9. Sebuah Kegagalan

2.9K 389 29
                                    

Akan ada satu hari di mana dua puluh empat jam itu terasa begitu panjang, berat, bahkan begitu menyiksa di setiap detiknya. Namun, setiap manusia pasti akan merasakannya dan ingatlah bahwa Allah telah berjanji bahwa bersama kesulitan pasti akan ada kemudahan oleh karena itu seandainya kesulitan itu memasuki lubang binatang yang berlika-liku lagi sempit, kemudahan akan turut serta memasuki lubang itu dan akan mengeluarkan kesulitan tersebut. Padahal lubang binatang begitu sempit dan sulit untuk dilewati karena berlika-liku. Namun kemudahan akan terus menemani kesulitan, walaupun di medan yang sangat sulit sekalipun.

Hari itu kepulangan mereka dari negara yang akan selalu membekas diingatan, genggaman pertama, ciuman pertama, di sana tempat mereka mencoba belajar untuk saling mencintai namun bersamaan pula menjadi tempat yang menjadi saksi perpisahan mereka. Tak ada yang berbicara bahkan sesampainya mereka di tanah air, meskipun ingin rasanya Shafira menanyakan keadaan lelaki itu.

"Nggak apa-apa menunggu di sini sendiri? Orang tua kita sudah menuju ke sini." Bibir lelaki itu benar-benar pucat, bahkan bisa perempuan itu sadari jika lelaki di hadapannya ini sedang tidak baik-baik saja.

Tiga tahun, dia merawat ayah dari seorang piatu yang tidak memiliki siapapun selain ayahnya. Rumah sakit menjadi tempat bagi anak itu bertumbuh, beruntungnya Tesar mengurus proposal agar ayahnya mendapatkan perawatan gratis. Gajinya pun dia sisihkan rutin untuk anak itu. kini sesampainya di tanah air satu jam lalu, perawat di rumah sakit memberi tahu bahwa kondisi ayah dari lelaki itu sedang kritis dan operasi darurat harus segera dilaksanakan.

"Boleh nggak aku ikut ke rumah sakit Mas?" Tanya perempuan itu harap-harap cemas.

"Nggak usah Sha, kita bahkan baru mendarat sejam yang lalu, kamu bisa sakit kalau terlalu kecapekan. Kamu di sini saja ya tungguin orang tua kita. Setengah jam lagi mereka mungkin akan sampai."

Bisakah sekali saja lelaki itu memperhatikannya keadaannya sendiri? Mengapa bahkan saat di posisi ini, dia masih memperhatikan keadaannya yang bahkan tidak jauh lebih buruk dari keadaan lelaki itu sendiri.

"Mas berangkat dulu ya Sha, Assalamualaikum."

"Wa.. wa'alaikumussalam." Jawab Shafira bersamaan dengan jejak langkah lelaki itu, dia melangkah terburu-buru semakin menjauh darinya. Dalam hati Shafira merapalkan do'a semoga pasien itu bisa diselamatkan.

Tiga puluh menit berlalu, terasa panjang. Hingga tangan lembut dan pelukan hangat dari Yasmin, berhasil meruntuhkan pertahanan perempuan itu. Air mata yang setengaj mati dia tahan, luruh begitu saja.

"Aku.. aku boleh nggak mah menyusul Mas Tesar ke rumah sakit? Aku.. aku.. mau temenin dia Ma.." Meski tidak melanjutkan kata-katanya naluri keibuannya pasti tahu bahwa Shafira takut Tesar terluka.

Bahkan Arleta yang melihat Shafira terisak-isak merasa begitu sedih. Di dalam kamus anaknya tidak ada kata lelah jika hal itu menyangkut nyawa pasiennya dan jika nyawa pasien itu tidak bisa diselamatkan, sulit bagi Tesar untuk memaafkan dirinya sendiri. Shafira tahu betul bagaimana lelaki itu begitu terpuruk. Bukan hanya sekali ini, tetapi pernah lelaki itu menangis terisak-isak di dalam tangga darurat karena gagal menyelamatkan ibu dari anak piatu itu. Kini, jika ayah dari anak itu pun harus pergi, apakah pantas dia disebut sebagai dokter?

Dia akan merasa dirinya gagal.

Tesar akhirnya tiba di ruang operasi "Sebentar lagi kita akan memulai operasi dari Bapak Herman, untuk itu mari sama-sama mendo'akan beliau, do'a dimulai" mereka bersama-sama menunduk dan berdo'a sebelum operasi dimulai.

"Bagaimana keadaan vitalnya?" Setelah mendapat jawaban dari Angel, dokter anestesi yang bertugas Tesar mulai bertempur dengan pisau bedahnya. Tak hanya Tesar, mereka semua bertempur untuk menyelamatkan satu nyawa yang bagi satu orang adalah segalanya.

Rumah TernyamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang