4. Sebuah Proses

2.9K 414 26
                                    

Terkadang ada kalanya hati perempuan itu berdesir seperti sekarang karena perlakuan lembut lelaki yang kini menjadi suaminya, namun lagi-lagi dia mencoba sebisa mungkin untuk menafikkannya.

-Rumah Ternyaman-

Setelah menempuh perjalanan selama delapan belas jam dari Jakarta menuju Zurich, pasangan pengantin baru itu akhirnya sampai pada Villa yang cukup jauh dari Ibu kota. Kira-kira memakan waktu selama enam puluh menit perjalanan jika tidak macet, dan dua jam jika kendaraan sedang padat-padatnya.

Udara Zurich benar-benar berbeda dari Ibu Kota Indonesia itu. Langit yang mulai gelap membuat pemandangan Villa cukup terbatas, namun lampu-lampu kota itu saja sudah menjadi pemandangan yang cukup indah.

"Kamu bisa tidur di kamar utama, biar aku yang tidur di bawah." Ucap Tesar setelah mereka membuka pintu Villa tempat mereka akan menghabiskan waktu selama di Zurich, kota terbesar di Swiss.

Sedikit terperangan namun Shafirs mencoba menetralkan wajahnya "Memangnya nggak apa-apa kalau kita pisah kamar?" Perempuan itu berucap pelan lalu lelaki dihadapannya tersenyum mengangguk lembut.

Lelaki itu ingin memberi waktu untuk perempuan yang menjadi istrinya sekarang untuk membiasakan diri dengan kehadirannya. Dia tidak ingin menjadi seseorang yang egois dan memaksakan kehendak Shafira.

"Aku pindahkan koper kamu ke atas dulu ya, Sha." Lelaki itu berucap lembut lalu menyeret koper berwarna merah mudah milik Shafira

"Aku nggak apa-apa berbagi ranjang dengan lelaki yang sudah menjadi suamiku sekarang. Aku sama sekali tidak keberatan Mas. Kita sudah resmi menjadi suami istri, biar aku bantu memindahkan koper-koper kita." Lelaki yang sudah berjalan lebih dahulu itu akhirnya menghentikan langkahnya setelah mendengar jawaban Shafira.

Perempuan yang tadinya berada di belakangnya kini sudah mendahuluinya menuju kamar utama, kamar mereka.

"Mas sama sekali nggak keberatan, Mas tahu kamu perlu waktu dan Mas tidak ingin menyulitkanmu." Shafira berbalik dan menggeleng.

"Sudah jam sepuluh malam Mas, saatnya kita istirahat." Ucapnya lalu menaiki satu persatu anak tangga.

"Kopernya berat." Dengan gerakan yang cepat Tesar mengambil alih koper yang dibawa wanitanya.

***

Setelah mereka berdua membersihkan diri hanya ada keheningan yang mengisi kamar yang begitu luas itu.

Tesar menatap langit-langit kamar yang hampa itu, dan Shafira masih setia dengan pemandangan jendela kamar mereka yang menampilkan lampu-lampu kota Zurich yang mulai padam. Mereka sama-sama bingung, bagaimana caranya untuk memecah keheningan yang menyelimuti kamar mereka. Lucunya mereka berdua sama-sama berada tepat di ujung kasur padahal di tengah mereka ada jarak yang cukup lebar.

Tiba-tiba ingatan Tesar membawanya di hari pernikahan mereka berdua.

Masih lekat diingatan saat orang tua Shafira, memohon kepada Tesar untuk menikahi perempuan itu. Mereka tahu betul tidak ada lelaki yang paling pantas menikahi anak semata wayang mereka selain Tesar. Lelaki yang bertanggung jawab dengan agama yang baik, tutur kata yang lembut dan begitu sabar, ada kalanya dia menjadi sosok yang paling tegas di Rumah Sakit, ada kalanya pula dia menjadi sosok yang berlawanan ketika berada di hadapan Shafira.

Sejak kecil, benih-benih cinta mulai tumbuh di hati seorang Tesar, bahkan dia lelaki pertama yang mengecup pipi perempuan itu. Benar, saat itu bahkan mereka masih terlalu kecil untuk mengerti arti cinta. Seorang anak yang masih bersekolah di Taman Kanak-Kanak sudah berani melamar anak kecil yang saat itu masih berusia satu tahun setelah mengecup pipinya.

"Nanti kalau Tesal udah gede, boleh ya Tante aku menikah sama Shafila?" Yang dilakukan Yasmin adalah mengangguk dan mengusap kepala Tesar.

"Aamiin, Insyaa Allah ya nak, kalau Tesar nanti jadi lelaki yang sholeh dan bertanggung jawab." Tesar kecil mengangguk dengan semangat.

Waktu berjalan begitu cepat seiring daun-daun yang berubah warna. Hijau, kuning, merah, cokelat, berbagai macam warna. Benih cinta yang ditanam kian hari, kian tumbuh. Hingga lelaki itu memilih untuk melanjutkan studinya ke Yogyakarta dengan harapan bisa menjaga jarak dari Shafira, dia takut jika perasaan ini membuat cara setan menggodanya.

Arleta tahu betul bahwa anaknya menyimpan perasaan kepada Shafira berucap lembut.

"Mungkin bisa jadi hari ini adalah pertanda bahwa Shafira memang perempuan yang tertulis di Lauh Mahfudz kamu nak. Kamu ingat ucapan kamu dulu, kamu ingin melindungi Shafira, kamu ingin menjadi lelaki yang bisa dia andalkan saat dia bahagia dan merasa terpuruk. Maka, hari ini lindungilah dia."

"Apakah boleh Ma? Aku memang mencintainya, tetapi aku tidak mau cintaku kepadanya menjadikan diriku egois." Arleta menggenggam tangan anaknya.

"Bagaimana bisa kamu mengatakan diri kamu egois sementara kamu belum memberitahu dia? Beritahu dia nak, entah menolak atau menerima, serahkan pilihan itu kepadanya."

Shafira berdeham membuat ingatan lelaki itu kembali pada masa kini.

"Sejak kapan Mas mencintaiku?" Tanya perempuan itu to the point, Shafira tidur menyamping menghadap lelaki yang masih setia memandangi langit-langit kamar mereka.

"Sejak pertama kali mengenal cinta, mungkin." Shafira sedikit terperangah, artinya Tesar sudah lama memiliki perasaan kepadanya. Bagaimana bisa dia sebegitu bodohnya tidak bisa menyadari perasaan lelaki itu.

Tesar lalu menghadap ke arah Shafira, mereka kini saling berhadapan menatap lekat-lekat satu sama lain.

Lelaki itu tersenyum, manis sekali "Mas nggak akan pernah memaksa kamu memiliki perasaan yang sama dengan Mas, Sha. Mas tahu betul bagaimana kamu mencintai Afgan, menghilangkan perasaan kita kepada orang yang pernah singgah di hati kita memanglah sulit Sha."

"Kadar rasa sakit akan berkurang atau tidak itu tidak melulu bergantung pada waktu. Namun ketika kita menerimanya dan menjadikannya sebuah pembelajaran yang berharga. Insyaa Allah, rasa sakitnya akan berangsur menghilang."

"Kamu ingat boneka siput yang Mas berikan?" Shafira mengangguk, tentu saja. Boneka itu adalah boneka yang selalu menemaninya tidur.

"Kamu tahu apa makna dari boneka itu?"

"Nggak, emang apa? Aku kira Mas ngasih karena bonekanya lucu aja." Celetuk perempuan yang sudah hanyut dengan tuturan lelaki yang begitu bijak dihadapannya.

"Hidup itu adalah lingkaran proses yang tidak berujung Sha, sama seperti siput. Dia berjalan dengan lambat karena ingin menikmati sebuah proses. Dari awal hingga akhir kita lahir semuanya butuh proses, untuk berjalan dan berdiri pun diawali dengan proses merangkak bukan?" Shafira mengangguk.

"Begitupun dengan mencintai orang yang baru, kamu perlu menerima rasa sakit dari orang sebelumnya. Dan jika kamu mengizinkan, bolehkah aku menunggu?"

Kening perempuan itu mengerut "Menunggu?" Tesar mengangguk

"Menunggu Allah mengetuk hatimu untuk mencintaiku, Sha. Namun, aku percaya semuanya lagi-lagi kembali kepada kehendak-Nya. Aku tidak berhak memaksa."

Terkadang ada kalanya hati perempuan itu berdesir seperti sekarang karena perlakuan lembut lelaki yang kini menjadi suaminya, namun lagi-lagi dia mencoba sebisa mungkin untuk menafikkannya.







Bagaimana sejauh ini?

Maafkan typonya yaaa teman-teman❤

Rumah TernyamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang