimpin dalam rumah tangga mereka, dan bisa memberikannya cinta lebih dari yang dia berikan. Tesar bahkan tidak perlu mencari, dia berdiam diri saja sudah banyak perempuan yang akan mengantre untuk menjadi pendampingnya.

Tapi, lagi-lagi cinta tidak bisa dipaksa, kita tidak pernah bisa memilih kepada siapa kita mau atau berhenti mencintai karena yang bergerak di sana adalah hati bukan lagi logika. Hatinya lebih memilih Shafira yang tidak pernah mencintainya, perempuan egois yang keras kepala yang selalu menyakitinya dengan kata-kata pedasnya, memasak pun tidak mahir, agamanya pun biasa-biasa saja dibandingkan perempuan yang seringkali ditawarkan teman-temannya, hafidzah yang telah khatam 30 juz Alqur'an pun bahkan belum bisa menarik hatinya.

Lebih daripada dirinya sendiri, Shafira lebih takut Tesar sedih. Ya benar, ini terlalu rumit untuk dimengerti, dia yang menyakiti namun justru dia yang takut jika subjek yang dibicarakannya sejak tadi tersakiti. Shafira merasa takut, ada rasa sesal yang besar yang dia rasakan. Dia ingin minta maaf namun terlalu gengsi untuk mengakui kesalahannya. Dia terlalu egois untuk mengerti perasaan suaminya sendiri. Dia selalu ragu, ragu kepada dirinya sendiri. Dia merasa tenang bersama Tesar belakangan ini, setelah penatnya mengerjakan skripsi melihat wajah Tesar yang memasak makan malam untuknya adalah penghiburan tersendiri. Dadanya bergejolak, seperti ada ribuan kupu-kupu yang terbang diperutnya, jantungnya berdebar dua kali lebih cepat dari yang seharusnya ketika laki-laki disampingnya memberitahu semua orang bahwa dia adalah istrinya. Dia terlalu egois untuk mengaku bahwa dia sudah mencintai laki-laki disampingnya, keraguan yang menggerogoti dirinya menutupi keberaniannya untuk mengakui perasaannya terhadap Tesar.

Tentu saja dia juga takut, sesedih apa orang tua mereka saat mengetahui perceraian ini. Pernikahan yang menyatukan dua keluarga yang dulunya tidak terikat sama sekali.

Bagaimana pula jika mereka tahu Shafira tengah mengandung seorang anak? Semuanya seperti ribuan kepingan puzzle yang dipaksa disatukan dalam satu waktu, tentu saja itu adalah hal yang mustahil.

Tiga puluh menit perjalanan pulang mereka sampai di basement, jalanan Jakarta yang biasanya macet, hari ini tidak. Gerimis mulai datang tanpa tanda, langit biru berganti dengan awan yang berwarna abu gelap, mengapa gerimis ini datang bersamaan dengan hati dua insan yang porak poranda.

Mereka naik lift yang sama, Tesar menekan sandi apartemen dan mempersilakan Shafira masuk lebih dahulu. Yang dipersilakan langsung masuk dan mengunci kamar tanpa mengganti bajunya terlebih dahulu, dia menutupi dirinya dengan selimut, semuanya bahkan kepalanya. Dia menangis sejadi-jadinya, tanpa suara, menutup mulutnya karena takut Tesar dengar. Dan itu jauh lebih menyesakkan.

Dia menatap langit-langit apartemennya hampa. Bukankah perceraian ini yang dia mau? Tapi, mengapa justru dia yang merasa paling tersakiti.

Kamu egois, Sha, sangat.

***

Tesar mendengar tangisan perempuan itu, sebelum dia kembali ke rumah sakit dia memastikan untuk memasak untuk Shafira. Menangispun perlu tenaga, dan perempuan itu sudah terlalu stress belakangan ini, dia takut Shafira sakit. Karena dia benci melihat perempuan yang dicintainya sakit.

Rumah TernyamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang