10. Dia Lebih Pantas

2.7K 349 33
                                    

Malam itu, pelukan erat dari Shafira berhasil menenangkan laki-laki itu. Sejujurnya, jika saja dia hanya mengandalkan logika, maka mana mau perempuan itu repot-repot memeluk lelaki yang tidak dia cintai bahkan menangis menenangkan lelaki itu. Namun tanpa bisa dicegat perempuan itu memeluk lelaki itu erat. Intuisinya mengantarkannya satu fakta bahwa dia takut lelaki itu terluka, sama seperti dirinya tiga tahun lalu.

Tiga tahun lalu, peristiwa yang sama tidak akan pernah bisa dilupakannya. Saat itu dia menemukan Tesar dalam kondisi yang sama. Lelaki itu sulit bernapas dan nyaris tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri.

Jika Shafira tidak menemukan Tesar tiga tahun lalu, mungkin, sekarang lelaki itu tidak akan ada di hadapannya. Dengan sabar dia duduk di samping lelaki yang kini terbaring lemah dengan infus ditangannya.

"Sok kuat, padahal kenyataannya lemah." Tuturnya pelan, bahkan kalimat itu hanya bisa ditangkap oleh indra pendengarnya sendiri. Dua jam lalu, orang tua mereka ada dan memaksa Shafira untuk istirahat di rumah dan bergantian menjaga Tesar, namun Shafira yang pertama kali menolak dengan tegas.

"Aku istrinya, dan aku nggak mau meninggalkan suamiku sendirian tanpa aku. Lagipula percuma aku pulang kalau pikiranku masih berada di sini." Tidak ada yang berani menginterupsi perkataan itu bahkan Arleta sekalipun.

Tiga puluh menit sekali, Shafira mengecek suhu badan Tesar yang mulai normal, keringatnya membasahi baju lelaki itu. Cukup lama, perempuan itu berpikir hingga akhirnya mau tidak mau, gengsi atau tidak, dia harus membuka baju lelaki itu dan mengantinya dengan baju yang bersih, tidak mungkin kan lelaki yang lemah itu tidur dengan baju kotornya, tidak mungkin pula lelaki yang lemah itu mengganti bajunya sendiri.

Shafira membuka kancing baju Tesar dengan pelan, mengeluarkan bajunya dengan sekuat tenaga.

"Mas ini makan apa sih? Sumpah, berat banget." Ucap Shafira ketika berhasil meloloskan kemeja itu dari tubuh Tesar yang kini bertelanjang dada. Saking kagetnya, dia hampir saja berteriak.

Dia memukul kepalanya "Dasar pelupa, dia kan suami kamu, bodoh." Gumamnya lalu memasangkan baju yang bersih kepada Tesar.

Di saat seperti ini, dia merasa seperti istri yang sesungguhnya. Haha, ingin rasanya tertawa mendengar kalimat tersebut, memangnya istri yang sesungguhnya itu seperti apa? Menurut kepada suami? Senantiasa melayani suami atau bagaimana karena di antara semua hal yang disebutkannya dia masih belum memenuhi kriteria tersebut.

Shafira berjalan menuju jendela yang terletak tak jauh dari ranjang Tesar. Mungkin karena musim penghujan langit malam ini mendung atau mungkin juga karena ingin mengejek betapa tidak pantasnya dia mendampingi lelaki yang kini terbaring lemah dan tak berdaya. Angin malam sesekali menerpa wajahnya yang pucat, bahkan dia lupa kapan terakhir dia menyentuh makanan, nafsu makannya mendadak hilang begitu saja.

"Shaa..." Shafira berbalik, Ya Rabb tiada yang lebih mempunyai kuasa atas-Mu

Shafira berlari ke arah lelaki itu "Mas... Mas baik-baik aja kan? Mas butuh apa? biar Shafira ambilkan." Tesar menggeleng lemah.

"Makan? Kamu sudah makan?" Perempuan itu memukul dada Tesar, apakah pantas di kondisi seperti ini lelaki itu menanyakan dia sudah makan atau belum?

"Aarrggh.." Tesar meringis

"Yang mana yang sakit? Tunggu, aku panggil Dokter ya Mas."

"Kan Mas juga Dokter." Shafira kembali memukul dada lelaki itu.

"Sekarang, kamu jawab pertanyaan Mas. Kamu sudah makan?" Tesar kembali bertanya.

"Aku belum lapar" baru saja pernyataan itu keluar dari mulutnya. Perutnya sudah berbunyi.

Rumah TernyamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang