(9)

64 0 122
                                    

Cha Young duduk di samping tempat tidur, memandangi kakeknya yang sedang beristirahat. Keadaan kakeknya sudah membaik dan besok dokter mengijinkan mereka pulang.

Kakeknya masih menolak berbicara dengannya, seolah itu bisa membuat serangan jantungnya kambuh lagi. Cha Young tahu, dan dia bisa menerima itu. Dia sudah cukup bersyukur kakeknya tidak mengusirnya dari kamar dan masih mau melihatnya. Rowoon pulang beberapa jam lalu, dia terpaksa pulang karena harus mengikuti jadwal latihan mereka untuk persiapan comeback stage minggu depan dan Cha Young tidak ingin membawa masalah pada orang lain, terutama Rowoon.

Cha Young menutup mata, berusaha mengusir penat dan rasa sakit yang mengganggu matanya karena dua malam ini dia tidak tidur, dan bodoh sekali dia mengingat saat ini dia sedang mengandung. Tapi bagaimana dia bisa tidur dengan keadaan seperti ini? Tiba- tiba tangan kakeknya bergerak dan mata Cha Young terbuka lebar.

Perlahan mata kakeknya terbuka, Cha Young mendekatkan tubuhnya ke tempat tidur agar bisa melihat kakeknya lebih jelas, mulai was- was kalau kakeknya akan mengusirnya. Kakeknya mengerjapkan matanya berlahan, hidungnya mengernyit mencium aroma rumah sakit yang tak pernah beliau sukai, matanya seperti mencari seseorang dan kepalanya meneleng ke arah Cha Young yang tegang di tempat duduknya. Kakeknya memandang Cha Young selama beberapa detik dengan hampa dan dua bulir air mata membasahi pipi Cha Young.

"H—haraboji," bisik Cha Young. Kakeknya tidak menjawab, beruntung serangan yang dialami kakeknya termasuk sangat ringan dan beliau tidak memerlukan bantuan apa- apa dalam masa pemulihannya. Cha Young berharap kakeknya akan bangun dan meneriakinya, memakinya dan mengatainya, itu terdengar lebih baik daripada melihat kakeknya sekarang tertidur lemah di atas tempat tidur karena dirinya.

"Aku ingin pulang," kata kakeknya pelan dengan suara serak.

"N—neh? K—kata dokter k—kakek bisa pulang b—besok,"

Kakeknya mengerutkan kening.

"A—apakah d—dadamu sakit? P—perlukah aku m—memanggil dokter?"

Kakeknya melihat ke arah lain dan diam lagi. Cha Young menutup mata dan menghirup nafas panjang. Dia sudah berencana akan menerima hukuman apapun dari kakeknya tapi ternyata tatapan kecewa dari kakeknya saja sudah cukup membuat hatinya hancur.

"Siapa ayah bayi itu?"

"N—neh?"

"Ayah bayi itu... siapa dia?"

Cha Young diam sebentar.

"Apa... apa kau diperkosa?" kakeknya tidak menatapnya, seolah takut terluka kalau dia benar- benar hamil karena diperkosa.

"T—tidak," Cha Young menggeleng. Airmatanya kembali jatuh. "Aku tidak diperkosa."

"K—kalau b—begitu... a—apa dia p—pacarmu?" kakeknya terdengar seperti ingin menangis dan Cha Young lebih ingin menangis lagi. Cha Youngmenutup mata. Jawaban apa yang harus dia berikan? Sekarang ini dia benar- benar ingin berbohong untuk mengurangi rasa terpukul dan terkejut dari kakeknya. "Aku... aku akan membawanya nanti. Dia... dia ingin menemui k—kakek..."

"K—kenapa?"

"Neh?"

"Kenapa kau lakukan itu?"

Cha Young berdiri dan berlutut di sebelah tempat tidur kakeknya. "Maafkan aku, kakek—aku benar- benar menyesal. Aku benar- benar tidak sengaja melakukan ini, seandainya aku bisa memutar waktu, aku tidak ingin membuatmu sedih dan mengecewakanmu. Tapi, tapi aku juga tidak bisa menggugurkan bayi ini," kakeknya bergidik mendengar kata 'menggugurkan', "aku tidak ingin berbuat kesalahan lagi." Dia ingin mengatakan hal lain tapi dia takut akan membuat serangan jantung kakeknya datang lagi. "H—haraboji, dia... dia ingin datang dan bertanggung jawab, dia... dia ingin membesarkan bayi ini..."

Shine Where stories live. Discover now