twenty-eight

59 7 7
                                    

“Studio pribadiku, cepat kesana.”

Aku memberitahu tempat tujuanku pada kak Heeseung yang tak membiarkan aku menyetir. 

Aku yakin Lee Na menuliskan tempat itu diakhir cuitannya dengan tujuan tertentu.
Semoga saja dia benar ada disana.

Beberapa menit kemudian, aku sampai di tempat itu. Kenangan lama menyeruak memenuhi pikiran saat kupandangi bangunan apartemen itu.

Kusadarkan pikiranku, lalu segera saja aku keluar dari mobil dan menghampiri studioku yang berada di lantai tujuh.

Brak!

Gerakan kasarku menghasilkan bunyi yang keras setelah aku membuka kunci berupa password pada pintu.

Gelap.

Ruangan ini hanya diisi kegelapan dengan biasan cahaya bulan dari jendela yang tak tertutup gorden.

“Lee Na!”

Hanya gema ruangan yang menjawab teriakanku.

“Lee Na cepat kau keluar! Aku tahu kau ada disini!”

Lampu ruangan ini secara tiba-tiba menyala. Aku menolehkan kepala dengan tatapan penuh harap.

Namun rupanya itu ulah kak Heeseung, dia berdiri disana dengan tatapan tak terbaca, digenggamannya terdapat benda persegi yang menampilkan sambungan telepon.

“Jay...”

Setiap langkah yang ia ambil membuat dadaku terasa sesak. Ada yang salah dengan tatapannya.

“Kita terlambat. Lee Na sud–”

“Diam!”

Tanganku mengambang diudara, sungguh aku tak sudi harus mendengar kabar yang akan kak Heeseung katakan.

“Beritanya sudah menyebar Jay, setengah jam yang lalu, dia ditem—”

“AKU BILANG DIAM! JANGAN MEMBUATKU SEMAKIN MERASA BERSALAH KAK!”

Netraku mengabur dengan tubuh yang perlahan limbung.

Tidak, tidak, dia pasti salah, Lee Na tak mungkin rela menaruhkan nyawanya hanya demi diriku. Semua yang dia katakan di twitter itu hanya gertakan. Aku yakin dia tak senekat itu untuk mengakhiri hidupnya.

Namun semua keyakinanku runtuh begitu saja saat kak Heeseung menyalakan televisi yang masih berfungsi dengan baik itu.

Kematiannya diduga karena mengalami depresi berat akibat komentar-komentar negatif yang tertuju kepadanya atas rumor kencannya dengan idol berinisial JY, pihak kepolisian masih– ’

BRAK!

Kursi yang kulempar mendarat sempurna sampai benda elektronik itu hancur.

“Lunar! Aku tahu itu semua hanya sandiwara, aku tahu kau ada disini, sekarang kelu—”

“SADARLAH JAY PARK! DIA SUDAH TIADA! JANGAN MENUTUP MATA SEPERTI INI! KAU BISA GILA!”

Kak Heeseung sudah tak bisa menoleransi sikapku, kini tangannya mencengkam kuat kerah leherku.

“Jadi dia... Mati karenaku... Iya kan?”

Lirihanku membuat tatapan marahnya kian meluap.

“IYA! KAU SALAH PAHAM PADANYA DAN BERAKHIR MENYALAHKANNYA! KAU MENEMUINYA DAN BERSIKAP KASAR PADANYA! SIKAP GEGABAHMU ITU SEMAKIN MEMBUATNYA MENDERITA!”

Kak Heeseung menarik napasnya dengan cepat, sepersekian detik tatapan amarah itu menghilang dari netranya.

“Itu yang ingin kau dengar dariku huh?”

Kepalaku menunduk dengan kepalan tangan yang siap menonjok apapun. Isi kepalaku penuh. Berkali-kali aku menyalahkan diriku sendiri, puluhan kali aku mengutuk diriku sendiri.

“Jay... Dia diancam. Dan ancaman itulah yang perlahan membunuhnya. Ingat itu.”

Tangannya berada ditengkukku, jemarinya pun bergerak mencoba merileksan saraf-saraf disana.

Tanpa kusadari tetesan air sudah mengalir menuju pipiku.

“Tenanglah Jay.”

Tak ada lagi keheningan di ruangan itu, isakan kecil yang coba kutahan malah mengisi penuh ruangan ini sampai dadaku terasa sesak.

“Lunar, maafkan aku.”

“Sungguh, maafkan aku, Lunar.”

Without Me ft. JayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang