(40)

115 1 132
                                    

"Yah, Nyonya Yoo—apa kau sebegitu rindunya padaku?" ledek Si Jin dari ponselnya, berdiri di teras gedung agensinya. "Belum sejam aku meninggalkan rumah dan kau sudah menelfon?"

"Tidak!" protes Cha Young. "A—aku diajak Eomma berbelanja pakaian bayi d—dan pakaian untukku—"

"Aaaah, itu bagus. Kau sudah lebih gendut sekarang—semakin mirip beruang, perlu lebih banyak baju. Apa kalian akan mengunjungi toko pakaian beruang?" Goda Si Jin, menanti balasan dari istrinya tapi yang didengarnya hanyalah kesunyian.

"Y—Yoboseyo?"

"Baiklah."

Suara ponsel dimatikan dan Si Jin menatap ponselnya dengan heran. Ada apa dengannya? Si Jin mencoba menghubungi lagi tapi sebuah tepukan di pundaknya mengagetkannya.

"Apa kau sebegitu kangennya dengan istrimu? Baru sampai langsung menelpon?" ujar Chang Wook geli, kemudian berdiri di sampingnya. Si Jin hanya mendengus, memutuskan untuk nanti saja menghubunginya. Dia toh sudah terbiasa dengan perubahan suasana hati Cha Young yang selalu tiba- tiba.

"Kalau dipikir- pikir, kau sekarang sudah berubah."

"Berubah?"

Chang Wook mengangguk. "Kau sekarang lebih bertanggung jawab, lebih bisa mengontrol emosimu, lebih hangat dan lebih terbuka." Pria itu tersenyum memamerkan. "Dulu kau sangat dingin dan tertutup. Aku rasa,  Cha Young memang membawa perubahan besar untuk dirimu."

Si Jin tidak berkomentar, ini bukan jenis pembicaraan favoritnya. Pria itu hanya menatap ponselnya dengan dingin, meski dalam hati dia tidak menolak ide yang diberikan Chang Wook

Han Cha Young memang membantunya melihat seluruh hal dengan sudut pandang yang lebih terbuka. Gadis itu membuatnya menyadari apa yang sebenarnya bisa dia lakukan dan bagaimana seharusnya dia menghargai dirinya sendiri dan orang lain.

"Aku ambil kopi dulu."

Tanpa menunggu jawaban Chang Wook, Yoo Si Jin pergi meninggalkannya ke kafetaria.

Suasana di kafetaria sangat sepi, ini memang masih jam kerja. Si Jin sebenarnya tidak ingin datang tapi manajer ingin mendiskusikan jadwal barunya untuk bulan ini setelah dia berhasil menegosiasikan jadwal pentasnya dengan Lee Ji Hyun. Pria itu mengambil gelas karton di samping mesin lalu menekan tombol untuk kopi tapi tidak ada kopi yang keluar. Yoo Si Jin menggerutu, bermaksud untuk beranjak ke kulkas besar tapi seseorang telah menyodorkan segelas kopi susu panas di depannya.

Yoo Si Jin tidak perlu berpaling untuk mengetahu siapa pemilik tangan halus itu tapi toh dia berdiri dan menemukan sosok yang sangat dia kenal.

"Aku tahu kau harus minum kopi di sini sebelum mulai kerja, jadi aku menyimpannya karena kopi di sini laku sekali." So Hee tersenyum manis memamerkan lesung pipitnya. "Ini."

Si Jin hanya menatap gadis di depannya dengan dingin, kemudian menatap kopi itu lalu menatap So Hee lagi. "Terima kasih. Kau minum saja."

Pria itu kemudian berpaling pergi tapi So Hee dengan cepat berdiri di depannya untuk menahannya. "Setidaknya kita bisa menjadi teman, kan? Apa seorang teman tidak bisa menawarkan temannya segelas kopi?"

Si Jin berdiri. Mau tidak mau dia harus mengakui, dia mengenal So Hee dengan baik—gadis itu jarang mengutarakan maksud hatinya dan Yoo Si Jin tahu gadis itu juga tidak sungguh- sungguh mengatakan keinginannya untuk berteman dengan Si Jin.

"Han So Hee," ujar Si Jin dingin, tapi sarat dengan nada peringatan.

"Aku hanya ingin bicara denganmu sebentar, apa istrimu sebegitu bencinya hingga bicara saja tidak boleh?"

Shine Where stories live. Discover now